Shalat dan Shalawat: Asal-Usul dan Maknanya

Ketika mendengar kata shalat, sebagian orang langsung membayangkan gerakan rukuk–sujud. Padahal, di balik lafaz yang terlihat sederhana ini, ada sejarah panjang dalam bahasa Arab yang sering luput dari pembahasan umum. Bahkan, ada perdebatan menarik di kalangan pakar bahasa: dari mana sebenarnya kata “shalat” (ﺻَﻼة) ini berasal? Apakah benar berkaitan dengan doa? Atau justru dari makna lain yang jarang diketahui?

Dalam artikel ini, kita akan menelusuri akar katanya secara sederhana agar siapa pun bisa memahami bagaimana kata “shalat” berkembang dari makna bahasa menuju syariat. Setelah gambaran awal ini jelas, barulah kita masuk ke pembahasan lebih runtut pada bagian berikutnya.

Ragam Asal-Usul Kata Shalat (صلاة) Menurut Para Ahli Bahasa

Penjelasan Aḥmad Ḥasan Farḥāt dalam karyanya Ma‘ājim Mufradāt al-Qur’ān,

كتاب معاجم مفردات القرآن (موازنات ومقترحات)

menelusuri secara sistematis berbagai pendapat ahli bahasa Arab terkait asal-usul kata shalat dengan merujuk pada kamus-kamus primer dengan perincian sebagai berikut:

Jalur Pertama — Akar “الصِّلي / الصَّلي”: Panas, Api, Terbakar

Tokoh yang mewakili: al-Rāghib al-Aṣfahānī, al-Khalīl, sebagian lughawiyyīn klasik
Rujukan: Makna-makna yang dikutip Farhat dari al-Mufradāt dan syair Arab.

Inti pandangan:

  • “الصَّلي” bermakna terbakar, terkena panas, atau masuk ke dalam api.
  • Contoh ayat:
    • {يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَى}
    • {تَصْلَى نَاراً حَامِيَةً}
    • {وَيَصْلَى سَعِيراً}

Dari sini muncul makna turunan seperti: ṣhallā ʿalayh = mendoakan, memohon kebaikan. Namun Farhat mengkritik jalur ini karena tidak ada jembatan semantik yang kuat dari “panas api” menuju “doa”. Analogi “shalat menghilangkan panas neraka” dinilai terlalu dipaksakan.

Jalur ini memiliki dasar, tetapi bukan yang paling kuat secara etimologis.

Jalur Kedua — Akar “ص ل و”: Doa, Pujian, Keberkahan

Tokoh yang mewakili: al-Ṣamīn al-Ḥalabī, al-Fayrūzābādī, banyak ahli bahasa klasik.
Makna kamus: الصلاة = الدعاء.

Penggunaan ini ditemukan dalam syair Arab dan hadits, misalnya ungkapan “فليصلِّ” bermakna “berdoalah untuk tuan rumah”. Dari makna “doa”, berkembang menjadi pujian, rahmat, keberkahan, hingga ibadah resmi berupa rukuk dan sujud.

Al-Ṣamīn membedakan:

  • ص ل و → untuk makna shalat (ibadah)
  • ص ل ي → untuk makna panas

Mayoritas kamus besar mengikuti jalur ini, tetapi Farhat melihatnya belum menjawab asal-usul paling awal.

Jalur Ketiga — Akar “الصَّلْوَين” (Dua Urat di Punggung/Pinggul)

Tokoh yang menyebut: al-Ṣamīn al-Ḥalabī sebagai tambahan.

“الصَّلَوان” adalah dua bagian tulang/urat di punggung bagian pinggul. Dari sini muncul analogi:

  • gerakan shalat yang teratur seperti pergerakan urat-urat tersebut,
  • atau istilah al-muṣallī untuk kuda yang mengikuti kuda terdepan dalam pacuan.

Farhat menganggap ini bukan akar, hanya keterangan budaya yang bersifat sekunder.

Jalur Keempat — Akar Ibrani, Kaldea, dan Semitik Kuno

Tokoh penting: al-Farāhī (yang dinilai Farhat paling kuat).

Menurut kajian semitik kuno:

  • Makna dasar shalat adalah “menghadap kepada sesuatu”.
  • Di bahasa Kaldea digunakan untuk doa dan permohonan.
  • Di bahasa Ibrani dipakai untuk rukuk dan ibadah.

Makna “menghadap” ini mampu merangkum seluruh sisi shalat:
– doa, – rukuk, – sujud, – tadharru’, – ketundukan, – dan ibadah formal.

Teori Farāhī paling harmonis dan tidak memaksakan hubungan makna. Semua derivasi berjalan alami dari konsep inti: menghadap dan mengarahkan diri kepada Allah.

Setelah menimbang seluruh jalur penjelasan, Farhat menyimpulkan:

  • Akar panas-api (الصلي): memiliki dasar tetapi lemah dalam menjelaskan perubahan makna.
  • Akar doa (ص ل و): kuat dalam tradisi Arab, tetapi tidak memetakan asal semitik paling awal.
  • Penjelasan dua urat (الصَّلْوان): hanya analogi tambahan.
  • Teori Semitik kuno (al-Farāhī): paling menyeluruh dan konsisten.

Karena itu Farhat menguatkan makna dasar:
shalat = menghadap dan mendekat kepada Allah;
lalu dari makna ini lahir seluruh bentuk doa, rukuk, sujud, dan ibadah sebagaimana dikenal dalam syariat.

Makna Shalat: Dari Bahasa hingga Istilah Syariat

Sebelum masuk ke perincian fikih, perlu dijelaskan terlebih dahulu dua lapis makna shalat: makna secara bahasa (اللُّغَة) dan makna secara istilah syariat (الاصطلاح). Dengan membedakan keduanya, pembahasan menjadi lebih jernih dan tidak tumpang tindih.

1. Makna Shalat Menurut Bahasa

Mayoritas ahli bahasa sepakat bahwa salah satu makna paling kuat dari kata shalat (صلاة) adalah doa. Ini merujuk langsung pada penggunaan Al-Qur’an:

{وَصَلِّ عَلَيْهِمْ} — artinya “doakanlah mereka” (QS. At-Tawbah: 103).

Hadis sahih juga memakainya dalam makna doa. Nabi bersabda:

“Jika salah seorang di antara kalian diundang, maka penuhilah. Jika ia berpuasa, maka fal-yushalli (hendaklah ia mendoakan tuan rumah).”

Dengan demikian, dalam bahasa Arab, kata shalat memang bukan sejak awal berarti gerakan rukuk-sujud. Makna ibadah dengan gerakan baru lahir kemudian dan menjadi bentuk paling khas dari shalat dalam syariat Islam.

2. Makna Sholat dalam Istilah Syariat

Setelah Islam datang, kata shalat mendapatkan makna teknis yang baku. Para ulama fikih menjelaskannya sebagai berikut:

a. Menurut Jumhur (Syafi‘iyah, Malikiyah, Hanabilah)

Shalat adalah serangkaian ucapan dan gerakan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dilakukan dengan niat, serta memenuhi syarat-syarat tertentu.

Definisi ini dikenal melalui kitab-kitab fikih besar seperti Mughni al-Muhtāj, Mawāhib al-Jalīl, dan Kasyyāf al-Qinā‘.

b. Menurut Hanafiyah

Shalat adalah nama bagi gerakan-gerakan tertentu seperti berdiri, rukuk, dan sujud.

Penjelasan ini dapat ditemukan dalam Fatḥ al-Qadīr (1/191).

Kedua definisi ini sama-sama benar; hanya saja Hanafiyah menekankan aspek “gerakan ibadah”, sementara jumhur menggabungkan “ucapan + gerakan” sebagai satu ibadah yang utuh.

Makna bahasa (doa) menjelaskan ruh dari shalat: menghadap, memohon, dan tunduk. Makna syariat menjelaskan bentuk teknis shalat yang diwajibkan: gerakan, bacaan, dan aturan-aturan tertentu. Keduanya saling melengkapi—makna awal memberi jiwa, makna syariat memberi struktur.

Hubungan Shalat dan Shalawat

Setelah memahami akar kata dan makna-maknanya, langkah berikutnya adalah melihat bagaimana dua istilah yang mirip—shalat (صلاة) dan shalawat (صلوات)—memiliki hubungan semantik yang sangat kuat, tetapi tetap berbeda fungsi dan cakupannya menurut para ulama bahasa dan ahli fikih.

Dalam literatur Arab, bentuk shalat (صلاة) dan shalawat (صلوات) sama-sama berangkat dari struktur kata yang satu rumpun. Karena itu, keduanya berbagi konsep dasar berupa menghadap, memohon, mendekat, dan mengekspresikan pengagungan. Namun perbedaan konteks membuat maknanya bergerak ke arah yang berbeda.

1. Titik Temu Makna: Doa, Pengagungan, dan Kedekatan

Para ahli bahasa—seperti al-Farrā’, Ibn Fāris, dan al-Ṣamīn al-Ḥalabī—menjelaskan bahwa baik shalat maupun shalawat membawa inti makna al-iqbāl (الإقبال): menghadap kepada sesuatu dengan penuh perhatian.

  • Shalat → menghadap Allah melalui ibadah yang berisi doa, bacaan, rukuk, sujud.
  • Shalawat → doa agar Allah memuliakan dan meninggikan derajat Nabi.

Artinya, kedua istilah ini sama-sama berada di satu spektrum makna “mendekat dan memohon”, tetapi objek, bentuk, dan mekanismenya berbeda.

2. Perbedaan Fungsi dalam Syariat

Menurut para fuqaha:

  • Shalat adalah ibadah mahdhah yang memiliki rukun dan syarat tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
  • Shalawat adalah doa, dan tidak memiliki format teknis khusus kecuali redaksi yang diajarkan Nabi.

Karena itu, ketika seseorang mengucapkan “Allahumma shalli ‘ala Muhammad”, ia tidak sedang melakukan “shalat” secara fikih, tetapi sedang meminta kepada Allah agar Allah memberi shalawat kepada Nabi.

3. Shalawat dalam Shalat

Menariknya, meskipun shalat dan shalawat berbeda, keduanya saling berkelindan dalam ibadah shalat. Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ setelah tasyahhud terakhir memiliki kedudukan penting.

Menurut madzhab Syafi’i dan Hanbali, ini termasuk rukun yang harus dilaksanakan. Dasarnya adalah ayat Al-Qur’an:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً}

serta hadis yang menjelaskan cara bershalawat yang benar.

Minimal bacaan Shalawat dalam shalat adalah:

اللهم صل على محمد

صلى الله على محمد

صلى الله على رسوله

صلى الله على النبي

عليه الصلاة والسلام

Ulama menegaskan bahwa shalawat ini wajib dibaca setelah tasyahhud terakhir. Jika dilakukan sebelum tasyahhud, menurut Syafi’iyyah tidak sah.

Nabi ﷺ bershalawat pada dirinya sendiri di salat witir, dan menganjurkan umatnya untuk meniru cara beliau bershalawat. Sebagian ulama menjadikan shalawat ini sebagai rukun terpisah, sementara sebagian lain menganggapnya sebagai bagian dari tasyahhud terakhir.

4. Mengapa Shalawat Ditempatkan dalam Shalat?

Para ulama tafsir dan syariat—seperti al-Qurṭubī, Ibn Ḥajar, dan al-Ṭaḥāwī—menyebutkan beberapa hikmah:

  • Shalat adalah puncak ibadah, sehingga harus diiringi dengan penghormatan kepada Nabi yang membawa risalah shalat itu sendiri.
  • Shalawat adalah bentuk tawassul syar’i—memohon kepada Allah melalui amal saleh yang dicintai-Nya.
  • Shalat dan shalawat bertemu pada makna “al-ta‘ẓīm”: pengagungan kepada Allah dan pemuliaan kepada Rasul.

Jadi hubungan keduanya bukan sekadar kemiripan kata, tetapi integrasi makna: shalat adalah ibadah tertinggi yang memuat shalawat sebagai tanda kesempurnaan batin seorang mukmin.

Makna Shalawat Berdasarkan Subjek Pelakunya

Setelah memahami bahwa kata “shalat/shalawat” pada dasarnya memiliki spektrum makna yang luas—dari doa, pujian, rahmah, sampai pemuliaan—maka langkah berikutnya adalah melihat bagaimana makna itu berubah sesuai siapa pelakunya (الفَاعِل). Para ahli tafsir seperti Ibn Katsir, al-Ṭabarī, dan al-Baghawī menegaskan bahwa makna shalawat tidak pernah tunggal. Ia selalu mengikuti subjeknya.

A. Shalawat Allah — Pujian dan Pemuliaan Ilahi

Makna: Ibn Katsir—mengikuti al-Bukhārī—menyatakan bahwa shalawat Allah kepada Nabi bermakna ثناء (pujian Allah atas Nabi Muhammad) di hadapan para malaikat di al-Mala’ al-A‘la. Ini bukan “doa”, melainkan tindakan pemuliaan dan rahmat yang turun dari Dzat Yang Mahatinggi.

Ciri Teologis: Makna ini bersifat tajallī ilāhī—Allah menampakkan kemuliaan Nabi kepada makhluk-Nya. Tidak ada konsep “permohonan” karena Allah tidak memohon kepada siapa pun.

B. Shalawat Malaikat — Doa dan Permohonan Ampun

Para malaikat melaksanakan shalawat dengan makna du‘ā’ (doa) dan istighfār (permohonan ampun/kenaikan derajat). Mereka tidak memberi rahmat secara independen; mereka memohonkan rahmat itu dari Allah.

Dalam ayat {إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ} huruf “وَ” menyatukan dua tindakan yang berbeda hakikatnya—Allah memuliakan, malaikat memohon—tetapi arahnya sama: meninggikan kedudukan Nabi.

C. Shalawat Orang Beriman — Doa Permohonan

Ketika manusia bershalawat, maknanya murni du‘ā’. Manusia tidak punya otoritas memberikan rahmat atau pemuliaan langsung kepada Nabi; yang dilakukan adalah memohon kepada Allah agar Allah menurunkan rahmat dan pemuliaan itu.

Para sufi dan kalangan ushuliyin menekankan satu hal: manusia tidak bisa memberi tambahan kemuliaan kepada Nabi—karena beliau sudah pada puncak derajat. Karena itu, seluruh redaksi shalawat yang diajarkan Nabi selalu berbentuk: اللهم صلِّ (“Ya Allah, berikanlah shalawat…”).

Subjek Makna Shalawat Penjelasan
Allah Tsana’ (pujian), Rahmah, dan Takrim (pemuliaan) Allah memuji dan memuliakan Nabi Muhammad; bukan doa, tetapi pemberian langsung dari Allah.
Malaikat Istighfar dan doa untuk kenaikan derajat Nabi Malaikat memohon kepada Allah agar Nabi semakin ditinggikan derajatnya.
Orang Beriman Doa agar Allah memuliakan Nabi Umat memohon kepada Allah agar Allah menambah kemuliaan Nabi; bukan memuliakan Nabi secara langsung.

Memahami akar dan makna shalat dan shalawat seperti ini bukan hanya menambah wawasan, tetapi juga menegaskan bahwa kedua ibadah ini sejak awal dirancang untuk menyatukan makna batin (doa, kehambaan, dan kedekatan) dengan bentuk lahir (gerakan, bacaan, dan aturan).

Dengan menelusuri asal-usul kata dan cara penggunaannya, kita bisa melihat shalat bukan sekadar rutinitas, dan shalawat bukan sekadar bacaan pujian—keduanya adalah sarana lengkap untuk “menghadapkan diri” seorang hamba kepada Allah, serta menebarkan rahmat dan penghormatan bagi Nabi Muhammad ﷺ. Wallahu a’lam bisshawab.