Kalimat La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzolimin ini tidak lahir dari suasana tenang atau renungan panjang, tetapi dari keadaan seorang manusia—seorang nabi—yang berada di titik paling gelap dalam hidupnya. Memahami konteksnya membantu kita menangkap getaran batin yang melahirkan doa ini.
Kisah Nabi Yunus memang sering dikenal sebagai cerita tentang “ditelan ikan”, namun alur sebenarnya lebih dari itu. Yunus berhadapan dengan kekecewaan, keputusan tergesa, rasa bersalah, dan akhirnya keheningan total di perut seekor makhluk laut raksasa.
Dalam sumber-sumber tafsir—mulai dari Ibnu Katsir, Al-Tabari, hingga pandangan ulama kontemporer—kronologi kemunculan doa ini sangat jelas:
Yunus meninggalkan kaumnya karena ‘putus asa’, lalu menghadapi badai di tengah laut, diundi dari kapal, hingga akhirnya ditelan ikan. Di sana, dalam kegelapan berlapis—kegelapan laut, malam, dan perut ikan—ia tidak bisa lagi mengandalkan kecepatan langkahnya, kecerdasannya, atau status kenabiannya.
Justru ketika semua daya manusia runtuh, lahirlah doa atau dzikir yang sampai hari ini menjadi pegangan jutaan orang yang tersesak oleh masalah hidup. Istighfar itu bukan kalimat hafalan; ia lebih mirip suara jujur seseorang yang akhirnya mengakui bahwa dirinya telah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Saat kita memahami bagaimana doa la ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzolimin itu muncul, kita mulai melihat bahwa kalimat tersebut bukan sekadar bagian dari kisah Nabi Yunus, tetapi juga cermin bagi siapa pun yang pernah merasa “terlalu jauh”, “terlalu gelap”, atau “tidak bisa kembali”.
Dan setelah konteksnya mulai jelas, kini kita bisa melangkah ke bagian berikutnya: menggali bacaan lengkap doa tersebut beserta arti dan inti maknanya.
Bacaan Doa Lengkap, Arti, dan Makna Intinya

Doa ini tercatat dalam Surah Al-Anbiyā’ ayat 87, sebuah ayat yang merangkum suara seorang hamba yang sedang berada pada batas kemanusiaannya. Bacaan lengkapnya sebagai berikut:
La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzolimin Arab
Teks doa Nabi Yunus dalam perut ikan dalam Qs Al-Anbiya’ ayat 87 tulisan arab:
لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
Ada banyak variasi penulisan latin (transliterasi), karena orang menuliskannya sesuai kebiasaan masing-masing. Secara umum, bentuknya tetap sama, hanya berbeda cara menuliskan huruf panjang dan huruf bersyaddah.
Beberapa variasi latin yang benar misalnya:
- La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minaz-zalimin
- Laa ilaaha illaa anta subhaanaka innii kuntu minaz-zhaalimiin
- La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzolimin
- Lailaha illa anta subhanaka inni kuntu minadhdhalimin
- Lailla hailla anta subhanaka inni kuntu minadzolimin
Semua itu merujuk pada doa yang sama, hanya beda gaya penulisan.
La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzolimin artinya “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau; Maha Suci Engkau; sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.”
Makna Lailaha illa anta subhanaka inni kuntu minadhdhalimin
Pertama, “la ilaha illa anta” adalah pengakuan bahwa tidak ada pegangan lain selain Allah. Dalam keadaan yang benar-benar gelap, kalimat ini menjadi semacam titik tumpu tempat Yunus menyandarkan seluruh harapannya—bukan karena ia tidak punya pilihan lain, tetapi karena pilihan yang lain memang tidak berfungsi. Inilah cara paling jujur untuk mengatakan: “Aku berhenti bergantung pada apa pun yang ternyata tidak menolong.”
Kedua, “subhanaka” adalah penyadaran diri bahwa Allah tidak pernah menzalimi siapa pun. Kalimat ini membersihkan prasangka yang biasanya muncul saat seseorang menghadapi kesempitan hidup—prasangka bahwa Tuhan “tidak memihak”. Pada titik inilah tasbih bekerja, bukan hanya sebagai pujian verbal, tetapi sebagai cara mengembalikan pikiran ke arah yang sehat.
Ketiga, “inni kuntu minadz-zalimin” adalah bentuk kejujuran yang jarang kita lihat hari ini. Yunus mengakui bahwa ia telah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Bukan pengakuan yang merendahkan diri, melainkan bentuk keberanian moral: mengakui peran diri tanpa mencari kambing hitam.
Dalam bahasa yang paling mudah, doa ini bisa dimaknai sebagai:
“Ya Allah, hanya Engkau tempatku bergantung. Engkau tidak pernah salah. Aku mengakui bahwa aku-lah yang keliru.”
Pengakuan sederhana seperti ini terasa dalam karena selaras dengan kondisi batin Yunus ketika berada di dalam perut ikan. Inilah mengapa banyak ulama menyebut doa ini sebagai doa paling jujur yang dapat lahir dari manusia—sekaligus paling cepat menembus langit.
Setelah mengenal maknanya secara utuh, kita bisa melangkah lebih dalam untuk melihat bagaimana struktur bahasa doa ini bekerja seperti mesin yang dirancang sangat presisi. Pembahasan itu ada di bagian berikutnya.
Setelah memahami makna dasar doa Nabi Yunus, kini kita masuk ke lapisan yang lebih dalam: bagaimana doa ini dirangkai secara bahasa. Bagian ini memang lebih teknis, tetapi justru di sinilah kekuatannya terlihat jelas. Susunan katanya bukan kebetulan; setiap potongan kalimat menyimpan fungsi tertentu yang membuat doa ini menjadi begitu kuat secara spiritual dan psikologis.
Analisis Doa Nabi Yunus dari Sisi Gramatik dan Balaghah
Struktur doa la ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadz-zalimin adalah contoh bagaimana bahasa Arab Qur’ani menggabungkan ketepatan (gramatik) dan daya sentuh (balaghah) dalam satu tarikan napas. Kita akan membedahnya secara sederhana, tanpa menghilangkan detail penting yang membuat doa ini begitu “tepat sasaran”.
1. “La ilaha illa anta”: Penafian Total dan Penetapan Tunggal
Frasa ini memakai pola nafy wa itsbat — menafikan semua lalu menetapkan satu. Dalam bahasa Arab, pola seperti ini adalah bentuk paling kuat untuk mengatakan bahwa hanya ada satu pusat ketergantungan yang valid.
- “La ilaha” menggunakan la nafiyah lil-jins, yaitu “la” yang menghapus seluruh jenis sesuatu. Artinya: tidak ada satu pun yang bisa disebut ilah, tanpa pengecualian.
- “illa anta” adalah pembatasan mutlak. Hanya Engkau. Tidak ada yang lain. Titik.
Dalam balaghah, ini disebut hasr—pembatasan makna secara total. Tekanan mentalnya jelas: semua tempat bersandar runtuh, kecuali Allah. Pada titik ini, doa Yunus bergerak dari logika ke pengakuan batin.
Menariknya, Yunus tidak mengatakan “illallah”, tetapi “illa anta”.
Kata ganti “Engkau” membuat doa ini terasa dekat, personal, dan langsung. Tidak lagi membicarakan Tuhan sebagai konsep, tetapi berbicara kepada Tuhan. Perubahan kecil ini memberi efek besar: doa terasa lebih jujur dan mendesak.
2. “Subhanaka”: Maf’ul Mutlak yang Memperkuat Nada Penyucian
Kata subhanaka berasal dari “subhana”, sebuah masdar (kata dasar) yang berfungsi sebagai maf’ul mutlak—objek penguat bagi kata kerja yang dihilangkan. Seakan-akan kalimat lengkapnya adalah:
“Usabbihuka subhanaka” — “Aku mensucikan-Mu dengan penyucian yang sebenar-benarnya.”
Dalam retorika Qur’ani, penghilangan kata kerja adalah cara untuk menambah kekuatan makna. Doanya menjadi lebih padat, lebih menekan, lebih penuh kesadaran. Tidak ada penjelasan panjang—hanya inti yang tersisa.
Selain itu, kata “subhan” dalam akar bahasa Arab memiliki makna dasar “menjauhkan”. Artinya: Aku menjauhkan Engkau dari segala prasangka buruk, dari segala bayangan ketidakadilan, dari segala tuduhan yang lahir dari kepicikan manusia. Pada titik ini, doa Yunus tidak hanya memuji, tetapi juga menata ulang pikirannya sendiri.
3. “Inni kuntu minadz-zalimin”: Pengakuan yang Meruntuhkan Ego
Bagian terakhir ini memakai struktur yang sangat jujur:
- “inni” = sesungguhnya aku (partikel penegas + subjek)
- “kuntu” = aku telah / aku dulu
- “minadz-zalimin” = termasuk orang-orang yang zalim
Yang menarik: Nabi Yunus tidak mengatakan “aku salah”, tetapi “aku termasuk orang-orang yang salah”.
Ini adalah kerendahan diri tingkat tinggi.
Secara balaghah, bentuk jamak pada kata “zhalimīn” menunjukkan sikap merendah—ia tidak menempatkan dirinya lebih tinggi dari manusia lain, meski ia seorang nabi. Secara psikologis, ini mengajarkan bahwa pengakuan salah tidak selalu meruntuhkan martabat; kadang justru memulihkan kejernihan hati.
Dalam ilmu makna, struktur “inni kuntu” mengandung penegasan atas masa lalu. Pengakuan ini bukan sekadar kesalahan saat itu, tetapi kesadaran penuh bahwa apa pun yang ia lakukan sebelumnya telah membawanya ke titik tersebut. Bahasa Arab memiliki cara halus untuk menegaskan ini—dan Yunus menggunakannya dengan tepat.
Setelah memahami kekuatan bahasanya, kita bisa beralih pada bagaimana ulama menafsirkan doa ini dari berbagai sudut pandang. Di bagian selanjutnya, kita masuk pada dimensi tafsir.
Setelah memahami kekuatan struktur bahasanya, sekarang kita masuk pada lapisan yang tidak kalah penting: bagaimana para ulama menafsirkan doa ini. Penafsiran mereka menunjukkan bahwa kalimat yang pendek ini punya kedalaman yang tidak akan terlihat jika hanya dibaca lewat terjemahan saja. Dari sinilah kita mengetahui mengapa kalimat yang sama bisa dianggap doa, istighfar, sekaligus zikir.
Analisis Tafsir Doa dan Pandangan Ulama
Para mufasir dan ulama memahami doa Nabi Yunus ini sebagai ungkapan yang menggabungkan tiga dimensi sekaligus: pengakuan tauhid, penyucian, dan pengakuan salah. Gabungan tiga dimensi inilah yang membuat kalimat ini menjadi istimewa. Kita akan melihat bagaimana para ulama menjelaskan kedalaman tersebut.
1. Tafsir Surah Al-Anbiyā’ 87: Doa yang Terlahir dari Kegelapan Berlapis
Ayat ini menggambarkan Yunus “menyeru dalam kegelapan-kegelapan”. Para ulama menyebutnya sebagai kegelapan malam, kegelapan lautan, dan kegelapan perut ikan. Tafsir seperti ini menunjukkan bahwa doa tersebut lahir bukan dari rutinitas ibadah yang tenang, tetapi dari momen ketika seseorang berada di luar jangkauan kemampuan manusiawi.
Menurut Ibnu Katsir, kalimat yang diucapkan Yunus bukan sekadar bentuk permohonan, tetapi pengakuan jujur seorang hamba yang menyadari bahwa dirinya telah bertindak salah karena meninggalkan tugas tanpa izin Allah. Ini bukan bentuk ‘putus asa’, tetapi bentuk kembali kepada Allah dengan kesadaran penuh.
2. Pandangan Ibn Taymiyyah: Doa untuk Mengangkat “Gham” (Kesempitan Batin)
Ibn Taymiyyah menjelaskan bahwa kesempitan hidup — yang dalam bahasa Arab disebut al-gham — sering muncul karena ada satu titik kelalaian atau kesalahan yang dibiarkan. Doa Yunus bekerja dengan mekanisme yang sangat jelas: mengakui kesalahan diri, membersihkan prasangka kepada Allah, dan memusatkan kembali seluruh harap hanya kepada-Nya.
Dalam pandangannya, doa ini lebih efektif daripada permohonan langsung seperti “Ya Allah selamatkan aku.” Mengapa? Karena perubahan batin yang terjadi melalui tauhid, tasbih, dan i’tiraf lebih kuat daripada sekadar meminta hasil. Inilah yang membuat doa Yunus bukan sekadar seruan, tetapi pembenahan dari dalam.
3. Pandangan Ibnul Qayyim: Doa yang Memadukan Tauhid dan Kerendahan Diri
Ibnul Qayyim melihat kalimat ini sebagai bentuk ibadah dengan tiga lapisan:
- tauhid (la ilaha illa anta),
- penyucian (subhanaka),
- kerendahan dan pengakuan salah (inni kuntu minadz-zalimin).
Menurut beliau, doa ini sangat cepat dikabulkan karena struktur batinnya lengkap. Ia menggabungkan cinta, takut, harap, dan tunduk sekaligus. Tidak ada unsur pamer, tidak ada tuntutan, tidak ada negosiasi — hanya kejujuran seorang hamba.
4. Apakah ini Doa, Istighfar, atau Zikir?
Inilah bagian yang sering membingungkan banyak orang. Kalimat yang sama kadang disebut sebagai doa Nabi Yunus, kadang sebagai istighfar Nabi Yunus, dan kadang sebagai dzikir Nabi Yunus. Sebenarnya tidak ada kontradiksi. Perbedaannya hanya pada sudut pandang:
- Disebut doa karena ia dipanjatkan dalam kondisi memohon pertolongan dan mengharap keluarnya dari kesempitan.
- Disebut istighfar karena Yunus mengakui kesalahannya dengan kalimat “inni kuntu minadz-zalimin”. Ini inti istighfar, yakni mengakui salah tanpa membela diri.
- Disebut zikir karena isinya adalah tasbih (“subhanaka”) dan tauhid (“la ilaha illa anta”), dua bentuk zikir paling mendasar dalam tradisi Qur’an dan Sunnah.
Ulama menjelaskan bahwa satu kalimat bisa berada pada tiga kategori sekaligus karena tidak semua zikir itu permohonan, tetapi banyak permohonan yang sekaligus zikir. Doa Yunus adalah contoh paling jelas: zikir yang menjadi doa, dan doa yang bekerja seperti istighfar.
Setelah memahami bagaimana para ulama membaca doa ini dari sisi makna dan struktur, pertanyaan selanjutnya muncul dengan sendirinya: bagaimana sebenarnya Nabi Yunus menggunakan doa tersebut? Bagaimana ia mengucapkannya, pada situasi seperti apa, dan apa yang bisa kita tiru dari cara beliau berdoa? Dari sini kita masuk pada pembahasan yang lebih praktis dan lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Cara Berdoa / Dzikir La Ilaha Illa Anta Subhanaka Inni Kuntu Minadzolimin
Doa ini tidak muncul dalam suasana ibadah yang tenang. Ia lahir dalam kondisi terhimpit, ketika Yunus berada di dalam perut ikan. Para ulama menjelaskan bahwa apa yang beliau lakukan bukan sekadar mengucapkan doa, tetapi menghadirkan tiga sikap batin:
1. Doa yang Diulang, Bukan Sekadar Dibaca
Tafsir Al-Qurthubi menegaskan bahwa Yunus mengulang-ulang doa ini di dalam kegelapan. Pengulangan ini bukan bentuk panik, tetapi cara untuk memusatkan hati. Ulama menyebutnya sebagai ilham at-tawbah, ilham untuk kembali kepada Allah tanpa menuntut apa pun.
Maka ketika doa ini dipraktikkan oleh umat hari ini, ia lebih dekat dengan bentuk dzikir yang diulang ketimbang permohonan panjang yang disusun dengan retorika. Pengulangannya bertujuan untuk menenangkan batin yang sedang kacau.
2. Doa yang “Menghadirkan Kesalahan”, Bukan Menyembunyikannya
Yang dilakukan Yunus bukan sekadar meminta diselamatkan. Beliau memulai dengan mengakui posisi diri. Ini penting, karena dalam psikologi agama, seseorang lebih mudah keluar dari tekanan ketika ia berhenti menyalahkan keadaan.
Inilah mengapa para ulama menyebut doa ini sebagai istighfar terselubung. Tidak ada kata “ampuni aku”, tetapi ada pengakuan salah yang sangat jujur. Dan pengakuan adalah pintu keluar.
3. Doa yang Tidak Mengatur Hasil
Perhatikan bahwa doa ini sama sekali tidak menyebut “Ya Allah, keluarkan aku dari perut ikan.” Tidak ada kalimat permohonan eksplisit.
Justru di sinilah kekuatan spiritualnya: ia tidak mengatur “bagaimana hasilnya”, tetapi menata kembali hubungan antara hamba dan Tuhan. Dari hubungan yang jernih, hasil akan mengikuti.
4. Bagaimana Kita Mengamalkannya?
Secara aplikasi, doa ini bisa dibaca:
- ketika seseorang merasa tertekan oleh situasi yang ia buat sendiri,
- ketika seseorang sadar bahwa ada pilihan hidup yang keliru,
- atau ketika seseorang ingin meredakan isi kepala yang penuh prasangka kepada Allah.
Para ulama juga memberi panduan sederhana: bacalah berulang-ulang dengan tenang, bukan dengan nada kejar-kejaran. Tujuan utamanya bukan kuantitas, tetapi kejernihan hati. Inilah inti praktik doa Yunus.
Dengan memahami konteks penggunaannya, kita bisa menutup pembahasan dengan bagian terakhir: rahasia mengapa doa ini menjadi begitu kuat dan mengapa banyak ulama menyebutnya sebagai salah satu kunci keselamatan batin.
Mengapa Doa Ini Sangat Kuat?
Jika dilihat sekilas, doa Nabi Yunus sangat pendek. Namun pada level psikologi dan spiritualitas, ia menggabungkan tiga mekanisme pemulihan batin yang jarang muncul bersamaan dalam doa-doa lain. Para ulama, ahli balaghah, dan ahli jiwa Islam menjelaskannya lewat beberapa alasan berikut.
1. Ia Menyasar Akar Masalah, Bukan Gejala
Kebanyakan doa muncul sebagai permohonan agar keadaan berubah. Doa Yunus berbeda. Ia menyasar ke akar persoalan: hubungan antara hamba dan Tuhan. Ketika akar ini diperbaiki, kondisi luar mengikuti. Karena itu para ulama menyebut doa ini sebagai “pembuka jalan”, bukan “permintaan hasil”.
2. Ia Membersihkan Prasangka Negatif kepada Allah
Kata “subhanaka” tidak hanya berarti “Engkau Mahasuci”, tetapi juga: “Aku membersihkan pikiran burukku tentang-Mu.”
Dalam suasana terjepit, pikiran manusia mudah menuduh Allah tidak memihak, tidak peduli, atau tidak adil. Doa ini menghentikan pola pikir itu. Secara psikologis, inilah fase penting untuk keluar dari tekanan hidup.
3. Ia Mengembalikan Tanggung Jawab ke Diri Sendiri
“Inni kuntu minadz-zalimin” melatih seseorang untuk mengakui bagian dirinya dalam masalah. Ini langsung memutus pola menyalahkan keadaan atau pihak lain. Dalam konsep penyembuhan spiritual, pengakuan tanpa pembelaan adalah pintu lahirnya ketenangan.
4. Ia Menyatukan Tauhid, Tasbih, dan I’tiraf Sekaligus
Inilah alasan terbesar para ulama menyebut doa ini sebagai salah satu doa paling agung.
Di dalam satu kalimat ada:
- Tauhid: memusatkan sandaran hidup,
- Tasbih: membersihkan pikiran dari suudzan kepada Allah,
- I’tiraf: keberanian mengakui kekeliruan diri.
Tiga komponen ini, bila bertemu dalam satu tarikan napas, menghasilkan doa yang sangat dalam. Tidak heran jika doa ini dipuji Rasulullah sebagai doa yang “jika dibaca oleh siapa pun yang sedang menghadapi kesulitan, niscaya Allah akan menolongnya.”
5. Ia Mengajarkan bahwa Jalan Keluar Dimulai dari Dalam
Doa Yunus mengingatkan bahwa sebelum keadaan berubah, hati harus lebih dulu dibereskan. Tidak semua orang punya keberanian untuk berkata “Aku telah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.” Yunus mengucapkannya tanpa alasan tambahan. Dan dari kejujuran itulah jalan keluar dibukakan.
Dengan memahami seluruh kajian ini, pembahasan tentang doa Nabi Yunus la ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzolimin menjadi lengkap: mulai dari konteks turunnya, struktur bahasanya, tafsir para ulama, praktik pengamalannya, hingga rahasia mengapa doa ini sangat kuat pada level batin. Wallahu a’lam bisshawab.