Arti Mantiq dan Penggunaanya

Ketika logika diperkenalkan dalam dunia Islam, istilah manṭiq diadopsi sebagai padanan dari logikē dalam bahasa Yunani. Para filsuf seperti al-Fārābī, Ibnu Sīnā, dan al-Rāzī tidak hanya menerjemahkan istilah ini, tetapi juga memberikan justifikasi filosofis: logika adalah neraca akal, alat untuk menyaring pikiran dari kesalahan, dan ia melakukannya bukan melalui intuisi dalam diam, tetapi melalui ungkapan yang terstruktur dan dapat diuji—yaitu bahasa.

Artikel ini akan membahas tentang apa arti makna Manṭiq, dari sisi bahasa dan mengapa istilah tersebut dipergunakan.

Makna Leksikal Kata “Manṭiq” (المنطق)

Secara bahasa Arab:

  • Kata al-manṭiq (المنطق) berasal dari akar kata ن-ط-ق (na-ṭa-qa), yang berarti berbicara atau mengucapkan.
  •  Sighatمَنْطِق  masdar mīmī dari نطَقَ
  • Maka manṭiq secara harfiah adalah “pengucapan” atau “apa yang diucapkan”.

Dalam kamus Arab:

منطق = كلام، لغة
(Ucapan, bahasa)

Contoh:

{عُلِّمْنَا ‌مَنْطِقَ الطَّيْرِ}
“Kami telah diajari bahasa burung” (QS. An-Naml: 16)

Artinya di sini, manṭiq berarti sistem tanda dan makna—bukan hanya bunyi, tapi struktur pikiran yang terucap.

Kenapa Pengucapan, bukan Pikiran atau Tulisan?

Karena dalam pandangan klasik (baik Yunani maupun Arab), proses berpikir itu terwujud melalui bahasa, dan bahasa diwujudkan secara alami lewat ucapan (speech).

Aristoteles sendiri berkata:

“Thought is a kind of inner speech.”

Dan dalam Peri Hermeneias (On Interpretation), Aristoteles menjelaskan:

  • Pikiran (noēsis) adalah gambaran mental (makna).
  • Kata atau ucapan (logos) adalah simbol dari pikiran itu.

Jadi, logika adalah studi tentang logos (kata, ucapan), tapi logos yang membawa makna rasional, bukan sekadar bunyi.

Dalam Tradisi Islam Filsafat:

Dalam filsafat Islam, al-manṭiq sering disebut sebagai:

  • “Qānūn al-fikr” (قانون الفكر)hukum-hukum berpikir
  • “Mīzān al-‘aql” (ميزان العقل)timbangan akal
  • “‘Ilm al-qiyās” (علم القياس)ilmu silogisme atau penalaran deduktif

Para filsuf Muslim seperti al-Fārābī, Ibn Sīnā, dan al-Rāzī mewarisi pemahaman ini:

  • Manṭiq adalah ilmu tentang “qawā‘id al-tafkīr” (kaidah berpikir).
  • Tapi disebut manṭiq karena pikiran yang lurus hanya tampak melalui ucapan atau proposisi.

Ucapan di sini bukan sekadar lisan—tapi bisa berupa:

  • قضية (qaḍiyyah): proposisi, klausa yang mengandung hukum benar-salah.
  • حجة (ḥujjah): argumen yang disampaikan secara tertib.

Maka, manṭiq bukan sekadar suara, tapi “struktur bahasa yang menunjukkan cara berpikir rasional.”

Apakah Tidak Sebaiknya Disebut “Tafkīr” (تفكير)?

Pertanyaan bagus.

  • Tafkīr memang berarti berpikir, tapi bersifat umum dan subjektif.
  • Sedangkan manṭiq adalah aturan berpikir secara objektif dan benar, melalui simbol-simbol linguistik yang bisa diuji.

Makanya manṭiq disebut juga:

ʻIlm al-Mīzān (علم الميزان) – ilmu timbangan (untuk menimbang argumen).

Hubungan dengan Teks Tertulis

Jika Mantiq berkaitan dengan ucapan atau bahasa, lalu mengapa yang dikaji umumnya adalah teks tertulis? Manṭiq banyak diekspresikan dalam teks atau simbol (seperti logika simbolik di zaman modern). Namun, asal-usulnya tetap dari:

  • Ucapan manusia sehari-hari (dalam bentuk silogisme lisan)
  • Perdebatan
  • Retorika

Teks hanyalah bentuk lanjut dari ucapan. Bahkan dalam teks pun, struktur logika tetap mengikuti bentuk pengucapan seperti:

  • Jika… maka…
  • Semua… adalah…
  • Tidak ada… kecuali…

Manṭiq disebut demikian karena:

  1. Ia berasal dari akar kata yang berarti berbicara atau mengucapkan.
  2. Dalam filsafat klasik, pikiran diekspresikan melalui ucapan, dan logika adalah kaidah dari pikiran yang terucapkan secara benar.
  3. Ucapan bukan sekadar suara, tapi struktur linguistik yang membawa makna proposisional—dan inilah bahan utama ilmu manṭiq.

Baca Juga: Cerita Mantiq dalam Perjalanan Filsafat