Kisah Nabi Nuh dalam Al-Qur’an dan Hadits

Ada masa ketika manusia bukan sekadar tersesat, tetapi benar-benar kehilangan arah sampai tidak ada satu jiwa pun yang mengenal Tuhannya. Di tengah kegelapan itu berdirilah seorang lelaki bernama Nuh bin Lamik—seorang ayah, seorang manusia yang merasakan lelah dan luka—namun tetap memikul amanah kerasulan selama 950 tahun penuh.

Al-Qur’an menyebut angka itu secara tegas, seakan ingin menegaskan bahwa perjalanan ini bukan dongeng atau legenda, tetapi rangkaian peristiwa nyata yang berlangsung hampir satu milenium. Dan yang membuat kisahnya semakin menyentuh bukan hanya perlawanan kaumnya, tetapi penolakan dari orang-orang yang seharusnya paling dekat: istrinya sendiri, bahkan putranya.

Namun justru dari tekanan batin itulah cerita Nabi Nuh AS menjadi relevan untuk siapa pun. Ia menghadapi manusia yang keras kepala, mengejeknya setiap hari, tetapi ia tetap mengulangi ajakan yang sama: kembali kepada Allah, mohon ampun, dan tinggalkan kesombongan. Tidak ada teriakan, tidak ada paksaan—hanya suara yang lembut, yang mengajak dari pagi hingga malam.

Dan ketika semua pintu tertutup, Allah memerintahkannya membangun sebuah bahtera. Perintah yang terlihat aneh, bahkan konyol bagi orang-orang yang sudah buta oleh kesyirikan. Tetapi di balik perintah itu ada sesuatu yang lebih besar: pemisah antara hati yang lembut dan hati yang mengeras; antara iman dan keangkuhan; antara keselamatan dan tenggelamnya sebuah generasi.

Berikut kisah islami tentang Nabiyullah Nuh ‘alaihissalam selengkapnya:

Kedudukan dan Latar Sejarah Nabi Nuh AS

Ada sebuah masa ketika keyakinan manusia sudah begitu keruh hingga tidak tersisa lagi cahaya tauhid di permukaan bumi. Pada periode inilah seorang lelaki bernama Nuh bin Lamik bin Mutawasyyilikh bin Idris AS muncul, membawa amanah yang tidak sederhana: membangkitkan kembali kesadaran bahwa manusia memiliki Tuhan yang Esa.

Para ulama menyebutnya sebagai salah satu Rasul Ulul ‘Azmi — gelar bagi para utusan yang keteguhan hatinya melampaui kebiasaan manusia. Gelar itu tidak datang begitu saja; ia lahir dari pergulatan panjang seorang nabi yang hidup pada suatu zaman ketika kemurnian akidah sudah runtuh total, dan penyembahan terhadap patung-patung orang saleh berubah menjadi syirik yang merajalela.

Riwayat menyebut bahwa Nuh AS lahir sekitar sepuluh abad setelah wafatnya Adam AS, sebuah rentang yang cukup bagi manusia untuk melupakan pesan awal penciptaan. Generasi demi generasi meluncur bebas menuju penyimpangan akidah, hingga tidak ada satu pun yang masih mengenal Allah kecuali Nuh AS sendiri. Inilah konteks sejarah yang keras—latar yang membuat misinya bukan sekadar memperbaiki moralitas masyarakat, tetapi membangun ulang fondasi tauhid dari titik nol.

Akar Teologis Kesyirikan: Ketika Rindu Salah Arah

Sebelum bahtera megah itu pernah terlintas dalam sejarah, manusia terlebih dulu terseret ke jurang yang jauh lebih sunyi: mereka mulai kehilangan arah dalam beribadah. Menariknya, penyimpangan itu tidak lahir dari penolakan terang-terangan terhadap Tuhan, tetapi dari sesuatu yang jauh lebih halus—rasa cinta dan kekaguman yang tidak terjaga.

Al-Qur’an merekamnya dengan sangat jernih dalam QS. Nuh: 23, menyebut satu per satu nama yang kelak menjadi berhala: Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Tetapi menurut penjelasan Ibnu Abbas RA dalam riwayat sahih al-Bukhari, kelima nama ini pada awalnya bukan berhala sama sekali. Mereka adalah orang-orang saleh—figur yang dihormati, disayangi, dan menjadi teladan bagi komunitas mereka.

“…Jangan tinggalkan tuhan-tuhan kalian. Jangan tinggalkan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr…”
(QS. Nuh: 23)

Kisahnya bermula ketika para tokoh saleh itu meninggal. Orang-orang yang hidup sezaman dengan mereka merasakan kehilangan yang dalam. Kesedihan membuat mereka mudah terpengaruh, dan di saat itulah Iblis masuk—bukan dengan perintah menyembah, tetapi dengan bisikan yang tampak polos: “Buatlah penanda, agar kalian selalu ingat nasihat dan kebaikan mereka.”

Maka dibuatlah patung dan simbol. Tujuannya sederhana, sekadar memorial. Generasi pertama ini tidak pernah bersujud di hadapannya. Mereka hanya ingin menjaga kenangan, takut kebaikan tokoh-tokoh itu hilang ditelan waktu.

Namun seiring berjalannya waktu, generasi yang mengerti maksud awalnya mulai satu per satu meninggal. Pada generasi berikutnya, Iblis datang lagi—kali ini dengan bisikan yang berbeda: “Leluhur kalian dahulu menyembah patung-patung ini untuk mendapat hujan dan berkah.” Kebohongan itu diulang, diturunkan sebagai tradisi, dan akhirnya dipercaya sebagai kebenaran.

Di sinilah penyembahan berhala pertama kali lahir. Cinta berubah menjadi pengkultusan, penghormatan berubah menjadi ibadah, dan manusia—tanpa sadar—melangkah jauh dari tauhid. Syirik pertama dalam sejarah bukan dimulai oleh pemberontak, melainkan oleh orang-orang yang kehilangan arah ketika rasa rindunya tidak ditempatkan pada tempat yang benar.

Maka, ketika seluruh masyarakat telah terjerumus dalam keyakinan yang kacau, Allah mengutus Nuh AS untuk menata kembali fondasi iman. Tugasnya bukan sekadar mengoreksi praktik penyembahan, tetapi membangunkan akal dan hati yang sudah lama tertidur oleh tradisi yang salah.

Misi Dakwah 950 Tahun: Kesabaran Seorang Rasul Ulul ‘Azm

Ketika seluruh arah hidup manusia mulai ditentukan oleh tradisi yang rusak, Allah mengutus seorang rasul yang hatinya lebih sabar dari siapa pun: Nuh AS. Beliau hadir membawa seruan yang sama yang selalu diulang para nabi, tetapi dalam keadaan masyarakat yang jauh lebih gelap. Dan dari titik inilah perjalanan dakwah selama hampir satu milenium itu dimulai—sebuah misi panjang yang hanya bisa dipikul oleh seorang Rasul Ulul ‘Azm.

Seruan Tauhid yang Tidak Pernah Berubah

Di tengah hiruk-pikuk penyembahan berhala, suara Nabi Nuh AS datang dengan sederhana namun tegas: “Wahai kaumku, sembahlah Allah. Kalian tidak punya Tuhan selain-Nya.” (QS. Al-A’raf: 59; QS. Nuh: 1–4). Inilah pesan inti yang mengalir di setiap periode dakwahnya—memurnikan kembali hubungan manusia dengan Penciptanya.

Namun Nuh AS tidak hanya berbicara tentang keimanan abstrak. Beliau menyentuh sisi paling manusiawi dari kaumnya, menawarkan harapan melalui istighfar. Dalam QS. Nuh: 10–12, beliau menghubungkan ampunan dengan kebaikan duniawi yang jelas terlihat: hujan yang kembali turun, ladang yang subur, harta dan anak yang bertambah, kebun-kebun yang hidup kembali. Seruannya adalah campuran antara targhib—dorongan penuh harapan—dan ajakan kembali kepada hidup yang selaras dengan rahmat Allah.

Anehnya, justru pendekatan sehalus itu tidak membuat hati mereka luluh. Semakin Nuh AS berbicara lembut, semakin mereka menutup diri, seakan-akan telinga mereka sudah tidak mengenali kebenaran lagi.

Durasi Dakwah Hampir 1000 Tahun Keteguhan

Ada satu ayat yang seolah menjadi puncak dari seluruh perjalanan Nuh AS—ayat yang menyebut angka yang sulit dicerna oleh logika manusia: seribu tahun kurang lima puluh.

“…maka dia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun…”
(QS. Al-‘Ankabut: 14)

Para mufassir seperti Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa angka 950 tahun ini bukan usia total beliau saat itu, tetapi durasi dakwah—rentang waktu ketika beliau menyeru, menegur, menasihati, dan mengajak kaumnya kembali kepada Allah. Beberapa riwayat dari Ibnu Abbas RA bahkan menyebutkan bahwa Nuh AS mulai berdakwah sejak usia sekitar empat puluh tahun.

Bayangkan memikul penolakan selama itu. Sembilan setengah abad bukan sekadar waktu, tetapi rangkaian hari yang penuh ejekan, penolakan, dan harapan yang tampak tidak kunjung menjadi kenyataan.

Metodologi Dakwah: Siang, Malam, Terang-Terangan, Rahasia

Al-Qur’an mengabadikan pengaduan Nuh AS kepada Allah dalam QS. Nuh: 5–9, yang memperlihatkan betapa totalitasnya usaha beliau. Kalimat-kalimat itu bukan hanya informasi, tetapi potret pergulatan batin seorang nabi yang tidak menyerah meski hampir tidak melihat hasil.

Beliau berkata bahwa ia berdakwah siang dan malam. Ketika metode terbuka tidak berhasil, beliau beralih kepada pendekatan personal. Ketika pendekatan personal tak dihiraukan, beliau kembali berbicara dalam forum umum. Setiap celah beliau coba, setiap pintu beliau ketuk, dan setiap peluang beliau manfaatkan.

Tetapi kaumnya tetap mengeraskan hati. Mereka menutup telinga, menyelimuti diri dengan pakaian agar tidak melihat Nuh AS, bahkan menjadikan ejekan sebagai respons atas ketulusan beliau. Tidak ada ruang yang tidak mereka isi dengan pengingkaran.

Hasil Dakwah: Hanya Segelintir, Namun Menjadi Bukti Kebenaran

Ketika akhirnya masa dakwah itu mendekati ujungnya, hasilnya tercatat dengan kalimat yang menggetarkan:

“…dan tidak ada yang beriman bersama Nuh kecuali sedikit.”
(QS. Hud: 40)

“Sedikit” itu, menurut sebagian riwayat tafsir, tidak lebih dari delapan puluh orang. Mereka bukan tokoh terpandang atau pemimpin masyarakat—melainkan para dhu‘afa: para tukang, budak, ibu tunggal, anak yatim, dan pekerja biasa. Justru karena para pengikutnya berasal dari kalangan yang dianggap rendah, para pembesar kaumnya menolak dakwah Nuh AS mentah-mentah. Mereka berkata dengan congkak bahwa mereka tidak sudi mengikuti agama yang hanya diikuti “orang-orang hina”.

Namun di balik jumlah yang kecil itu, ada makna besar yang ditegaskan Al-Qur’an. Durasi 950 tahun dengan penolakan yang hampir total menjadi hujjah—bukti bahwa kebenaran sudah disampaikan tanpa celah. Setelah seruan selama sembilan setengah abad, penolakan mereka bukan lagi sekadar kebodohan, tetapi pembangkangan yang disengaja.

Di titik itulah, ketetapan Allah turun. Bukan karena jumlah pengikut yang sedikit, tetapi karena kebenaran yang sudah disampaikan secara tuntas. Dan dari sinilah babak baru dimulai dalam kisah Nabi Nuh AS—babak yang akan mengguncang seluruh bumi.

Konflik, Doa, dan Pembangunan Bahtera

Setelah perjalanan dakwah yang berlangsung hampir satu milenium, hubungan antara Nabi Nuh AS dan kaumnya memasuki fase yang jauh lebih tegang. Seruan yang dulunya disampaikan dengan kelembutan kini dibalas dengan penolakan yang semakin keras. Hati mereka tidak hanya tertutup, tetapi juga mulai menantang secara terbuka.

Dalam suasana inilah ujian batin Nabi Nuh AS mencapai titik terberat—ketika kebenaran yang diulang selama ratusan tahun justru dijadikan bahan olok-olok. Fase ini menjadi pintu masuk menuju rangkaian peristiwa besar yang akan mengubah sejarah manusia.

Tantangan, Ejekan, dan Tekanan yang Terus Meninggi

Setelah berabad-abad menyeru kaumnya, penolakan terhadap Nabi Nuh AS tidak hanya tetap ada—tetapi justru semakin keras. Mereka tidak lagi diam, melainkan aktif melawan. Ejekan menjadi bahasa sehari-hari mereka. Fitnah menjadi senjata. Bahkan, mereka menuduh Nabi Nuh AS sebagai orang gila dan pembohong, seakan-akan kesabaran selama 950 tahun itu tidak bernilai sama sekali.

Pada akhirnya, kesombongan mereka memuncak dalam satu tantangan terbuka: “Jika kamu memang benar, datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada kami.” (isyarat makna QS. Hud: 32–35). Sebuah kalimat yang bukan hanya menunjukkan arogansi, tetapi kebutaan spiritual yang sudah menutup setiap ruang hidayah.

Di sinilah kita melihat bahwa konflik antara Nabi Nuh AS dan kaumnya bukan sekadar perbedaan pendapat, tetapi benturan antara wahyu dan kesombongan, antara hati yang lembut dan hati yang membatu.

Doa Titik Balik: Ketika Seorang Nabi Merasa “Terkalahkan”

Ada satu momen yang sangat manusiawi dalam perjalanan ini—momen ketika Nuh AS mengadu kepada Allah dengan kalimat yang sangat singkat, namun terasa seperti seluruh beban dunia tertumpah di dalamnya:

“Sesungguhnya aku telah dikalahkan, maka tolonglah aku.”
(QS. Al-Qamar: 10)

Ini bukan pengakuan kekalahan dalam arti putus asa. Ini adalah ketundukan total seorang hamba yang telah memberikan segalanya. Ketika pintu usaha tertutup, pintu doa terbuka lebar. Dan beberapa waktu setelah itu, doa lain menyusul—doa yang menandai berakhirnya seluruh rangkaian dakwah:

“Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun dari mereka tinggal di atas bumi.”
(QS. Nuh: 26)

Dengan doa inilah, fase dakwah berakhir. Fase selanjutnya adalah fase keputusan ilahi.

Perintah Ilahi: Bangunlah Bahtera Itu

Allah SWT menjawab doa Nuh AS melalui wahyu yang sangat tegas—wahyu yang mengubah arah seluruh kisah. Dalam QS. Hud: 36–37, Allah menetapkan dua hal penting:

  • Pintu iman ditutup. Tidak ada lagi yang akan beriman selain mereka yang sudah beriman. Keputusan ini final.
  • Perintah membangun bahtera. Nuh AS diperintahkan membuat kapal besar dengan “pengawasan dan petunjuk wahyu”.

Perintah ini terlihat aneh bagi banyak manusia. Bagaimana mungkin seorang nabi diperintahkan membangun kapal raksasa jauh dari laut? Namun bagi seorang rasul yang hidup dengan wahyu, perintah itu lebih jelas daripada fakta apa pun yang terlihat oleh mata.

Perang Psikologis Selama Pembangunan Bahtera

Ketika Nabi Nuh AS mulai menebang kayu dan menyusun papan, ejekan kaumnya mencapai puncak. Al-Qur’an menggambarkannya dengan lugas:

“Dan setiap kali pemimpin kaumnya melewatinya, mereka mengejeknya…”
(QS. Hud: 38)

Isi ejekan mereka selalu sama: meremehkan wahyu, mengagungkan logika sempit. Mereka mencemooh pekerjaan Nuh AS, seakan-akan beliau berubah dari nabi menjadi tukang kayu. Mereka menertawakan lokasi kapal itu: “Apakah engkau ingin membawa laut ke sini, atau membawa kapal itu ke laut?”

Inilah kesombongan yang lahir dari cara pandang yang hanya percaya pada apa yang tampak. Kapal di daratan adalah kebodohan bagi mereka, sementara wahyu lebih asing daripada angin yang lewat.

Tetapi jawaban Nuh AS tetap tenang:

“Jika kamu mengejek kami, maka kami pun akan mengejek kalian sebagaimana kalian mengejek kami. Kelak kalian akan mengetahui…”
(QS. Hud: 38–39)

Ini bukan ejekan balik dalam makna emosional. Ini adalah pernyataan bahwa realitas sejati berada di tangan Allah, bukan di tangan persepsi manusia. Yang terlihat mungkin mengundang tawa, tetapi yang akan terjadi mengundang gentar.

Bagaimana Bahtera Itu Dibuat? (Rekonstruksi Riwayat Tafsir)

Al-Qur’an tidak memerinci ukuran, material, atau bentuk bahtera karena fokus utamanya adalah pada pelajaran teologis, bukan arsitektur. Namun berbagai riwayat tafsir memberikan gambaran:

  • Material: Banyak riwayat—termasuk dari Muhammad ibnu Ishaq—menyebut kayu Saj (jati).
  • Struktur: Riwayat lain menyebut bahtera memiliki tiga lantai: bagian bawah untuk hewan besar dan kotoran, lantai tengah untuk manusia dan hewan yang lebih kecil, dan lantai atas untuk burung-burung.
  • Durasi pembuatan: Riwayat sangat beragam—ada yang menyebut 100 tahun, ada 200 tahun, ada pula yang lebih panjang.
  • Ukuran: Beberapa riwayat menyebut panjang sekitar 300 hasta, sementara riwayat lain dari tradisi Taurat menyebut angka yang jauh lebih besar.

Perbedaan ini menunjukkan bahwa Allah sengaja tidak menjadikan ukuran kapal sebagai fokus utama kisah. Yang penting bukan panjang dan lebarnya, tetapi untuk apa kapal itu dibangun dan siapa yang akhirnya diselamatkan.

Bahtera itu adalah simbol keteguhan, bukan monumentalisme. Ia dibangun bukan untuk memecahkan rekor, tetapi untuk menyelamatkan iman.

Azab: Banjir Besar dan Ujian Terakhir Keluarga

Setelah bahtera selesai dibangun dan pintu-pintu wahyu memberi tanda-tanda yang makin jelas, babak terakhir dalam kisah Nabi Nuh AS pun dimulai. Ini adalah fase ketika keputusan ilahi turun, bukan hanya untuk memusnahkan kezaliman, tetapi juga untuk memperlihatkan betapa rapuhnya ikatan darah ketika tidak ditopang oleh iman. Di tengah gelapnya awan dan derasnya fitnah kaumnya, ujian yang datang kepada Nuh AS bukan lagi sekadar ejekan, tetapi tragedi yang menyentuh keluarganya sendiri. Dari sinilah kisah memasuki puncak dramatiknya—ketika air mulai naik, dan hati manusia diuji hingga batasnya.

Tanda Dimulainya Azab: Fara At-Tannur

Tanda pertama datang dengan cara yang tidak pernah terbayangkan. Allah menetapkan sinyal yang hanya dikenal oleh Nuh AS: Fara At-Tannur—tungku yang memancarkan air. Al-Qur’an menggambarkannya:

“Hingga apabila perintah Kami datang dan tannur itu memancarkan air…”
(QS. Hud: 40; QS. Al-Mu’minun: 27)

Para mufassir berbeda pendapat mengenai maknanya:

  • Tungku roti milik Nabi Nuh AS—pendapat mayoritas, termasuk riwayat Ibnu Abbas. Air memancar dari tempat yang seharusnya berisi api, sebagai mukjizat dan sinyal khusus.
  • Permukaan bumi itu sendiri, makna kiasan bahwa tanah mulai memancarkan air dari segala penjuru.
  • Tungku Adam AS di ‘Ainul-Wardah, menurut sebagian riwayat tarikh.

Apa pun makna teknisnya, satu hal jelas: perintah azab telah tiba. Langit terbuka, bumi memancar, dan ketetapan Allah turun serentak. Al-Qur’an menggambarkannya dengan bahasa yang mengguncang:

“Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan air tercurah, dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air…”
(QS. Al-Qamar: 11–12)

Perintah Pemuatan Bahtera

Saat tanda itu muncul, Allah memberikan instruksi terakhir:

“Muatkanlah ke dalamnya dari setiap jenis sepasang, dan keluargamu, kecuali yang telah ditetapkan baginya…”
(QS. Hud: 40)

Perintah ini berarti dua hal sekaligus: penyelamatan yang terpilih, dan pengecualian yang menyakitkan. Ada anggota keluarga yang tidak boleh ikut—karena hatinya telah memilih jalan lain.

Tragedi Keluarga (1): Istri yang Berkhianat dalam Aqidah

Al-Qur’an menyebut istri Nabi Nuh AS sebagai perumpamaan bagi orang kafir:

“Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir: istri Nuh dan istri Luth…”
(QS. At-Tahrim: 10)

Riwayat tarikh menamainya Walighah. Ia bukan pendosa dalam perilaku, tetapi pengkhianat dalam aqidah. Para mufassir, termasuk Ibnu Katsir mengutip penjelasan Ibnu Abbas RA, menegaskan:

  • Bukan perzinaan — Allah menjaga kehormatan para nabi dari aib tersebut.
  • Pengkhianatan aqidah — Walighah menjadi mata-mata bagi kaum kafir.
  • Membocorkan rahasia — ia memberitahu para pembesar siapa saja yang telah beriman kepada Nuh AS.
  • Mengejek dakwah suaminya — ia menyebut Nuh AS sebagai orang gila.

Walighah menolak naik ke bahtera. Ia memilih kaumnya, dan tenggelam bersama mereka. Inilah bukti bahwa iman tidak bisa diwarisi melalui pernikahan.

Tragedi Keluarga (2): Putra Durhaka (Kan’an/Yam)

Ujian berikutnya jauh lebih mengiris hati: seorang putra yang durhaka. Dari empat putra Nuh AS, tiga beriman (Sam, Ham, Yafet), dan satu kafir: Kan’an atau Yam.

Ketika bahtera mulai bergerak, dan ombak menjulang “seperti gunung-gunung”, terjadi dialog terakhir antara seorang nabi dan anaknya:

  • Nuh AS memanggil: “Hai anakku, naiklah bersama kami… jangan bersama orang-orang kafir.”
  • Kan’an menjawab: “Aku akan berlindung ke gunung.”
  • Nuh AS berkata: “Tidak ada yang dapat melindungi hari ini dari azab Allah…”

Lalu Al-Qur’an menutupnya:

“Gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah ia termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.”
(QS. Hud: 42–43)

Teguran Ilahi: Ikatan Iman Lebih Tinggi dari Ikatan Darah

Setelah melihat putranya tenggelam, Nuh AS mengadu kepada Allah, dengan harapan manusiawi: bahwa anak tetaplah keluarga.

“Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku…”
(QS. Hud: 45)

Namun Allah menegurnya dengan firman yang sangat tegas:

“Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah keluargamu; sesungguhnya perbuatannya tidak baik. Aku menasihatimu agar engkau tidak termasuk orang-orang yang bodoh.”
(QS. Hud: 46)

Inilah salah satu pilar utama aqidah: keluarga sejati adalah keluarga iman. Pertalian darah tidak menyelamatkan siapa pun dari ketetapan Allah. Dari peristiwa ini, kita belajar bahwa kesetiaan tertinggi berada pada iman, bukan garis keturunan.

Kehidupan Baru Pasca-Banjir dan Warisan yang Ditinggalkan

Setelah gelombang terbesar dalam sejarah manusia itu mereda, bumi memasuki hening yang belum pernah dialaminya. Generasi sombong yang menolak kebenaran telah tiada, dan dunia terasa seperti lembaran baru yang menunggu ditulisi kembali. Di momen inilah kisah Nabi Nuh AS memasuki fase yang berbeda—fase yang tidak lagi berbicara tentang perjuangan melawan penolakan, tetapi tentang bagaimana sebuah peradaban baru lahir dari sisa-sisa yang diselamatkan oleh Allah. Dari pucuk Gunung Judi hingga tersebarnya anak-cucu manusia ke seluruh penjuru dunia, inilah babak yang menegaskan warisan besar Nabi Nuh AS bagi seluruh umat manusia.

Berakhirnya Azab dan Pendaratan Bahtera

Ketika kehendak Allah telah tuntas, bumi dan langit menerima perintah yang mengembalikan mereka ke keadaan semula. Al-Qur’an menggambarkan saat itu dengan kalimat yang begitu agung:

“Hai bumi, telanlah airmu. Hai langit, berhentilah. Air pun disurutkan, perintah diselesaikan, dan bahtera itu berlabuh di atas Gunung Judi.”
(QS. Hud: 44)

Gunung Judi, menurut para ahli geografi Muslim, berada di wilayah Turki tenggara atau Irak bagian utara—daerah yang secara historis dikenal sebagai kawasan peradaban awal manusia. Setelah bahtera itu menetap, bumi yang hancur perlahan kembali tenang. Yang tersisa hanyalah mereka yang beriman, dan dari merekalah peradaban baru akan dimulai.

Memulai Kehidupan Baru

Ketika saatnya tiba, Allah memerintahkan Nuh AS untuk turun dari bahtera dan mengawali babak baru sejarah manusia:

“Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh berkah dari Kami…”
(QS. Hud: 48)

Turunnya mereka bukan sekadar perpindahan tempat, tetapi peresmian sebuah kehidupan yang bersih dari kesyirikan. Sebagai manusia yang merasakan langsung kedahsyatan azab Allah, mereka memulai langkah pertama dengan doa yang diajarkan langsung oleh Rabb mereka:

“Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat.”
(QS. Al-Mu’minun: 29)

Doa ini menjadi fondasi spiritual bagi peradaban pasca-banjir: bahwa setiap awal harus dimulai dengan permohonan berkah, bukan ambisi.

Puasa Asyura sebagai Tanda Syukur

Disebutkan dalam sejumlah riwayat, termasuk yang dinukil Ath-Thabari, bahwa bahtera mendarat pada tanggal 10 Muharram—hari yang kelak dikenal sebagai Asyura. Pada hari itu, sebagai bentuk syukur yang mendalam karena telah diselamatkan dari banjir besar, Nabi Nuh AS dan para pengikutnya berpuasa.

Puasa ini kemudian dihidupkan kembali oleh Nabi Muhammad SAW sebagai ibadah sunnah yang sarat makna historis dan spiritual: syukur atas keselamatan yang Allah berikan kepada para hamba-Nya yang bertawakal.

Bapak Kedua Umat Manusia: Abul Basyar Ats-Tsani

Banjir besar itu berfungsi sebagai “reset” total bagi sejarah manusia. Tidak ada satu pun orang kafir yang tersisa. Al-Qur’an menyatakannya secara tegas:

“Dan Kami jadikan keturunannya orang-orang yang melanjutkan keturunan.”
(QS. Ash-Shaaffaat: 77)

Para ahli tafsir memahami ayat ini secara literal: seluruh manusia yang hidup setelah banjir adalah keturunan dari tiga putra Nabi Nuh AS yang beriman—Sam, Ham, dan Yafet.

Karena dari merekalah seluruh umat manusia berkembang kembali, Nabi Nuh AS dijuluki Abul Basyar Ats-Tsani, Bapak Kedua Umat Manusia, menyusul kedudukan Nabi Adam AS sebagai manusia pertama. Dari sinilah jejak sejarah setiap bangsa, suku, dan bahasa di dunia dapat ditarik hingga kembali kepada keluarga yang selamat di bahtera itu.

Dengan berakhirnya banjir dan dimulainya kehidupan baru, kisah Nabi Nuh AS bukan hanya kisah tentang azab, tetapi kisah tentang harapan—bahwa dari kegelapan paling pekat, Allah mampu menumbuhkan cahaya peradaban baru yang bersandar pada iman.

Wafat dan Wasiat Terakhir Nabi Nuh AS

Setelah menuntaskan misi dakwah yang berlangsung hampir satu milenium dan menyaksikan lahirnya kembali peradaban manusia, perjalanan hidup Nabi Nuh AS pun menuju akhirnya. Namun sebelum beliau wafat, ada jejak penting yang diabadikan dalam sejarah: khilaf mengenai usia beliau, serta wasiat terakhir yang menjadi intisari seluruh perjuangannya. Agar alurnya utuh, mari kita melihat bagaimana para ulama mengkaji usia beliau dan apa pesan terakhir yang ditinggalkannya kepada umat manusia melalui putranya.

Kajian Kritis Usia Wafat (Analisis Khilaf)

Al-Qur’an hanya memberikan satu angka pasti tentang Nabi Nuh AS: 950 tahun masa dakwah (QS. Al-Ankabut: 14). Selain itu, seluruh rincian mengenai total usia beliau berasal dari riwayat-riwayat isra’iliyyat dan ijtihad para ulama salaf. Karena itu, tidak mengherankan jika perbedaan pendapat mengenai usia Nabi Nuh AS sangat lebar—mulai dari 950 hingga 1700 tahun.

Perbandingan pendapat tersebut dapat diringkas dalam tabel berikut:

Sumber Pendapat Usia Saat Diutus Masa Dakwah Hidup Pasca-Banjir Total Usia
Al-Quran (Qath’i) 950 tahun
Qatadah (Pendapat 1) 300 300 350 950 tahun (total)
Qatadah (Pendapat 2) 950 tahun 60 tahun 1010 tahun
Ibnu Abbas R.A. 40 tahun 950 tahun 60 tahun 1050 tahun
Ka‘ab bin Ahbar 950 tahun 70 tahun 1020 tahun
‘Aun bin Abu Syaddad 350 950 tahun 350 tahun 1650 tahun
Wahb bin Munabbih 1400 tahun
‘Ikrimah 1700 tahun

Rentang usia yang sangat ekstrem ini menegaskan bahwa angka pasti usia Nabi Nuh AS tidak dapat ditetapkan secara ilmiah. Pendapat yang paling sering dinukil adalah riwayat Ibnu Abbas (1050 tahun), tetapi fokus syariat bukan pada angka biologis, melainkan pada keteguhan dakwah 950 tahun—sebuah ketabahan yang tidak pernah terulang dalam sejarah manusia.

Wasiat Terakhir Nabi Nuh AS (Analisis Hadits Shahih)

Di antara warisan paling penting yang beliau tinggalkan adalah wasiat terakhirnya. Hadits shahih yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Al-Bukhari (dalam Al-Adab Al-Mufrad) menyebutkan bahwa menjelang wafat, Nabi Nuh AS memanggil putranya untuk menyampaikan empat pesan abadi—dua perintah dan dua larangan. Wasiat ini merupakan rangkuman akidah, ibadah, dan akhlak yang menopang seluruh misi kenabian.

Dua Perintah:

1. “La ilaha illallah” (Tauhid)
Nabi Nuh AS menegaskan bahwa kalimat ini bukan sekadar ucapan, tetapi inti dari seluruh langit dan bumi. Beliau berkata:

“Andaikan tujuh langit dan tujuh bumi diletakkan pada satu daun timbangan, lalu kalimat ‘La ilaha illallah’ diletakkan pada daun timbangan lainnya, niscaya kalimat tersebut lebih berat.”

Ini menunjukkan bahwa nilai eksistensial seluruh alam tidak dapat menandingi bobot tauhid dalam pandangan Allah.

2. “Subhanallahi wa bihamdihi” (Tasbih)
Kalimat tasbih ini bukan hanya bentuk pujian, tetapi juga energi ibadah bagi seluruh makhluk. Nabi Nuh AS menjelaskan:

“Ia adalah shalat segala sesuatu; dan dengannya para makhluk diberi rezeki.”

Artinya, tasbih adalah denyut spiritual alam semesta—pengakuan seluruh makhluk terhadap kesucian Allah.

Dua Larangan:

1. Syirik
Inilah dosa yang beliau perangi selama 950 tahun. Syirik merusak fitrah, menghancurkan peradaban, dan menjadi sebab dihancurkannya seluruh generasi Nabi Nuh AS.

2. Kesombongan (Al-Kibr)
Akar dari penolakan kaumnya: merasa lebih pintar, lebih tinggi, dan tidak membutuhkan kebenaran. Ketika para sahabat bertanya definisi “kibr”, Rasulullah SAW menjelaskan dengan dua kalimat tegas:

“Menolak kebenaran (safahul haqq) dan meremehkan manusia (ghamshun naas).”

Dengan wasiat ini, Nabi Nuh AS menutup perjalanan hidupnya dengan penegasan: bahwa inti agama berada pada tauhid, dzikir, penolakan syirik, dan kerendahan hati. Empat pesan ini menjadi simpulan seluruh pengalaman hidup seorang Rasul Ulul ‘Azm yang menghadapi umat paling degil dalam sejarah.

Jejak Abadi dari Kisah Nabi Nuh AS

Ketika seluruh rangkaian kisah ini kita tarik sebagai satu alur utuh—dari lahirnya syirik pertama, dakwah panjang yang melelahkan, banjir besar yang mengakhiri sebuah peradaban, hingga lahirnya dunia baru—maka jelas bahwa kisah Nabi Nuh AS bukan sekadar sejarah kuno. Ia adalah cermin besar yang memperlihatkan bagaimana manusia bisa tersesat, bagaimana seorang rasul bertahan, dan bagaimana Allah menegakkan keadilan setelah semua pintu peringatan ditutup rapat. Transisi terbesarnya terjadi saat banjir surut dan bahtera berlabuh: dunia lama tenggelam, sementara yang baru dilahirkan dengan fondasi tauhid.

Ibrah Besar dari Kisah Nabi Nuh AS

Untuk menangkap pesan terdalam dari kisah ini, ada beberapa pelajaran kunci yang layak direnungkan. Tidak hanya relevan bagi umat terdahulu, tetapi juga menjadi pedoman hidup bagi siapa pun yang ingin menjaga kesucian iman dan keteguhan langkah.

1. Syirik Selalu Berawal dari Ghuluw (Berlebihan)
Penyimpangan akidah tidak lahir seketika. Ia tumbuh diam-diam dari sikap berlebihan terhadap manusia saleh, kemudian berubah menjadi kultus, lalu menjadi penyembahan. Inilah sebab utama mengapa syariat begitu ketat menjaga batas-batas akidah.

2. Kesombongan Adalah Pintu Kejatuhan Bangsa
Kaum Nabi Nuh AS bukan tidak mengerti, mereka memilih untuk angkuh. Kesombongan menutup mata dari kebenaran, menutup telinga dari nasihat, dan akhirnya menutup pintu keselamatan.

3. Dakwah Membutuhkan Keteguhan yang Melebihi Logika
Dakwah selama 950 tahun adalah bukti bahwa kesabaran kadang tidak terukur oleh waktu. Nabi Nuh AS tidak menilai keberhasilan dari jumlah pengikut, tetapi dari ketaatan terhadap perintah Allah.

4. Ikatan Iman Lebih Tinggi daripada Ikatan Darah
Istri dan anak beliau sendiri tidak diselamatkan karena kekufuran mereka. Di sini Al-Qur’an menegaskan bahwa kedekatan spiritual jauh lebih menentukan daripada kedekatan biologis.

5. Pertolongan Allah Datang Setelah Ikhtiar Sempurna
Doa “Aku telah dikalahkan, maka tolonglah aku” bukan doa putus asa, melainkan tanda bahwa segala usaha telah ditempuh. Pertolongan Allah datang tepat pada waktunya—bukan lebih cepat, bukan lebih lambat.

6. Selamatnya Mukmin Adalah Awal Sebuah Peradaban Baru
Ketika bumi dibersihkan, justru di situlah harapan muncul. Tiga putra Nabi Nuh AS menjadi akar bagi seluruh umat manusia hari ini. Ini menunjukkan bahwa satu generasi yang bertahan di atas iman bisa melahirkan dunia yang sepenuhnya baru.


Jika Anda ingin mendalami kisah nabi-nabi lainnya dengan format yang sama—ringan, berdata, dan penuh ibrah—Anda dapat membaca kelanjutannya melalui halaman khusus di:

Baca Seri Lengkap Kisah-kisah Nabi di Nahwu.id

Setiap kisah membawa pelajaran baru, dan setiap pelajaran membuka pintu untuk memahami siapa diri kita di hadapan Allah. Silakan lanjutkan eksplorasi Anda.