Cahaya mentari pagi menerobos jendela besar di rumah megahnya. Aroma kopi mahal mengepul di udara. Ia duduk di balkon lantai dua, melihat hijaunya taman, mobil mewah terparkir rapi di garasi, dan anak-anaknya tertawa riang di halaman.
Hidupnya nyaris sempurna.
Dan dia tahu itu.
Tangan kanannya menggenggam cangkir kopi, tangan kirinya membuka mushaf kecil. Setiap pagi, sebelum memulai harinya, ia membiasakan diri membaca firman Tuhan. Hatinya tenang. Tidak ada masalah besar yang membebani pikirannya.
Sebagian orang, ketika hidupnya nyaman, lupa bahwa semua ini pemberian Allah. Tapi tidak dengan dia.
“Aku tidak ingin menunggu sampai diuji untuk baru sadar bahwa aku butuh Allah,” batinnya.
Maka, ia datang kepada-Nya dalam keadaan lapang, sebelum sempit itu datang.
“Semua ini bukan karena aku hebat,” pikirnya. “Tapi karena Allah yang memudahkan.”
Dia beribadah bukan karena hidupnya sulit, tetapi karena ia tahu siapa yang memudahkan hidupnya.
Namun di sisi lain kota…
Sementara itu, mlam masih pekat. Namun, di sebuah kamar sempit yang pengap, seorang pria terduduk lemas.
Kertas-kertas tagihan berserakan di atas meja. Di layar ponselnya, panggilan tak terjawab dari debt collector berderet panjang.
Hari ini, listrik hampir diputus. Besok, mungkin keluarganya diusir dari rumah kontrakan.
Dulu, dia tak pernah peduli apakah uangnya haram atau halal. Bisnisnya penuh tipu daya, licik, dan curang. Tapi waktu itu, hidupnya terasa baik-baik saja.
Hingga hari ini, Allah mencabut semua yang dulu dia anggap “aman”.
Sekarang, uangnya habis. Teman-teman yang dulu tertawa bersamanya menghilang. Istrinya mulai menghindari tatapannya, anak-anaknya bertanya kenapa esok tak bisa sekolah.
Hatinya terasa kosong. Kepalanya berdenyut keras.
Dia menatap meja di sudut kamar. Ada sebotol pil tidur. Ada silet. Ada berbagai cara untuk “menyelesaikan semuanya.”
Tapi kemudian, dia ingat sesuatu…
Dulu, ibunya sering berdoa untuknya.
“Nak, kalau hidupmu diberi kelapangan, syukurilah. Kalau hidupmu diberi kesulitan, sadarlah. Jangan sampai Allah harus menyeretmu agar kau mau kembali.”
Air matanya jatuh. Tangannya gemetar. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, dia bersimpuh di lantai.
“Ya Allah… aku datang.”
Dia dulu berjalan tegak dalam dosa. Sekarang, dia merangkak kembali mencari Tuhan.
Allah tak lagi memanggilnya dengan nikmat. Maka Allah menyeretnya dengan ujian.
Dua Jalan, Satu Tujuan
Satu datang kepada Allah dengan lembutnya karunia.
Satu diseret dengan rantai derita.
Satu tunduk sebelum diuji.
Satu baru sujud setelah dihantam musibah.
Satu menghadap dengan rasa syukur.
Satu baru mencari saat tak lagi mampu.
Namun, akhirnya keduanya menghadap.
“Mau datang dengan kelembutan, atau harus diseret dengan kesakitan?”
مَنْ لَمْ يُقبِلْ على اللهِ بِمُلاَ طفاَتِ الاِحْساَنِ قـُيِّدَ اليْهِ بِسلاَسِلِ الاِمتِحاَنِ
Barangsiapa yang enggan menghadap kepada Allah dengan halusnya pemberian karunia Allah, maka akan diseret supaya ingat kepada Allah dengan rantai ujian (musibah). Al-Hikam