Status Basmalah dalam Al-Qur’an dan Konsekuensinya

Tahukah Anda bahwa status basmalah—frasa yang hampir setiap Muslim ucapkan setiap hari—tidak pernah disepakati bulat sebagai ayat di awal semua surah?

Bahkan para sahabat, tabi’in, dan imam mazhab besar memiliki posisi berbeda soal apakah bismillāhir-raḥmānir-raḥīm itu bagian integral dari surah, hanya ayat pada Surah An-Naml, atau sekadar pemisah antar-surah dalam mushaf Utsmani.

Fakta basmalah ini cukup menggelitik karena kita hampir selalu mendengarnya dibaca dalam berbagai kesempatan, namun dasar hukumnya ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan.

Pendapat Ulama Terhadap Basmalah dalam Al-Qur’an

Jika kembali ke titik awal, persoalannya berputar pada satu pertanyaan kunci: apakah basmalah memiliki “status ayat” yang mengikat di setiap surah, atau hanya ditempatkan sebagai penanda pemisah dalam mushaf? Jawaban para ulama terhadap pertanyaan ini menghasilkan tiga arus besar, masing-masing lahir dari cara membaca riwayat, struktur mushaf, dan tradisi qirā’āt.

Basmalah sebagai Ayat pada Awal Setiap Surah

Kelompok pertama berpendapat bahwa bismillahirrahmanirrahim merupakan ayat pada permulaan setiap surah (kecuali At-Taubah). Pendapat ini dinisbatkan kepada sahabat besar seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, dan diteruskan para tabi’in hingga tokoh mazhab seperti Imam Syafi’i.

Konsekuensi pendapat pertama: bila basmalah dihitung sebagai ayat, maka bacaan salat ikut menyesuaikan. Dalam mazhab Syafi’i, basmalah dibaca dalam Al-Fatihah sebagai ayat pertama, dan bahkan dikeraskan dalam shalat jahr karena dianggap bagian integral dari surah tersebut.

Basmalah sebagai Pemisah Surah, Bukan Ayat

Kelompok kedua memandang bahwa basmalah bukan ayat dari surah mana pun, kecuali yang memang tercantum dalam Surah An-Naml. Dalam pandangan ini, basmalah berfungsi sebagai pemisah antar-surah dalam mushaf, bukan bagian struktural dari ayat.

Implikasinya tampak jelas dalam praktik ibadah. Basmalah tidak dikeraskan, bahkan sebagian ulama Malikiyyah tidak membacanya sama sekali ketika menjadi imam dalam salat.

Pendapat Moderat di Antara Dua Kutub

Di antara dua pendapat besar tersebut, terdapat pandangan yang mengambil posisi tengah: basmalah adalah ayat dari Al-Fatihah saja, tetapi bukan ayat pada surah lain; atau ia dianggap bagian ayat yang tidak berdiri sendiri.

Walau tidak terlalu dominan, dua pandangan ini menunjukkan usaha para ulama untuk memadukan data mushaf dengan riwayat hadis, tanpa menafikan salah satu sisi secara total. Pendekatan ini memperlihatkan keluasan metodologi mereka dalam memahami teks suci Al-Qur’an.


Jika dirangkum dari tiga pendapat di atas, perbedaan status basmalah bukan sekadar wacana teoritis. Ia berpengaruh langsung pada bacaan basmalah dalam Sholat yang masuk dalam ranah fikih:

Kelompok yang menganggapnya ayat dari setiap surah akan membacanya dan bahkan mengeraskannya dalam shalat jahr

Kelompok yang menilainya bukan ayat akan menjadikannya pemisah mushaf dan membacanya pelan atau bahkan tidak membacanya dalam salat;

Sementara pendapat moderat menempatkan basmalah sebagai ayat khusus Al-Fatihah atau bagian ayat yang tidak berdiri sendiri.

Seluruh variasi ini lahir dari kerangka ilmiah yang sama—usaha teliti para ulama dalam menelusuri cara Rasulullah ﷺ membaca Al-Fatihah dan bagaimana para sahabat menjaga riwayat tersebut hingga tersusun rapi dalam mushaf yang menjadi rujukan kaum Muslimin di seluruh dunia hingga hari ini.