Kisah Israiliyat dan Cara Moderat Memahaminya

Kisah Israiliyat terkadang masuk ke tafsir Al-Qur’an melalui pengaruh tradisi Yahudi dan Nasrani. Sebagiannya dipakai untuk melengkapi detail kisah para nabi, sementara sebagian lain datang dari cerita lama yang tidak selalu jelas sumber maupun akurasinya.

Pembacaan moderat membantu menempatkan Israiliyat secara seimbang. Kisah yang selaras dengan pokok ajaran dapat dijadikan pelengkap, kisah yang bertentangan dengan akidah dan akhlak harus ditolak, sedangkan kisah yang tidak dapat dipastikan cukup diposisikan sebagai informasi tambahan tanpa dijadikan keyakinan.

Sikap seperti ini membuat pembaca tetap dapat mengambil manfaat penjelasan sejarah tanpa terseret ke cerita yang bermasalah. Dengan menata adab membaca tafsir dan menjaga ketepatan makna, pembahasan Israiliyat menjadi lebih jelas, terukur, dan relevan bagi pengkaji Al-Qur’an masa kini.

Daftar Isi

Definisi dan Asal-Usul Kisah Israiliyat

Secara sederhana, Israiliyat adalah kumpulan cerita yang berasal dari tradisi Yahudi dan Nasrani yang kemudian masuk ke dalam penjelasan tafsir. Istilah ini awalnya merujuk pada Bani Israil, namun dalam perkembangan ilmu tafsir, maknanya meluas menjadi cerita-cerita yang dibawa oleh orang-orang Ahli Kitab ketika berinteraksi dengan umat Islam pada masa awal.

Kisah Israiliyat muncul karena banyak ayat Al-Qur’an menceritakan peristiwa para nabi secara ringkas. Pembaca pada masa itu ingin mengetahui detail yang tidak dijelaskan Al-Qur’an, misalnya nama anjing Ashabul Kahfi, bahan kayu bahtera Nabi Nuh, atau informasi tambahan tentang tokoh-tokoh tertentu dalam sejarah. Untuk mencari penjelasan, mereka bertanya kepada orang-orang yang mengenal kitab sebelumnya seperti Taurat dan Injil.

Beberapa tokoh yang sering disebut sebagai pembawa cerita Israiliyat pada masa awal Islam antara lain: Abdullah bin Salam yang dikenal berilmu dan masuk Islam pada masa Nabi; Ka’ab al-Ahbar yang membawa banyak cerita tentang nabi-nabi terdahulu; Wahab bin Munabbih yang menguasai kisah-kisah kuno; serta Abdul Malik al-Juraij yang berasal dari latar Kristen sebelum memeluk Islam. Keempatnya menjadi rujukan karena memiliki pengetahuan luas tentang tradisi sebelumnya.

Kehadiran mereka adalah fakta sejarah. Yang menjadi perhatian bukan keberadaan tokoh-tokohnya, tetapi ketepatan isi cerita yang mereka bawa. Sebagian kisah selaras dengan ajaran Islam, sebagian bertentangan dengan prinsip akidah dan etika, dan sebagian lainnya tidak jelas statusnya. Sikap moderat menempatkan semuanya secara proporsional: memakai yang bermanfaat, menolak yang merusak, dan bersikap netral pada cerita yang tidak bisa dipastikan kebenarannya.

Mengapa Israiliyat Muncul dan Bertahan dalam Tradisi Tafsir

Kemunculan Israiliyat tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial pada masa awal Islam. Masyarakat Arab saat itu hidup berdampingan dengan kelompok Yahudi dan Nasrani, terutama di Madinah, Khaibar, dan Najran. Interaksi politik, ekonomi, dan keagamaan menciptakan ruang pertukaran informasi yang luas. Dalam situasi seperti ini, kisah-kisah yang beredar di kalangan Ahli Kitab masuk secara alami ke dalam pengetahuan umat Islam, terutama melalui orang-orang yang baru memeluk Islam dan memiliki latar keilmuan kitab sebelumnya.

Selain itu, banyak ayat Al-Qur’an yang menceritakan peristiwa para nabi secara ringkas. Pembaca pada masa awal ingin mengetahui detail yang tidak disebutkan teks, seperti nama tokoh, latar tempat, atau kronologi yang lebih rinci. Kebutuhan akan detail ini membuat mereka bertanya kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan dari kitab sebelumnya, sehingga cerita tambahan tersebut tersebar dan dicatat oleh sebagian mufasir klasik.

Transmisi Israiliyat terjadi melalui jalur lisan. Beberapa tokoh seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, Wahab bin Munabbih, dan Abdul Malik al-Juraij menjadi sumber rujukan karena menguasai cerita-cerita kuno. Mufasir pada masa awal sering mengumpulkan berbagai riwayat terlebih dahulu sebelum menyeleksinya, sehingga sebagian cerita ikut masuk ke dalam literatur tafsir tanpa penjelasan tingkat validitasnya.

Masyarakat Arab juga memiliki budaya cerita yang kuat. Kisah dramatis, legenda, dan narasi panjang sangat digemari dalam majelis-majelis ilmu. Karena itu, Israiliyat mudah diterima sebagai unsur penguat cerita, terutama ketika berfungsi memperjelas alur kisah atau menambah unsur dramatik yang menarik perhatian pendengar.

Hingga masa kini, Israiliyat tetap bertahan karena beberapa faktor: kitab tafsir klasik yang banyak diajarkan masih memuatnya, tradisi dakwah lisan sering mengulang cerita populer, dan masyarakat lebih mudah mengingat kisah yang dramatik dibanding penjelasan analitis. Kurangnya pembacaan kritis juga membuat sebagian Israiliyat dianggap sebagai bagian asli dari sejarah para nabi. Namun pendekatan moderat menempatkan Israiliyat secara proporsional—sebagai informasi tambahan, bukan sebagai dasar keyakinan.

Epistemologi dan Klasifikasi Israiliyat

Untuk memahami Israiliyat secara proporsional, para penafsir klasik membaginya ke dalam tiga kategori. Tujuannya sederhana: membantu pembaca membedakan mana cerita yang bisa dipakai sebagai pelengkap, mana yang harus ditolak, dan mana yang lebih baik disikapi secara netral. Kerangka ini sudah lama digunakan dalam kajian tafsir untuk menjaga ketepatan makna, akhlak berilmu, dan kejelasan akidah.

1) Israiliyat yang Bisa Diterima (Maqbul)

Kategori ini berisi cerita yang sejalan dengan Al-Qur’an dan hadits. Cerita seperti ini biasanya hanya menambahkan detail sejarah yang tidak mengubah pokok ajaran. Contohnya: penjelasan nama tokoh atau lokasi tertentu dalam kisah Musa yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Kisah seperti ini boleh digunakan sebagai pelengkap, selama tidak diperlakukan sebagai sumber akidah.

2) Israiliyat yang Harus Ditolak (Mardud)

Ini adalah cerita yang bertentangan dengan ajaran dasar Islam, merusak kehormatan para nabi, atau menggambarkan Tuhan dengan sifat fisik manusia. Cerita seperti Nabi Daud berbuat dosa besar atau malaikat meminum khamr termasuk dalam kelompok ini. Riwayat jenis ini dinilai berbahaya bagi akidah dan harus ditolak tegas.

3) Israiliyat yang Didiamkan (Maskut ‘Anhu)

Kelompok ini berada di wilayah netral. Tidak ada dalil yang menguatkan maupun yang membantahnya. Contohnya adalah nama anjing Ashabul Kahfi atau jenis kayu bahtera Nuh. Cerita seperti ini tidak dianggap benar mutlak, tidak pula dianggap bohong; cukup dipahami sebagai informasi tambahan yang tidak mengikat keyakinan. Dalam pengajaran, biasanya disampaikan dengan ungkapan seperti “dikatakan bahwa…” atau “konon…”.

Tabel Ringkas Klasifikasi Israiliyat

Kategori Penjelasan Singkat Status Contoh
Maqbul (Diterima) Sejalan dengan ayat dan hadits, hanya menambah detail Boleh digunakan sebagai pelengkap Nama Firaun tertentu; penjelasan lokasi kisah Musa
Mardud (Ditolak) Bertentangan dengan akidah, akhlak nabi, atau akal sehat Harus ditolak Cerita Nabi Daud berbuat dosa; malaikat minum khamr
Maskut ‘Anhu (Netral) Tidak ada dalil yang membenarkan atau menolak Disikapi netral; tidak dijadikan keyakinan Nama anjing Ashabul Kahfi; jenis kayu bahtera Nuh

Dengan pembagian ini, pembaca lebih mudah memilah kisah mana yang layak dijadikan pelengkap, mana yang harus dihindari karena merusak akidah, dan mana yang cukup dibiarkan sebagai bagian dari pengetahuan sejarah tanpa pengaruh langsung terhadap keimanan. Kerangka moderat seperti ini membantu menjaga etika membaca tafsir dan menata peradaban ilmu secara lebih sehat.

Dinamika Kitab Tafsir Rujukan di Pesantren

Di banyak pesantren, pembelajaran tafsir dilakukan melalui kitab-kitab yang sudah digunakan selama ratusan tahun. Kitab-kitab ini dianggap memiliki nilai ilmiah yang kuat karena disusun oleh mufasir besar dan diajarkan melalui jalur sanad keilmuan. Namun, sebagian kitab tersebut memuat kisah Israiliyat dalam kadar yang berbeda-beda. Karena itulah, peran guru sangat penting untuk memberikan penjelasan mana yang informatif dan mana yang perlu disikapi lebih hati-hati.

Tafsir Jalalain: Ringkas tetapi Mengandung Banyak Kisah

Tafsir Jalalain adalah kitab yang paling sering dijadikan dasar dalam pengajaran tafsir. Kelebihannya adalah bahasa yang singkat dan mudah membantu santri memahami arti ayat. Di balik kesederhanaannya, kitab ini kadang menyisipkan Israiliyat tanpa penanda. Misalnya dalam kisah Harut dan Marut, ada narasi bahwa dua malaikat itu digoda hawa nafsu. Di sinilah peran guru sangat penting. Saat membaca bagian-bagian sensitif, guru biasanya memberi penjelasan langsung bahwa riwayat tersebut tidak kuat atau tidak perlu diyakini secara mutlak. Mekanisme ini menjaga pembaca pemula dari salah paham.

Tafsir Al-Munir (Marah Labid): Pendekatan Nusantara yang Lebih Selektif

Syekh Nawawi Al-Bantani menulis Tafsir Marah Labid dengan memadukan dua metode: analisis per ayat dan penjelasan ringkas. Beliau merujuk banyak tafsir klasik yang kaya cerita, tetapi tetap melakukan seleksi. Ketika memakai Israiliyat, beliau menempatkannya sebagai ilustrasi untuk memudahkan pembaca memahami alur cerita, bukan sebagai kebenaran pokok. Beliau sangat berhati-hati agar kisah tambahan tidak merusak kehormatan para nabi atau menyalahi prinsip akidah. Sikap ini mencerminkan dakwah yang bijak: memakai cerita untuk mendekatkan pemahaman tanpa mengorbankan ketepatan makna.

Tafsir Al-Ibriz: Pendekatan Budaya Jawa yang Komunikatif

Tafsir Al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa ditulis dengan bahasa Jawa sehingga dekat dengan pembaca di daerahnya. Dalam menafsirkan kisah Nabi Yusuf misalnya, beliau memadukan gaya tutur pewayangan untuk menggambarkan dinamika peristiwa. Israiliyat digunakan sebagai penguat cerita, tetapi tetap dipilih mana yang relevan dan tidak bertentangan dengan akhlak para nabi. Selain itu, beliau menyisipkan nilai pendidikan moral tentang pengendalian diri dan kesucian. Dengan cara ini, kisah menjadi lebih mudah dipahami oleh masyarakat tanpa kehilangan pesan etisnya.

Tafsir Al-Khazin dan Al-Baghawi: Bahan Rujukan Tingkat Lanjut

Santri tingkat lanjutan biasanya mempelajari kitab tafsir yang lebih tebal seperti Al-Khazin dan Al-Baghawi. Al-Khazin dikenal banyak memuat kisah-kisah menakjubkan yang bersumber dari Israiliyat. Oleh karena itu, kitab ini sering diposisikan sebagai bahan pengayaan, bukan rujukan untuk menentukan pendapat hukum. Di sisi lain, Al-Baghawi dianggap lebih ketat dalam aspek akidah meskipun masih memuat beberapa cerita tambahan. Keduanya memberikan wawasan yang luas, namun tetap memerlukan pendampingan guru agar pembaca tidak mengambil setiap cerita sebagai kebenaran mutlak.

Secara keseluruhan, dinamika kitab-kitab ini menunjukkan bahwa pembelajaran tafsir di pesantren tidak hanya berisi teks, tetapi juga proses penyaringan nilai, akhlak, dan ketepatan makna. Peran guru sebagai penjelas menjadi kunci agar pembaca memahami Israiliyat secara proporsional.

Reformasi dan Pendekatan Baru terhadap Israiliyat di Era Modern

Di era modern, kajian tafsir mengalami pembaruan besar. Muncul generasi cendekiawan yang menekankan rasionalitas, kritik konten, dan relevansi ajaran dengan kebutuhan masyarakat. Pendekatan baru ini membuat pembacaan terhadap Israiliyat menjadi lebih selektif. Salah satu tokoh yang berperan besar dalam perubahan cara pandang ini adalah Quraish Shihab, yang memadukan kedalaman tradisi dengan pemikiran kontemporer.

Tafsir Al-Mishbah: Rasionalitas dan Penjernihan Akidah

Dalam Tafsir Al-Mishbah, Quraish Shihab menghadirkan pembacaan yang lebih ketat terhadap riwayat-riwayat Israiliyat. Beliau banyak terpengaruh oleh semangat pembaruan dari Tafsir Al-Manar, yaitu menempatkan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup yang harus dibaca secara rasional dan kontekstual. Pendekatan ini membuatnya hanya menerima riwayat yang jelas manfaatnya dan tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam.

Penolakan terhadap Mitos Harut dan Marut

Contoh paling kuat dari pendekatan kritis ini adalah penafsiran ayat 102 Surat Al-Baqarah. Dalam tafsir klasik, sering muncul kisah bahwa dua malaikat, Harut dan Marut, dihukum karena terjerumus pada dosa. Quraish Shihab menolak riwayat tersebut dengan beberapa alasan.

1) Argumen Teologis: Al-Qur’an menegaskan bahwa malaikat tidak mendurhakai Allah dan tidak memiliki dorongan nafsu. Karena itu, cerita bahwa mereka minum khamr atau berbuat zina tidak sesuai dengan prinsip dasar akidah.

2) Argumen Rasional: Cerita tersebut lebih dekat pada legenda Yahudi yang menggambarkan malaikat sebagai makhluk yang dapat jatuh dalam dosa. Menurut beliau, fungsi Harut dan Marut dalam ayat adalah memberikan peringatan tentang bahaya sihir, bukan menjadi pelaku penyimpangan moral.

3) Kritik Konten (Matan): Berbeda dengan pendekatan teks klasik yang sering mencantumkan riwayat tanpa analisis kritis, Quraish Shihab menilai isi cerita terlebih dahulu. Bila kontennya bertentangan dengan akal sehat, sains, atau nilai-nilai Islam, maka riwayat itu ditolak meskipun secara sanad tampak kuat. Pendekatan ini menandai pergeseran dari pembacaan naratif ke pembacaan analitis yang berbasis relevansi.

Pembaruan cara baca seperti ini membantu pembaca masa kini memilah antara cerita yang benar-benar mendukung pemahaman ayat dan cerita yang justru mengaburkan makna. Pendekatan kritis ini juga mencerminkan kebutuhan zaman: teks suci harus dipahami dengan akal sehat, etika, dan tanggung jawab ilmiah.

Studi Kasus Israiliyat dan Dampaknya dalam Kehidupan Sosial

Pembahasan Israiliyat tidak berhenti pada ranah akademik. Cara sebuah kisah disampaikan dapat mempengaruhi cara masyarakat memahami isu-isu penting seperti relasi laki-laki dan perempuan serta gambaran akhlak para nabi. Dua contoh berikut menunjukkan bagaimana cerita tambahan dapat membentuk cara berpikir publik, serta bagaimana pendekatan moderat membantu meluruskannya.

1) Penciptaan Hawa dan Dampaknya pada Wacana Gender

Salah satu cerita yang sangat dikenal di masyarakat adalah bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam. Cerita ini sering dipakai untuk membenarkan anggapan bahwa perempuan lebih lemah atau lebih emosional dibanding laki-laki. Padahal, cerita tersebut tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an. Banyak mufasir klasik menafsirkannya melalui riwayat tambahan yang bersumber dari tradisi lama.

Pembacaan modern memberikan penjelasan yang lebih seimbang. Ayat tentang “jiwa yang satu” dipahami sebagai penegasan bahwa Adam dan Hawa berasal dari jenis yang sama, yaitu manusia. Kata min dalam ayat tersebut dapat dimaknai sebagai penjelas jenis, bukan menunjukkan bahwa Hawa dibuat dari bagian tubuh Adam. Dengan penjelasan ini, kedudukan laki-laki dan perempuan kembali dipahami secara setara dalam martabat kemanusiaannya.

Hadits tentang tulang rusuk kemudian dipahami secara kiasan. “Bengkok” dimaknai sebagai perbedaan karakter, bukan kekurangan. Pesannya adalah agar laki-laki membangun relasi dengan kelembutan dan memahami perbedaan psikologis, bukan untuk merendahkan perempuan. Pendekatan ini menegaskan bahwa bias yang muncul akibat Israiliyat perlu diluruskan dengan prinsip akhlak dan keadilan.

2) Kisah Nabi Yusuf: Antara Kesucian dan Dramatisasi Berlebihan

Kisah Nabi Yusuf sering mendapat tambahan cerita yang dramatis untuk menggambarkan ketegangan antara Yusuf dan Zulaikha. Al-Qur’an hanya menyebut bahwa Yusuf melihat “tanda Tuhannya”, tetapi beberapa riwayat tambahan menggambarkannya secara sangat visual, seperti munculnya wajah Nabi Ya’qub atau tindakan malaikat untuk menahan syahwat.

Riwayat yang menggambarkan Yusuf sudah melakukan tindakan tidak pantas dianggap berlebihan dan tidak layak diterima. Fokusnya kembali pada pesan utama: kesucian diri, kekuatan pengendalian hawa nafsu, dan perlindungan Allah. Dalam beberapa tafsir lokal, penggunaan bahasa daerah membantu pembaca memahami nilai moral ini tanpa menodai martabat seorang nabi.

3) Kisah Nabi Daud dan Perempuan Istri Uria

Di beberapa tafsir lama terdapat narasi bahwa Nabi Daud jatuh cinta pada istri seorang prajurit, lalu mengatur strategi agar prajurit tersebut meninggal. Cerita ini berasal dari tradisi lama yang tidak sahih. Dalam pendekatan moderat, kisah ini ditolak karena bertentangan dengan konsep bahwa nabi terjaga dari dosa besar. Cerita seperti ini menurunkan citra kenabian dan dinilai tidak layak dijadikan rujukan.

4) Kisah Nabi Sulaiman Menyembah Berhala di Akhir Hayat

Beberapa kisah Israiliyat menggambarkan Nabi Sulaiman tergelincir pada penyembahan berhala demi menyenangkan istrinya. Pendekatan moderat menolak riwayat ini, karena bertentangan dengan akidah dan tidak sesuai dengan gambaran Al-Qur’an tentang Sulaiman sebagai nabi yang tegas dalam tauhid. Cerita seperti ini dianggap menyesatkan jika disampaikan tanpa klarifikasi.

5) Kisah Harut dan Marut sebagai Malaikat yang Berdosa

Riwayat yang menyatakan bahwa Harut dan Marut dihukum karena minum khamr dan berzina adalah salah satu Israiliyat paling populer dalam tafsir klasik. Analisis moderat menolaknya karena malaikat digambarkan oleh Al-Qur’an sebagai makhluk yang tidak mendurhakai Allah. Riwayat ini dianggap berbahaya karena merusak prinsip dasar tentang kesucian malaikat.

6) Kisah Raksasa Og bin Unuq

Beberapa kitab tafsir lama menukil cerita tentang raksasa Og bin Unuq yang tingginya mencapai awan dan dapat memanggang ikan di matahari. Cerita jenis ini masuk kategori kisah fantastis tanpa dasar dalil. Pendekatan moderat menempatkannya sebagai cerita rakyat kuno yang tidak relevan untuk penguatan iman, sehingga tidak boleh dijadikan ajaran.

7) Kisah Panjang Usia Nabi-Nabi secara Berlebihan

Terdapat riwayat bahwa beberapa nabi hidup ribuan tahun, jauh melampaui penjelasan Al-Qur’an. Sebagian riwayat yang menyebut angka-angka ekstrem (misalnya 5.000–10.000 tahun) diidentifikasi sebagai Israiliyat. Pendekatan moderat menganggapnya tidak kuat karena tidak memiliki dasar yang jelas dan sering kali tidak sejalan dengan akal sehat maupun pola sejarah manusia.

8) Kisah Iblis Pernah Menjadi Malaikat

Beberapa riwayat tambahan menceritakan bahwa Iblis dahulu adalah malaikat agung yang kemudian jatuh. Al-Qur’an justru menegaskan bahwa Iblis berasal dari golongan jin. Karena itu, kisah “Iblis mantan malaikat” dikategorikan sebagai Israiliyat yang bertentangan dengan nash. Pendekatan moderat menolaknya karena mengubah struktur dasar cerita Al-Qur’an.

9) Kisah Azazil Sebelum Menjadi Iblis

Beberapa literatur lama menyebut bahwa Iblis memiliki nama “Azazil” dan merupakan pemimpin para malaikat. Riwayat ini sering dikutip tanpa penjelasan bahwa ia berasal dari literatur non-Islam. Pendekatan moderat menyatakan bahwa tidak ada keperluan untuk menetapkan kebenarannya karena tidak ada dalil yang mendukung.

10) Kisah Bahtera Nuh: Jenis Kayu dan Ukuran Kapal

Banyak kitab tafsir memasukkan detail tentang ukuran bahtera, jumlah lantainya, dan jenis kayu yang dipakai. Semua detail ini tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Dalam pendekatan moderat, seluruhnya dikategorikan sebagai riwayat netral: tidak berdampak pada aspek akidah dan tidak harus diyakini. Fungsinya hanya informatif.

11) Kisah Nama Anjing Ashabul Kahfi

Beberapa riwayat menyebut nama-nama Ashabul Kahfi dan warna anjing mereka. Cerita semacam ini tidak berdampak pada pesan moral kisah tersebut, sehingga masuk kategori netral. Pendekatan moderat menyikapinya sebagai pengetahuan tambahan yang tidak perlu diperdebatkan.

12) Kisah Tongkat Nabi Musa: Detail Ajaib Berlebihan

Sejumlah tafsir klasik memuat detail bahwa tongkat nabi Musa memiliki sejumlah keajaiban tambahan yang tidak disebutkan dalam nash, seperti dapat berubah menjadi makhluk tertentu dalam berbagai ukuran fantastis. Pendekatan moderat menerima mukjizat Musa sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an, tetapi tetap kritis pada detail tambahan yang tidak memiliki dasar kuat.

13) Kisah Nabi Sulaiman Memiliki Kendaraan Ajaib Berbasis Jin

Riwayat-riwayat Israiliyat tertentu menggambarkan Sulaiman memiliki kendaraan udara fantastis yang digerakkan oleh para jin. Meskipun Sulaiman memiliki kekuasaan atas angin dan jin berdasarkan Al-Qur’an, detail mekanis semacam “pesawat jin” dipandang sebagai cerita tambahan yang tidak perlu dipastikan kebenarannya.

14) Kisah Umur Umat Terdahulu yang Tidak Wajar

Beberapa riwayat menyebutkan bahwa umat terdahulu hidup hingga ribuan tahun untuk setiap generasi. Hal semacam ini dapat diterima jika ada sumber primer Islam yang secara eksplisit mengonfirmasi lamanya usia tersebut. Namun, bila tidak ada dukungan dari Al-Qur’an atau hadits yang sahih, maka riwayat seperti itu tidak memiliki landasan yang kuat.

Dalam pendekatan moderat, angka-angka ekstrem yang tidak jelas asal-usulnya—dan tidak selaras dengan pengetahuan ilmiah modern—ditempatkan sebagai cerita tradisional. Riwayat seperti ini tidak harus ditolak secara total, tetapi juga tidak layak diyakini sebagai fakta keagamaan yang mengikat.

Secara umum, pendekatan moderat menerima varian penafsiran atau tambahan dari Israiliyat selama tidak bertentangan dengan sifat terjaga para nabi, tidak merusak akidah, dan tidak menggeser makna pokok ayat.

Studi-studi kasus menunjukkan bahwa Israiliyat dapat mempengaruhi cara masyarakat memahami sejarah, akhlak, dan isu sosial. Karena itu, penyaringan yang cermat membantu membedakan mana cerita yang dapat memperkaya wawasan dan mana yang justru melahirkan bias atau kesalahpahaman.

Penutup: Menempatkan Israiliyat Secara Proporsional

Kisah Israiliyat adalah bagian dari sejarah panjang penafsiran, bukan sumber ajaran pokok. Sebagiannya berfungsi sebagai pelengkap cerita, sebagian lain menyimpan bias yang perlu ditolak, dan sebagian berada pada ruang netral yang tidak harus diyakini. Karena itu, pembacaan moderat melihat Israiliyat dengan hati-hati: menghargai nilai informatifnya, tetapi tetap berpegang pada Al-Qur’an dan prinsip akhlak dalam menilai kebenarannya.

Pemahaman yang seimbang membantu pembaca membedakan mana kisah yang memperjelas makna dan mana yang justru menimbulkan kerancuan. Di titik ini, tradisi keilmuan pesantren, sikap kritis ulama modern, serta panduan metodologis yang jelas menjadi penopang agar Israiliyat tidak mengaburkan pesan wahyu. Dengan menempatkannya secara proporsional, pembaca dapat mengambil manfaat tanpa kehilangan ketepatan makna dan etika beragama.