Untuk memahami perjuangan Nabi Luth ‘alaihissalam, kita perlu mengenal terlebih dahulu siapa komunitas yang ia hadapi. Kaum Nabi Luth bukan hanya sekelompok orang yang melakukan dosa, tetapi contoh tentang bagaimana sebuah masyarakat bisa berubah perlahan dari nilai fitrah sampai akhirnya menjadikan penyimpangan sebagai hal yang biasa.
Karena itu, sebelum membahas dakwah Luth lebih jauh, bagian ini akan menyoroti karakter sosial, moral, dan psikologis kaum Sodom—komunitas yang disebut Al-Qur’an sebagai kaum Nabi Luth. Dengan memahami siapa mereka dan bagaimana cara hidup mereka, kita bisa melihat konteks tantangan besar yang dihadapi Luth dalam menjalankan tugasnya.
Kaum Nabi Luth dalam Al-Qur’an
Bagian ini membahas siapa kaum Nabi Luth, bagaimana cara hidup mereka, dan apa yang membuat mereka menjadi contoh masyarakat yang menjauh dari fitrah. Fokusnya adalah gambaran sosial, moral, dan psikologis mereka, sekaligus pelajaran yang bisa kita ambil.
1. Masyarakat Makmur tapi Moral Rapuh
Kaum Nabi Luth hidup di wilayah subur dan kaya, berada di jalur perdagangan penting. Ekonomi mereka maju dan kebutuhan sehari-hari tercukupi. Tapi kemakmuran itu tidak dibarengi dengan moral yang kuat. Kesenangan dan kemudahan hidup membuat mereka mulai mengabaikan batasan yang benar. Lama-lama, perilaku salah menjadi hal biasa dan diterima sebagai budaya.
2. Penyimpangan Fitrah yang Jadi Kebiasaan
Al-Qur’an (Surah Al-A‘raf 80–81) menyebut bahwa kaum ini melakukan perilaku seksual yang menyimpang. Ini bukan sekadar tindakan individu, tetapi sudah menjadi kebiasaan sosial. Ketika penyimpangan jadi normal, masyarakat kehilangan kemampuan untuk mengoreksi diri sendiri.
3. Kekerasan dan Kriminalitas Jadi Rutinitas
Selain masalah moral, kaum ini juga terbiasa melakukan kejahatan di jalanan, merampok, atau mengintimidasi pendatang. Kekerasan yang awalnya tersembunyi berubah menjadi pola hidup, menunjukkan kerusakan yang menyeluruh—dari seksual, sosial, sampai moral.
4. Menolak Kebenaran dan Membenci Orang Baik
Kaum ini sangat menolak Nabi Luth. Dalam Surah An-Naml 56, mereka bahkan ingin mengusir keluarga Luth karena dianggap “mengganggu”. Orang yang menjaga martabat dianggap ancaman, sementara perilaku salah dianggap biasa. Ini fenomena psikologis yang disebut pembalikan norma: ketika mayoritas menyetujui kesalahan, kebenaran terasa asing.
5. Loyalitas Buta pada Budaya Sendiri
Istri Luth menjadi contoh nyata bagaimana budaya bisa memengaruhi pilihan seseorang. Ia lebih memilih mengikuti kaumnya daripada mendukung suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan kaum Nabi Luth bukan hanya masalah individu, tapi juga kolektif: nilai kelompok lebih diutamakan daripada nilai kebenaran.
6. Penyimpangan yang Berujung Azab
Karena perilaku mereka sudah menyentuh semua aspek hidup—seksual, sosial, dan spiritual—Allah menurunkan azab seperti yang disebut dalam Surah Hud, Al-Hijr, dan Al-Qamar. Hujan batu dan kehancuran kota bukan hanya hukuman fisik, tapi akibat logis dari masyarakat yang telah sepenuhnya menyimpang dari kebenaran.
Dengan memahami kaum Nabi Luth secara lengkap, kita bisa melihat latar yang membuat dakwah Nabi Luth begitu berat. Kisah mereka menjadi pelajaran penting: jika masyarakat membiarkan penyimpangan dan menolak kebenaran, keruntuhan moral bisa terjadi perlahan tapi pasti.