Tafsri ayat Inna Anzalnahu fi Lailatil Qadr ini mengacu pada Tafsir al-Razi dalam Mafātīḥ al-Ghayb, salah satu tafsir yang banyak merinci aspek kebahasaan, logika, serta makna kontekstual al-Qur’an.
Dalam menafsirkan kalimat “Innā anzalnāhu fī lailatil-qadr”, al-Razi membongkar sejumlah lapisan makna yang menyentuh persoalan redaksi, alasan penggunaan kata ganti, makna “qadr”, dan relasi malam ini dengan turunnya al-Qur’an.
Penafsiran ini tidak bersifat simbolis atau mistis, tapi dibangun dari pendekatan rasional, kebahasaan, dan riwayat yang sahih. Cocok untuk pembaca yang ingin memahami bukan hanya “apa” maknanya, tapi juga “mengapa” susunannya seperti itu dan apa implikasinya secara nyata.
Makna Frasa “Inna Anzalnahu”: Penurunan al-Qur’an di Malam Kemuliaan
Surah Al-Qadr dibuka dengan sebuah pernyataan agung: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam kemuliaan.” Pernyataan ini tampak sederhana, tapi para ulama sepakat bahwa di balik struktur kalimat tersebut terdapat banyak pesan yang mengagungkan isi, pelaku, dan momentum penurunan wahyu. Mari kita telaah lebih dalam makna dan keistimewaan ayat pertama ini.
1. Al-Qur’an, Tanpa Disebut Namanya
Menariknya, Allah ﷻ tidak menyebut langsung kata al-Qur’an dalam ayat ini. Beliau hanya menggunakan kata ganti “anzalnahu” (Kami telah menurunkannya). Ini bukan bentuk ketidaktegasan, tetapi justru penegasan tertinggi—karena sesuatu yang sangat agung tak perlu disebut secara eksplisit. Seperti halnya penyebutan kematian dalam banyak ayat yang hanya disebut “al-maut” karena semua sudah paham kedahsyatannya.
Dengan menyebutnya secara tersirat, Allah ingin menunjukkan bahwa al-Qur’an sudah sangat dikenal, sangat agung, dan tak ada tandingannya di antara kalam lainnya.
2. “Kami” dalam Firman-Nya
Frasa “inna” (sesungguhnya Kami) menunjukkan bentuk jamak, tapi bukan berarti ada banyak Tuhan. Ini adalah gaya bahasa Arab yang dikenal sebagai bentuk ta‘zhim—bentuk penghormatan dan pengagungan. Allah memakai “Kami” untuk menegaskan kebesaran dan kemuliaan tindakan-Nya. Ini juga menunjukkan bahwa penurunan al-Qur’an bukanlah peristiwa kecil, melainkan tindakan ilahi yang megah dan penuh kehormatan.
3. Turun Sekaligus atau Bertahap?
Pertanyaan yang sering muncul adalah: bagaimana bisa dikatakan al-Qur’an turun di malam al-Qadr, padahal wahyu diturunkan selama 23 tahun? Jawabannya diberikan oleh para mufassir klasik seperti Ibnu ‘Abbas:
- Penurunan pertama: Al-Qur’an diturunkan secara keseluruhan dari Lauhul Mahfuz ke langit dunia pada malam al-Qadr.
- Penurunan kedua: Dari langit dunia ke bumi secara bertahap, sesuai peristiwa kehidupan Nabi ﷺ.
Jadi, yang dimaksud “Kami telah menurunkannya” adalah penurunan pertama yang menandai dimulainya era kenabian dan perubahan besar dalam sejarah manusia. Dalam bahasa Arab, penggunaan kata “turun” bisa berlaku untuk kedatangan secara simbolik atau awal, walau penyampaiannya terjadi kemudian.
4. Dimuliakan dari Segala Arah
Ayat ini memuliakan tiga hal sekaligus:
- Isi: al-Qur’an sebagai kalamullah yang sempurna, mutlak, dan suci.
- Pelaku: Allah ﷻ sendiri yang menurunkannya, tanpa perantara makhluk.
- Waktu: Lailatul Qadr sebagai malam yang lebih mulia dari seribu bulan.
Gabungan ketiganya menjadikan ayat pembuka ini sebagai pernyataan agung: bahwa setiap hal dalam proses penurunan wahyu adalah istimewa dan patut direnungkan dengan kesungguhan.
Makna Lailatul Qadr: Malam Ketetapan atau Malam Kemuliaan?
Setelah menegaskan bahwa al-Qur’an diturunkan pada “lailatul qadr”, ayat ini membawa kita menyelami makna frasa tersebut. Apa arti sebenarnya dari lailatul qadr? Dan mengapa malam ini begitu istimewa hingga disebut lebih baik daripada seribu bulan?
1. Arti Dasar “al-Qadr”
Dalam bahasa Arab, al-qadr berasal dari akar kata qadara–yaqdiru–qadran, yang maknanya berkisar pada “menentukan” atau “menetapkan”. Maka lailatul qadr sering diterjemahkan sebagai malam ketetapan, yaitu malam di mana Allah menetapkan takdir makhluk-Nya untuk satu tahun ke depan: rezeki, hidup, mati, bahkan musibah.
Pendapat ini diperkuat dengan ayat lain dalam Surat ad-Dukhan ayat 4:
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.”
2. Makna Lain: Malam Kemuliaan
Selain itu, kata qadr juga bisa berarti kemuliaan, kehormatan, atau keagungan. Seperti dalam ungkapan Arab, “Si fulan memiliki qadr di sisi manusia”, artinya ia memiliki kedudukan mulia. Maka sebagian ulama menafsirkan lailatul qadr sebagai malam kemuliaan karena:
- Malam itu memiliki nilai agung di sisi Allah ﷻ.
- Amalan pada malam itu menjadi sangat berharga dan bernilai besar.
- Barang siapa yang beribadah pada malam tersebut, ia akan memperoleh kemuliaan yang tidak didapat di malam-malam lain.
Maka tak heran jika Allah menyatakan dalam ayat 3:
“Lailatul Qadr lebih baik dari seribu bulan.”
3. Tafsir Tambahan: Malam yang Sempit?
Sebagian ulama seperti Abu Bakar al-Warraq juga menambahkan bahwa qadr bisa bermakna sempit. Artinya, malam itu bumi menjadi sesak karena dipenuhi para malaikat yang turun membawa perintah dan catatan takdir dari Allah. Pendapat ini tetap melengkapi makna utama, bukan menafikannya.
4. Mengapa Allah Menyembunyikan Waktu Lailatul Qadr?
Allah tidak memberitahu secara pasti kapan malam ini terjadi dalam Ramadan. Hikmahnya mendalam:
- Agar manusia bersungguh-sungguh beribadah sepanjang malam-malam Ramadan, bukan hanya mengejar satu malam saja.
- Seperti waktu ijabah dalam doa, ridha dalam amal, dan kematian dalam usia—semua itu disembunyikan agar manusia konsisten dalam usaha dan takut untuk bermaksiat.
- Jika seseorang tahu pastinya, lalu bermaksiat di malam itu, dosanya bisa lebih besar karena dilakukan dengan sadar.
5. Apakah Keutamaannya Meliputi Siang Hari?
Sebagian ulama seperti al-Sya‘bi berpendapat bahwa keutamaan malam ini juga meliputi siangnya. Karena dalam banyak hukum syariat, malam dan siang dianggap satu kesatuan ibadah. Maka, meskipun dinamakan malam, siangnya juga menyimpan nilai dan keutamaan.
Dengan segala tafsir dan lapisan maknanya, jelas bahwa “lailatul qadr” bukan sekadar malam yang sunyi dan panjang. Ia adalah malam yang penuh penentuan, malam agung yang dirahasiakan, dan malam yang nilai ibadahnya melebihi ribuan malam biasa. Malam yang layak untuk dicari, dirindukan, dan dimanfaatkan sebaik mungkin.
Apakah Lailatul Qadr Masih Terjadi Setiap Tahun?
Pertanyaan ini sering muncul: Apakah Lailatul Qadr masih berlaku? Ataukah hanya terjadi sekali saat turunnya al-Qur’an pertama kali?
Mayoritas ulama menjawab tegas: masih berlaku, setiap tahun, di bulan Ramadan. Dasarnya jelas — Nabi ﷺ memerintahkan umatnya untuk mencarinya di malam-malam ganjil sepuluh terakhir Ramadan, bukan untuk sekadar mengenangnya sebagai peristiwa lampau.
Hadis-hadis shahih menyebut:
“Carilah Lailatul Qadr di sepuluh malam terakhir Ramadan, pada malam-malam ganjil.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, malam itu bukan hanya pernah terjadi, tapi masih berlangsung, dan bisa diraih siapa pun yang sungguh-sungguh mencarinya.
Perbedaan Pendapat tentang Waktu Pastinya
Ulama berbeda pendapat soal tanggal pastinya. Ada yang menyebut malam ke-17, ada yang ke-21, 23, hingga 29. Tapi yang paling populer: malam ke-27 Ramadan. Salah satu alasannya, menurut sebagian ulama:
- Surah al-Qadr terdiri dari 30 kata, dan kata “هي” (itu adalah) berada di posisi ke-27.
- Beberapa sahabat Nabi ﷺ seperti Ubay bin Ka‘b meyakini tanggal itu, berdasar pengamatan mereka terhadap tanda-tanda malam tersebut.
Namun karena tak ada dalil qath’i, maka hikmahnya justru di situ: agar orang tidak hanya beribadah satu malam, tapi bersungguh-sungguh sepanjang akhir Ramadan.
Masih Relevankah Lailatul Qadr Hari Ini?
Lailatul Qadr bukan sekadar bagian dari sejarah. Ia adalah pengingat tentang nilai waktu dan bobot amal. Kesibukan, kejar target, tekanan hidup—semuanya tak bisa jadi alasan untuk mengabaikan malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Bagi orang yang betul-betul peduli pada akhirat, satu malam seperti ini cukup jadi titik balik. Bukan karena suasananya istimewa, tapi karena **amalan yang dilakukan di dalamnya dihitung besar — jika dilakukan dengan ikhlas dan niat yang jelas.**
Penutup: Malam Bernilai untuk Orang yang Peduli
Allah ﷻ menyembunyikan waktu Lailatul Qadr, sebagaimana Ia sembunyikan waktu ijabah doa, ridha-Nya dalam amal, dan kematian dalam usia. Tujuannya satu: agar manusia tidak bermain-main, tapi sungguh-sungguh dalam semua malam, semua amal.
Lailatul Qadr bukan tentang momen “spesial”. Tapi tentang siapa yang siap. Tentang siapa yang benar-benar mengisi malam dengan amal. Tidak semua orang bisa—tapi siapa pun yang mau, bisa.
Untuk kamu yang ingin memahami lebih dalam isi Surah al-Qadr ayat demi ayat, baca juga tafsir lengkap surah ini atau amalan dan doa pada Lailatul Qadr yang bisa diamalkan sejak malam pertama Ramadan.