Tafa’ulan dalam Islam: Definisi, Dalil, dan Penerapannya

Tafa’ulan bukan konsep baru yang dipinjam dari filsafat modern atau psikologi Barat. Ia telah mengakar dalam tradisi Islam, dikenali sejak masa Nabi ﷺ, dan dipahami oleh para ulama sebagai sikap batin yang membaca tanda kebaikan dalam hidup—tanpa bergantung pada isyarat-isyarat kosong, ramalan, atau ilusi.

Berbeda dari optimisme semu yang lahir dari imajinasi, tafa’ulan bersandar pada ḥusnuz-ẓann (prasangka baik) kepada Allah, dan dibentuk oleh kebiasaan Nabi ﷺ dalam melihat, mendengar, atau merespons sesuatu yang memberi harapan baik. Bahkan dalam situasi genting, beliau tetap menyukai kata-kata yang baik, nama yang memberi makna positif, dan kabar yang memantapkan jiwa.

Tulisan Islami ini akan menelusuri akar bahasa, dasar syar’i, dan batasan praktik tafa’ulan, sekaligus menegaskan bedanya dengan ṭiyarah—yakni pesimisme dan prasangka sial yang dilarang dalam Islam. Kita juga akan menggali bagaimana Rasulullah ﷺ dan para ulama memperlakukan fenomena ini secara proporsional dan rasional, tanpa berlebihan namun tetap memberi ruang bagi harapan.

Pondasi Makna Tafa’ulan

Tafa’ulan bukan sekadar berpikir positif atau menyemangati diri. Dalam akar bahasanya, تَفَاءَلَ berarti mencandra kebaikan dari sesuatu yang didengar atau dilihat. Lawannya adalah ṭiyarah, yakni mencandra keburukan atau merasa sial karena tanda tertentu. Dalam khazanah Islam, tafa’ulan mendapat tempat terhormat karena mengandung harapan baik kepada Allah, sedangkan ṭiyarah dikecam karena menyeret pada prasangka buruk dan ketakutan yang tak berdasar.

التَّفَاؤُل: أَنْ تَسْمَعَ كَلَامًا حَسَنًا فَتَتَيَمَّنَ بِهِ، وَإِنْ كَانَ قَبِيحًا فَهُوَ الطِّيَرَةُ

Dalam definisi klasik, tafa’ulan adalah mendengar sesuatu yang baik, lalu merasa diberi kabar gembira karenanya. Jika responnya adalah ketakutan atau rasa sial, maka itu disebut ṭiyarah. Ini menegaskan bahwa konteks, niat, dan dampak batin dari respon itulah yang membedakan keduanya.

Para fuqaha menggarisbawahi bahwa tafa’ulan tetap dalam ranah mubah, bahkan hasan (baik), jika objeknya jelas dan berkaitan dengan kata atau nama yang baik — seperti seseorang yang sedang sakit lalu mendengar, “Wahai Sālim,” maka hatinya menjadi lapang. Hal seperti ini dijelaskan oleh al-Qarafi sebagai, “ما يُظَنُّ عنده الخير” — sesuatu yang dengannya seseorang menyangka akan datangnya kebaikan.

Tafa’ulan tidak hanya sah menurut bahasa, tapi juga diakui secara syar’i. Sebaliknya, praktek-praktek seperti mengambil firasat dari pembukaan mushaf atau simbol-simbol acak — semisal meramal dengan pasir — secara tegas dianggap haram karena menyeret ke arah tahayul dan kehilangan landasan ilmu.

Makna dan Akar Bahasa Tafa’ulan

Tafa’ulan berasal dari kata dasar fa’l (فأل) yang secara etimologis berarti tanda baik atau isyarat positif. Dalam bentuk tafā’ul, maknanya berkembang menjadi sikap yang menaruh harapan akan datangnya kebaikan, biasanya karena mendengar atau melihat sesuatu yang mengesankan makna baik.

Menurut para ahli bahasa, bentuk tafā’ul sering dipakai dalam konteks harapan akan hasil yang baik dari sebuah peristiwa, meski realitanya belum terjadi. Dalam hadits disebut: يُعْجِبُنِي الْفَأْلُ، الْكَلِمَةُ الْحَسَنَةُ – “Aku menyukai fa’l, yaitu kalimat yang baik.” (HR. Bukhari dan Muslim). Nabi ﷺ sendiri menunjukkan sikap positif ini dalam banyak kesempatan, baik saat mendengar nama orang, nama kota, maupun dalam menyemangati para sahabatnya.

Para ulama seperti al-Qarafi menyatakan bahwa tafā’ul adalah kebalikan dari ṭiyarah (merasa sial karena pertanda tertentu). Kalau tafā’ul cenderung melihat kemungkinan baik, maka ṭiyarah justru mendorong pada kekhawatiran dan su’uzhan. Dalam tafsir kebahasaan, tafā’ul sering kali bersandar pada sesuatu yang tak diniatkan sebelumnya, namun memunculkan semangat. Misalnya, orang sakit yang mendengar nama “Salim” (selamat) lalu merasa tenang, atau musafir yang mendengar kata “Najih” (berhasil) lalu lebih percaya diri melanjutkan perjalanan.

Ibnu Manzhur dalam Lisan al-‘Arab dan juga para fukaha menyebut bahwa tafa’ulan lazim digunakan dalam konteks kebaikan dan kebajikan. Sementara kebalikannya adalah ṭiyarah, yaitu anggapan sial karena sesuatu yang didengar atau dilihat—dan ini dilarang keras dalam Islam.

Dengan begitu, secara terminologis, tafa’ulan bisa kita pahami sebagai: sikap batin yang menangkap isyarat positif dari hal-hal sederhana, lalu menerjemahkannya sebagai optimisme terhadap takdir baik dari Allah. Ia bukan sekadar harapan kosong, tetapi bentuk husnuzan yang dibarengi ikhtiar.

Tafa’ulan dalam Praktik Nabi dan Generasi Awal

Nabi Muhammad ﷺ dikenal sebagai pribadi yang tidak menyukai ṭiyarah (merasa sial karena tanda tertentu), tapi beliau menyukai al-fa’l—kalimat yang baik, yang membangkitkan semangat. Salah satu riwayat menyebutkan, ketika hendak mengutus seseorang untuk suatu urusan, beliau bertanya terlebih dahulu tentang namanya. Jika namanya bermakna baik, Nabi ﷺ menyambut dengan wajah berseri. Tapi jika kurang menyenangkan, terlihat raut ketidaksukaan di wajah beliau. Bukan karena percaya takhayul, tapi karena Nabi ﷺ memahami efek psikologis dari kata-kata terhadap jiwa manusia.

Dalam perjalanan menuju tujuan tertentu, beliau juga menanyakan nama suatu tempat. Jika nama itu punya konotasi positif, beliau menganggapnya sebagai fa’l dan bersyukur kepada Allah. Bila tidak, beliau tetap melanjutkan perjalanannya tanpa menaruh beban. Ini menunjukkan bahwa tafa’ulan bukan sekadar optimisme murahan, melainkan cara pandang husnuzan terhadap Allah dan kehidupan, yang menguatkan niat dan keyakinan.

Generasi sahabat mengikuti jejak ini. Mereka memaknai kejadian dan kalimat sederhana sebagai dorongan batin. Orang yang sedang sakit merasa lebih tenang jika mendengar kalimat, “Yā Sālim” (wahai orang yang selamat), atau orang yang kehilangan lalu mendengar nama “Wājid” (orang yang menemukan) akan merasa terbantu harapannya. Ini bukan sugesti kosong, tapi bukti bahwa kata-kata punya kekuatan.

Tafa’ulan juga tampak dalam cara para sahabat menamai anak-anak mereka. Nama-nama seperti “Najih” (berhasil), “Rāsyid” (terbimbing), dan “Mas‘ūd” (berbahagia) dipilih bukan semata indah, tapi karena ada harapan maknawi yang ingin ditanamkan sejak dini. Inilah jejak warisan tafa’ulan yang hidup dalam tradisi umat, jauh dari unsur syirik atau khurafat.

Tafa’ulan dalam Dimensi Fikih

Tafa’ulan dalam batas yang sehat diakui oleh para ulama sebagai hal yang mubah, bahkan dianjurkan, selama bersandar pada kalimat baik yang didengar secara alami tanpa rekayasa. Contoh klasik: seorang yang sakit mendengar nama “Sālim” (selamat) lalu hatinya tenang—hal ini masuk kategori tafa’ulan yang diperbolehkan. Tak ada khilaf di antara para fuqaha dalam hal ini.

Namun, jika praktik tafa’ulan mengarah pada sesuatu yang menyerupai ramalan atau bergantung pada simbol yang tidak punya dasar syar‘i, maka ia masuk wilayah ṭiyarah, dan ini ditolak. Misalnya, membuka mushaf secara acak lalu menafsirkan ayat pertama di halaman sebagai isyarat takdir, atau menebak nasib melalui tanda-tanda pasir, burung, atau bintang. Semua bentuk tersebut dinilai batil dan menyeret pada pola pikir jahiliah.

Sebagaimana ditegaskan oleh para ulama seperti al-Qarāfī, tafa’ulan yang sah adalah lawan dari ṭiyarah. Ia lahir dari keyakinan baik kepada Allah, bukan dari ketergantungan pada benda atau isyarat gaib. Maka, membedakan keduanya adalah bagian dari menjaga akidah dan cara berpikir yang lurus.

Akhir Kata

Tafa’ulan bukan sekadar adat atau kebiasaan Arab, melainkan sikap hati yang disahkan syariat ketika tetap berada di koridornya. Ia mengajarkan kita untuk melihat kemungkinan baik di tengah tekanan, memelihara harapan tanpa tergelincir pada keyakinan batil, serta menjaga prasangka baik terhadap takdir Allah.

Dalam praktik keseharian, kita bisa menghidupkan tafa’ulan melalui pemilihan nama yang bermakna baik, kalimat penyemangat yang menenangkan, atau tanggapan positif terhadap isyarat ringan selama tidak melampaui batas akidah. Semua itu membentuk mentalitas sehat, yang selaras dengan semangat agama: tenang, berserah, dan tetap bergerak.

Tulisan ini disusun berdasarkan sumber primer Al-Mawsū‘ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, dengan penyajian yang disesuaikan agar mudah dipahami pembaca kontemporer tanpa kehilangan akurasi dan bobot ilmiah.