Bacaan Surat Al-Fath 1-29 Full dengan Penjelasannya

Surat Al-Fath merupakan surah ke-48 dalam susunan mushaf Al-Qur’an, terdiri atas 29 ayat dan berada di juz ke-26. Dalam urutan mushaf, Surah Al-Fath terletak setelah Surah Muhammad (ke-47) dan sebelum Surah Al-Hujurât (ke-49).

Para ulama sepakat menggolongkan Al-Fath sebagai surah Madaniyah, karena seluruh ayatnya turun setelah hijrah dan terkait peristiwa-peristiwa pada masa dakwah di Madinah.

Dalam susunan wahyu kronologis, Al-Fath termasuk kelompok surah yang turun pada periode Madinah pertengahan, sesudah Perjanjian Hudaibiyah (tahun 6 H). Dalam beberapa penomoran kronologis, surah ini ditempatkan setelah surah-surah seperti Al-Mujadilah atau Al-Hujurât, meskipun tidak ada kesepakatan tunggal.

Tema utama Surat Al-Fath menegaskan kemenangan Hudaibiyah, ketetapan Allah terhadap perjuangan Nabi Muhammad SAW, sikap kaum beriman dan munafik, serta jaminan ganjaran bagi mereka yang menjaga akhlak dan kesetiaan pada perintah Allah dan Rasul-Nya.

Nama “Al-Fath” diambil dari kata pada ayat pertama (إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ), yang berarti “kemenangan” atau “pembukaan”.

Dalam mushaf Kementerian Agama RI, Surah Al-Fath tercantum pada halaman 511 sampai 515, dan setelah itu langsung berlanjut ke Surah Al-Hujurât pada halaman yang sama dan seterusnya.

Surat Al-Fath Arab, Latin dan Artinya

surat al fath

Bacaan lengkap Surah Al-Fath dalam tiga format: teks Arab standar mushaf, transliterasi latin sesuai kaidah Kemenag, dan terjemahan bahasa Indonesia yang telah disesuaikan dengan rujukan resmi.

Penyajian dibuat berurutan dari ayat pertama hingga ayat terakhir agar memudahkan pembacaan, penelaahan makna, maupun verifikasi ayat.

Struktur teks surat al fath latin dan artinya memungkinkan pembaca melafalkan latin bagi yang membutuhkan, serta memahami makna tiap ayat tanpa harus berpindah ke sumber lain.

Tema Surah Al-Fath Berdasarkan Ayat

Setelah membaca keseluruhan Surah Al-Fath, bagian ini merangkum isi ayat per kelompok agar pembaca dapat melihat susunan tema surah secara utuh, runtut dan jelas.

Ayat 1–3 — Kemenangan Hudaibiyah dan Kepastian Pertolongan

Allah menegaskan bahwa perjanjian Hudaibiyah adalah kemenangan nyata, bukan kekalahan. Nabi Muhammad SAW dijanjikan ampunan, bimbingan, dan dukungan yang stabil untuk masa dakwah berikutnya.

Tidak semua keberhasilan terlihat besar sejak awal. Kadang keputusan yang tampak “mengalah” justru membuka jalan strategis bagi hasil yang lebih besar.

Ayat 4 — Ketenteraman bagi Orang Beriman

Allah menjelaskan bahwa Dia menurunkan ketenangan ke dalam hati kaum beriman agar mereka tetap teguh.

Keputusan besar sering menuntut kestabilan emosi. Kekuatan itu tidak muncul dari ketegangan, tetapi dari ketenangan yang terjaga.

Ayat 5 — Ganjaran bagi Laki-Laki dan Perempuan yang Beriman

Allah menjanjikan pengampunan dan balasan bagi siapa pun yang beriman—laki-laki maupun perempuan.

Kesetiaan moral dan etika tidak dibedakan oleh status atau gender; yang dihitung adalah kesungguhan.

Ayat 6 — Ancaman bagi Munafik dan Musyrik yang Memusuhi Dakwah

Ayat ini menegaskan bahwa mereka yang merusak dari dalam (munafik) maupun yang menghalangi terang-terangan (musyrik) akan menerima balasan setimpal.

Perusakan moral dari dalam sering lebih berbahaya daripada tekanan dari luar.

Ayat 7 — Allah Pemilik Kekuatan dan Semua Tentara Langit-Bumi

Ayat ini mengingatkan bahwa seluruh kekuatan berada dalam kendali Allah.

Tidak ada proyek besar yang berhasil murni karena kemampuan manusia; ada faktor di luar hitungan manusia yang menentukan.

Ayat 8–10 — Sumpah Setia kepada Nabi dan Nilai Akhlak Kesetiaan

Nabi diperkenalkan sebagai saksi, pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan. Bai’at Ridwan ditegaskan sebagai sumpah setia yang hakikatnya ditujukan kepada Allah.

Kesetiaan bukan sekadar formalitas; ia menuntut konsistensi bahkan saat kondisi tidak ideal.

Ayat 11–13 — Sikap Kaum yang Enggan Ikut ke Hudaibiyah

Beberapa kelompok tidak ikut dalam perjalanan dan kemudian membuat alasan. Allah menyingkap motivasi mereka yang sebenarnya: takut rugi dan kurang keyakinan.

Orang yang tidak terlibat dalam perjuangan biasanya paling cepat memberi alasan, tetapi tidak selalu jujur pada dirinya sendiri.

Ayat 14–15 — Penempatan Balasan bagi Setiap Kelompok

Allah menegaskan bahwa Dia berhak memberikan karunia kepada siapa yang Dia kehendaki. Mereka yang absen dari Hudaibiyah kemudian berharap mendapat bagian dari hasilnya, padahal mereka tidak ikut berkorban.

Tidak adil menuntut hasil jika tidak ikut memikul tanggung jawab.

Ayat 16 — Perintah Baru: Ujian yang Akan Datang

Kaum yang sebelumnya enggan diberi kesempatan kedua—menghadapi kaum yang kuat sebagai ujian. Jika mereka taat, ada pahala; jika enggan lagi, itu menjadi bukti sikap sebenarnya.

Kesempatan memperbaiki diri terbuka, tetapi harus dibuktikan melalui tindakan, bukan kata-kata.

Ayat 17 — Keringanan bagi Kondisi Tertentu

Mereka yang memiliki uzur fisik atau kondisi nyata yang menghalangi diberi pengecualian.

Etika Islam menghargai kondisi objektif; keadilan bukan memaksakan keseragaman, tetapi menempatkan beban sesuai kemampuan.

Ayat 18 — Keutamaan Bai’at Ridwan

Allah menyatakan ridha kepada para sahabat yang ikut membai’at Nabi di bawah pohon, dan mengetahui kejujuran tekad mereka.

Komitmen kolektif yang tulus selalu melahirkan kekuatan moral yang besar.

Ayat 19–20 — Hadiah Kemenangan dan Masa Depan Aman

Allah menjanjikan kemenangan dekat dan rampasan perang yang halal serta kondisi keamanan bagi kaum muslimin.

Setelah disiplin dan kesabaran, hasil konkret biasanya menyusul.

Ayat 21 — Kemenangan Lain yang Belum Terlihat

Terdapat kemenangan-kemenangan lain yang belum mereka capai saat itu tetapi telah dicatat Allah.

Setiap usaha jangka panjang memiliki proses berlapis; tidak semua hasil dapat dilihat sekaligus.

Ayat 22–23 — Perlindungan Allah dari Serangan Quraisy

Allah menjelaskan bahwa jika Quraisy menyerang, mereka akan dikalahkan karena sunnatullah yang telah berjalan sejak umat-umat terdahulu.

Pola sejarah menunjukkan bahwa kesewenang-wenangan tidak bertahan lama.

Ayat 24 — Penahanan Konflik agar Tidak Terjadi Pertumpahan Darah

Allah menahan terjadinya perang besar di Makkah karena masih ada orang-orang beriman yang tersembunyi di sana.

Kadang keputusan menunda konfrontasi bukan kelemahan, tetapi pertimbangan kemanusiaan.

Ayat 25 — Situasi Kompleks antara Muslim dan Quraisy

Kaum Quraisy menghalangi Nabi masuk Makkah, namun keberadaan kaum muslimin yang tersembunyi menjadi sebab perdamaian sementara.

Konflik sosial sering tidak sesederhana dua kubu; ada individu-individu yang terjepit posisi yang harus dilindungi.

Ayat 26 — Kondisi Emosi Dua Kubu

Quraisy diliputi fanatisme, sedangkan kaum muslimin diberi ketenangan. Allah memenangkan kaum muslimin melalui keputusan damai, bukan perang.

Ketenangan jauh lebih efektif daripada reaksi emosional dalam menyelesaikan konflik besar.

Ayat 27 — Visi Umrah Mendatang

Allah menegaskan bahwa visi Nabi untuk melakukan umrah akan terwujud pada tahun berikutnya.

Ada tujuan jangka panjang yang baru terlihat hasilnya setelah proses bertahap.

Ayat 28 — Misi Islam untuk Menyempurnakan Petunjuk

Allah mengutus Rasul membawa kebenaran agar agama ini tampak jelas di atas ajaran yang menyimpang.

Pembenahan moral dan peradaban memerlukan kejelasan nilai, bukan keambiguan.

Ayat 29 — Kesaksian Allah atas Akhlak Para Sahabat

Ayat terakhir menggambarkan karakter kaum beriman: tegas terhadap kebatilan, penuh kasih sayang internal, disiplin beribadah, dan terjaga integritasnya.

Identitas moral tidak dibangun oleh slogan, tetapi oleh kebiasaan yang terlihat sehari-hari.

Tafsir Surah Al-Fath Ayat 1-29

Kisah dalam Surah Al-Fath dimulai dari sebuah peristiwa penting: Perjanjian Hudaibiyah. Banyak sahabat saat itu merasa perjanjian ini seolah merugikan kaum Muslim, karena mereka tidak jadi masuk Mekah pada tahun tersebut. Namun Allah menegaskan bahwa apa yang terjadi justru merupakan kemenangan yang nyata. Kemenangan itu tidak selalu berupa penaklukan fisik, tetapi kemajuan peradaban Islam yang dibangun lewat ketenangan, kesabaran, dan kedewasaan dalam mengambil keputusan.

Allah menenangkan Nabi Muhammad SAW dengan penjelasan bahwa Dia menyempurnakan nikmat-Nya, membimbing Nabi di jalan yang lurus, dan menjanjikan pertolongan di masa depan—pertolongan yang tidak dapat dihalangi siapa pun. Untuk kaum beriman, Allah menurunkan keteguhan hati (sakînah) sehingga keyakinan mereka bertambah kuat. Dengan dukungan ini, mereka mampu menghadapi situasi sulit tanpa kehilangan arah.

Allah juga menjelaskan balasan bagi dua kelompok manusia. Bagi laki-laki dan perempuan beriman, disediakan surga dan penghapusan kesalahan. Namun bagi orang munafik dan musyrik, terutama mereka yang selalu berprasangka buruk kepada Allah, balasannya adalah azab yang mereka pilih sendiri lewat sikap mereka.

Setelah itu, Allah mulai membahas kelompok Arab Badui yang tidak ikut berangkat ke Hudaibiyah. Ketika Nabi kembali, mereka membuat alasan tentang keluarga dan harta, lalu meminta didoakan. Allah membongkar isi hati mereka: alasan sebenarnya bukan kesibukan, tetapi prasangka buruk bahwa Nabi dan para sahabat akan kalah dan tidak kembali. Ini adalah contoh akhlak yang keliru: menilai takdir Allah dengan rasa takut, bukan dengan keyakinan.

Allah menegaskan lagi bahwa siapa pun yang berpaling dari perintah-Nya akan mendapatkan balasan yang sesuai. Tetapi orang yang benar-benar memiliki uzur—seperti sakit atau cacat fisik—tidak berdosa bila tidak ikut berperang.

Lalu Allah mengangkat kedudukan para sahabat yang ikut Bai’at Ridwan. Mereka memberikan kesetiaan kepada Nabi di bawah sebuah pohon, dalam keadaan siap menghadapi risiko. Allah menyatakan keridaan-Nya kepada mereka, karena di hati mereka ada kejujuran, loyalitas, dan komitmen. Sebagai balasan, Allah memberikan kemenangan besar, yaitu Pembebasan Khaibar, dan berbagai keuntungan lain yang akan datang kemudian.

Allah juga mengingatkan bahwa kaum yang tidak ikut ke Hudaibiyah nanti akan meminta izin mengikuti pasukan menuju Khaibar demi mendapatkan bagian harta rampasan. Mereka menuduh kaum beriman menutup peluang karena iri. Allah membantah tuduhan itu: keputusan ini adalah ketentuan Allah, bukan keputusan manusia.

Setelah itu, Allah memberi gambaran tentang ujian masa depan. Mereka yang dulu malas bergerak akan kembali diuji: akan ada kaum kuat yang harus dihadapi. Bila mereka benar-benar taat, ada pahala besar; bila berbalik lagi seperti sebelumnya, akan ada hukuman yang adil.

Dalam rangkaian ayat berikutnya, Allah mengingatkan bahwa jika kaum musyrik saat itu menghendaki menyerang, mereka akan kalah dan tidak mendapat penolong. Ini adalah pola tetap dalam sejarah: kebenaran yang dipegang dengan disiplin dan adab yang kuat akan mengalahkan kebatilan. Allah menyebutnya sebagai sunnah yang tidak berubah.

Allah kemudian menceritakan bahwa Dialah yang menahan tangan kaum musyrik ketika sekitar delapan puluh orang Mekah mencoba menyerang kaum Muslim di Hudaibiyah. Allah juga menahan tangan Muslimin sehingga tidak membunuh mereka. Ini bukan kelemahan, tetapi strategi ilahi agar tidak ada kaum beriman tersembunyi di Mekah yang terbunuh tanpa sengaja.

Kaum musyrik menolak kedatangan Nabi ke Mekah tahun itu karena masih memegang fanatisme lama—keangkuhan jahiliah. Mereka takut dianggap kalah bila Nabi diizinkan masuk. Tapi Allah menurunkan ketenangan kepada Nabi dan para sahabat agar tidak membalas emosi dengan emosi. Allah menegakkan kalimat tauhid sebagai prinsip utama yang harus dijalankan, dan kaum beriman meneguhinya dengan adab dan sikap yang konsisten.

Kemudian Allah menegaskan bahwa mimpi Nabi tentang masuk ke Mekah bukanlah salah. Itu adalah janji yang benar. Hanya saja, waktunya belum tiba pada tahun Hudaibiyah. Allah mengetahui manfaat dari penundaan itu, sementara manusia tidak melihatnya. Dan perjanjian Hudaibiyah ternyata membuka pintu berbagai kemenangan, termasuk Khaibar dan pembukaan jalan politik serta dakwah yang lebih luas.

Akhirnya, Allah menutup surah dengan gambaran tentang Nabi Muhammad SAW dan para sahabat: tegas terhadap musuh yang memerangi mereka, namun penuh kasih sayang di antara sesama beriman. Mereka dikenal tekun beribadah, terlihat dari pengaruh ibadah dalam wajah dan sikap mereka. Dalam Taurat dan Injil pun, umat Nabi Muhammad digambarkan sebagai kelompok yang tumbuh kuat dan solid, seperti tanaman yang berkembang hingga kokoh berdiri. Kesatuan ini membuat kaum penentang merasa tertekan, sementara para sahabat dijanjikan ampunan dan balasan besar di akhirat.


Surah Al-Fath menegaskan bahwa kemenangan sejati tidak hanya diukur dari hasil lahiriah, tetapi dari keteguhan akhlak, adab, dan etika kaum beriman dalam menjalankan perintah Allah. Perjanjian Hudaibiyah yang tampak merugikan pada awalnya justru dibingkai Al-Qur’an sebagai jalan menuju perluasan peradaban Islam—karena sikap sabar, disiplin, dan komitmen yang ditunjukkan kaum Muslim.

Ayat-ayat akhirnya menggambarkan ciri kaum beriman: teguh, saling menguatkan, dan berjuang dengan adab yang jelas. Karakter ini menjadi standar moral yang membedakan mereka dari kaum yang menolak kebenaran. Dengan demikian, Surah Al-Fath menutup pesannya dengan penegasan bahwa pertolongan Allah hadir melalui kesetiaan pada prinsip dan kesiapan menghadapi ujian, bukan melalui tindakan tergesa atau ambisi emosional.