Langkahnya mantap. Ini bukan pertama kalinya.
Di balik masker hitam yang menutupi separuh wajahnya, dia tersenyum kecil. Bukan karena bahagia, tapi karena sudah hafal langkah-langkahnya. Malam ini, dia hanya perlu mengikuti rencana.
Di depannya, tembok dua meter menjulang tinggi. Licin, tanpa pegangan. Sulit. Tapi bukan penghalang.
“Kalau terpeleset?” pikirnya.
Dia merapatkan sarung tangannya, lalu berlari mengambil ancang-ancang.
“Ya tahan sakit. Yang penting sampai ke atas.”
Kakinya menjejak dinding, tangannya menggapai tepi pagar. Hampir jatuh, tapi dia bertahan. Setelah sedikit bergelantungan, akhirnya berhasil melompati pagar.
Tidak ada keluhan. Tidak ada takut. Kalau ada hambatan, ya diterjang.
“Jendela terkunci? Tenang, aku bawa alat.” Dengan cekatan, dia mengeluarkan obeng dari kantongnya.
Tangannya bergerak cepat. Seolah-olah ini bukan kejahatan, tapi rutinitas biasa. Tidak ada getaran. Tidak ada ragu.
Lalu… ada suara kecil dalam kepalanya.
“Hei, kalau ketahuan?”
Dia terkekeh. “Ya lari.”
“Kalau tertangkap?”
Dia menghela napas. “Ya hadapi.”
“Kalau mati?”
Dia diam sebentar, lalu mengangkat bahu. “Ya sudah.”
Tak ada rasa takut. Seolah neraka tak pernah ada dalam kamus hidupnya.
Dia terus bergerak, menyusup ke dalam rumah. Tak peduli siapa yang akan dia sakiti besok. Tak peduli kalau hidup orang lain akan hancur karena ulahnya. Yang penting, uang masuk kantong.
Sementara itu, di kamar yang remang, seorang pria lain menatap jam dinding. Azan sudah berkumandang tadi. Tapi dia masih di sini. Duduk. Menimbang.
Dia menarik selimut lebih erat. “Nanti sajalah.”
Ada suara kecil di kepalanya.
“Sholat itu wajib.”
Dia menghela napas. “Iya tahu, tapi masih ngantuk.”
“Kalau keburu mati?”
Tangannya menggenggam selimut lebih erat. “Aduh, jangan ngomong gitu lah.”
“Kalau malaikat maut datang sekarang?”
Dia mendengus. “Ya Allah, kenapa sih harus pakai menakut-nakuti segala?”
Lalu pikirannya mencari alasan lain.
“Kalau sholat di rumah aja? Kan tetap sah.”
“Tapi masjid cuma beberapa langkah.”
“Iya, tapi dingin. Gelap. Malas.”
Tangan yang tadi menggenggam selimut, bahkan tak sanggup mengangkat tubuhnya ke sajadah.
Aneh.
Di luar sana, seseorang berani menantang bahaya demi dosa.
Di dalam sini, seseorang takut repot demi pahala.
Di luar sana, seseorang melompati pagar tanpa ragu untuk mencuri.
Di dalam sini, seseorang bahkan ragu melangkah ke masjid.
Di luar sana, seseorang dengan percaya diri menjual narkoba, menipu, merampok, membunuh—tanpa takut mati.
Di dalam sini, seseorang bahkan ragu mengangkat tangan untuk berdoa.
Satu orang berjalan mantap ke dosa.
Satu orang tertatih ke kebaikan.
Satu orang siap mati demi kejahatan.
Satu orang takut repot demi akhiratnya.
Satu orang ke neraka dengan kepala tegak.
Satu orang ke surga dengan kaki gemetar.
“Ke neraka mantap, ke surga gagap?”