Surat Al-Mursalat merupakan surah ke-77 dalam susunan mushaf Al-Qur’an, terdiri atas 50 ayat dan berada di akhir juz ke-29. Surah ini terletak setelah Surah Al‑Insan (ke-76) dan sebelum Surah An‑Naba’ (ke-78) dalam urutan mushaf.
Secara umum para ulama menggolongkan Al-Mursalat sebagai surah Makkiyah kecuali ayat 48 yang tergolong Madaniyah.
Dalam susunan wahyu kronologis, Al-Mursalat termasuk kelompok surah yang turun berdekatan dengan surah-surah akhir periode Mekah — tercatat turun setelah surah Al-Humazah dalam beberapa penomoran kronologis. Tema utama Surat Al-Mursalat adalah menegaskan peringatan hari kiamat dan pembalasan bagi orang-orang yang mendustakan.
Nama Al-Mursalat diambil dari kata pembuka pada ayat pertama (وَالْمُرْسَلَاتِ), yang secara literal dapat dimaknai “malaikat-malaikat yang diutus” atau “yang diutus berurut-urut”.
Riwayat tentang Surat Al-Mursalat
Surah Al-Mursalāt adalah salah satu surah Makkiyah yang turun pada periode awal dakwah. Para ulama sepakat bahwa tema pokok surah ini berkaitan erat dengan peringatan hari Kiamat, pembalasan, dan ancaman terhadap pendusta wahyu. Riwayat-riwayat sahabat memberikan gambaran kuat tentang suasana ketika ayat-ayatnya turun, sehingga kita dapat merasakan langsung kedekatan para sahabat dengan wahyu yang baru dibacakan oleh Nabi.
Ibnu Mas‘ud menuturkan bahwa Surah Al-Mursalāt turun ketika mereka bersama Rasulullah di sebuah gua di Mina. Ketika Nabi membacakan ayat pertamanya, “Wal-mursalāti ‘urfā”, beliau menyampaikannya dengan lisan yang masih basah oleh wahyu.
Dalam suasana turunnya ayat itu, tiba-tiba muncul seekor ular, lalu Nabi memerintahkan sahabat untuk membunuhnya. Namun ular itu pergi ke dalam lubang, lalu Nabi bersabda bahwa ular itu telah dijauhkan dari keburukan mereka sebagaimana mereka dijauhkan dari keburukannya. Kisah ini dikenal oleh para sahabat sebagai “malam ular”, sebuah penanda yang melekat pada turunnya surah ini.
Riwayat lain menyebut bahwa momen turunnya surah ini terjadi di Gua Hira’. Ibnu Mas‘ud mengulang cerita yang sama: beliau menerima ayat-ayat ini langsung dari lisan Nabi, namun ia tidak ingat apakah bacaan terakhir yang beliau dengar adalah ayat “Fabiayyi ḥadītsin ba‘dahu yu’minūn” atau ayat “Wa idzā qīla lahumurka‘ū lā yarka‘ūn”. Dua riwayat ini menunjukkan bahwa turunnya ayat-ayat ini sangat awal dan terjadi dalam suasana dakwah yang masih tersembunyi.
Ibn ‘Abbās, Ikrimah, Al-Hasan Al-Bashri, Qatādah, Az-Zuhri, dan Ali bin Abi Thalhah — semuanya sepakat bahwa surah ini Makkiyah. Sebagian ulama juga menyebutkan urutan turunnya: ada yang mengatakan setelah Surah Al-Humazah, ada yang menyebut setelah Surah Al-Qiyāmah. Sedangkan Maqātil bin Sulaimān menyebutkan bahwa jumlah ayatnya adalah lima puluh.
Di antara atsar yang berkaitan dengan surah ini, terdapat riwayat dari Abu Hurairah yang menjelaskan adab bacaan ketika seseorang mencapai ayat terakhir Surah Al-Mursalāt. Nabi mengajarkan, “Barang siapa membaca ‘Fabiayyi ḥadītsin ba‘dahu yu’minūn’, hendaklah ia mengucapkan: ‘Āmannā billāh’.” Riwayat ini menunjukkan bahwa surah ini bukan hanya berisi ancaman, tetapi juga ajakan langsung untuk meneguhkan iman.
Dengan berbagai riwayat tersebut, dapat dipahami bahwa Surah Al-Mursalāt diturunkan dalam kondisi dakwah yang menegangkan, penuh ancaman, dan penuh pesan peringatan. Namun di balik itu semua, surah ini sekaligus menjadi penguat hati Rasulullah dan para sahabat agar tetap memegang teguh kebenaran di tengah tantangan besar.
Bacaan Surat Al-Mursalat Lengkap
Berikut teks Surat Al-Mursalat dalam muhsah Kemenag halaman 580-581 dalam tulisa Arab dengan tanda tajwid sehingga mudah dibaca.

Bagian ini penting sebagai fondasi, agar setiap pembahasan berikutnya mudah dipahami karena pembaca sudah melihat struktur ayat secara utuh. Silakan simak bacaan suratnya berikut ini.

Kandungan Surat Al-Mursalat
Setelah membaca dengan tartil, ada baiknya kita mengenal surah ini melalui kandungan dari tafsir surah Al-Mursalat:
-
Gambaran Umum
Surah Al-Mursalāt adalah surah Makkiyah, turun sebelum hijrah. Inti besarnya menekankan kepastian Hari Kiamat, kepastian turunnya azab bagi pendusta, serta keagungan kekuasaan Allah yang terlihat dari penciptaan manusia, bumi, angin, hujan, dan siklus alam.
Surah ini memiliki ritme pendek, repetitif, dan tegas — cocok dengan gaya surah-surah Makkiyah yang menekankan penggugah kesadaran.
-
Sumpah Pembuka: Tugas Para Malaikat
Ayat dibuka dengan serangkaian sumpah:
- wal-mursalāti ‘urfā
- fal-‘āṣifāti ‘aṣfā
- wan-nāsyirāti nashrā
- fal-fāriqāti farqā
- fal-mulqiyāti dzikrā
Mayoritas mufassir—termasuk Ibn Kathīr—menafsirkan deretan ini sebagai tingkatan tugas malaikat, mulai dari yang diutus membawa perintah, meniup angin, menyebarkan rahmat, membedakan antara hak dan batil, hingga menyampaikan wahyu.
Semua sumpah itu mengarah pada satu kesimpulan: sungguh azab yang dijanjikan itu pasti terjadi.
-
Kepastian Hari Keputusan
“Innamā tū‘adūna lawāqi‘” — yang kalian ancamkan itu pasti terwujud.
Hari itu digambarkan dengan:
bintang-bintang dipadamkan,
langit terbelah,
gunung beterbangan,
para rasul ditetapkan masa kesaksiannya.
Alur retorisnya kuat: tidak ada lagi alasan untuk ragu.
-
Gambaran Azab
bagi Pendusta
Surah ini berulang kali mengulang:
“Wailun yauma’idzin lil-mukadzdzibīn.”
— Celaka pada hari itu bagi para pendusta.
Setiap kali tema baru dibuka (kebangkitan, penciptaan manusia, turunnya hujan, sejarah umat terdahulu), ayat ini kembali hadir sebagai pukulan retoris.
Ibn Kathīr menegaskan: pengulangan ini untuk memperkeras ancaman dan menegaskan bahwa argumen bagi mereka telah habis.
-
Bukti Kekuasaan Allah Melalui Penciptaan
Terdapat deretan bukti penciptaan:
manusia diciptakan dari air hina;
janin ditetapkan dalam rahim hingga waktu tertentu;
bumi dijadikan sebagai tempat yang memungkinkan hidup;
gunung sebagai pasak;
air diturunkan melimpah;
tanaman tumbuh subur.
Alur surah menunjukkan bahwa siapa pun yang melihat ini dengan jujur tidak mungkin mengingkari Hari Kebangkitan, sebab yang mencipta dari ketiadaan tentu mampu menghidupkan kembali setelah kematian.
-
Kontrastasi: Dua Nasib Manusia
Ibn Kathīr mengutip hadis dan atsar bahwa surah ini memperlihatkan kontras tegas antara dua kelompok:
-
Para Pendusta
Dihimpun pada hari yang terpisah-pisah (yaum al-fashl).
Tidak diberi izin berbicara.
Dikatakan kepada mereka: “Pergilah menuju bayangan tiga cabang yang sama sekali tidak teduh dan tidak melindungi dari nyala api.”
Mereka dilemparkan seperti singgahan belalang pada nyala api.
- Orang Bertakwa
Digambarkan sekilas dalam bentuk suasana tenang:
Mereka ditempatkan di bawah naungan dan mata air.
Buah-buahan yang dekat dan mudah diraih.
Dikatakan kepada mereka: “Makan dan minumlah dengan nikmat sebagai balasan atas amal kalian.”
Walau gambaran nikmatnya singkat, tetapi konsepsi balasan amal dibangun sangat kuat.
-
Sikap Manusia yang Menunda-Nunda
Allah mengkritik manusia yang:
ketika diperintah rukuk, tidak mau rukuk,
menunda-nunda keimanan,
hanya percaya saat azab sudah tampak, padahal saat itu sudah terlambat.
Ibn Kathīr menegaskan: ayat ini mengecam keras kaum musyrik Mekah yang menganggap peringatan Nabi sebagai dongeng semata.
-
Penutup Surah: Pukulan Terakhir
Penutup surah sangat tegas:
“Jika mereka tidak beriman pada Al-Qur’an ini, maka hadits (kebenaran) apa lagi yang akan mereka percayai?”
Ibn Kathīr menyebut ayat ini sebagai tamāmun li al-hujjah — penyempurna argumen.
Tidak ada kebenaran lain yang lebih jelas daripada wahyu.
Surah Al-Mursalāt menegaskan bahwa:
- Kiamat bukan kemungkinan, tetapi kepastian mutlak.
- Mendustakan wahyu bukan hanya keliru, tetapi tindakan yang akan berujung celaka.
- Tanda-tanda kekuasaan Allah tersebar di penciptaan manusia, bumi, angin, hujan, dan sejarah umat-umat terdahulu.
- Surah ini adalah ultimatum terakhir bagi manusia yang keras kepala.
- Keselamatan terletak pada ketakwaan, bukan pada klaim, tradisi, atau tunda-menunda.