Kisah Nabi Yunus dari Lahir hingga Wafat Berdasarkan Al-Quran, Hadits, dan Tafsir Ulama

Kisah Nabi Yunus ‘alaihissalam selalu dianggap sederhana—sekadar cerita seorang nabi yang ditelan ikan besar lalu berdoa di tengah kegelapan. Namun, ketika kita membuka Al-Quran, Hadits, dan penjelasan para ulama, kisah ini ternyata jauh lebih dalam dan emosional daripada yang dibayangkan banyak orang. Ia bukan sekadar episode dramatis di tengah lautan, tetapi potret lengkap perjalanan manusia: kecewa, marah, merasa gagal, jatuh ke titik terendah, lalu bangkit dengan cara yang tak terduga.

Yang menarik, kisah ini juga menggunakan bahasa simbolis yang sangat kuat. Ada laut yang menggulung seperti kritik halus atas terburu-burunya seorang nabi. Ada perut ikan yang menjadi sebuah ruang kontemplasi paksa. Ada doa pendek yang memecahkan tiga lapis kegelapan. Lalu ada negeri Ninawa—sebuah kota besar yang justru menjadi salah satu contoh taubat kolektif paling spektakuler dalam sejarah manusia.

Karena itu, memahami perjalanan Nabi Yunus bukan hanya soal mengikuti plot, tetapi juga membaca bagaimana Allah membimbing seorang nabi melalui intervensi demi intervensi. Mulai dari kepergian beliau dalam keadaan hati yang panas, badai yang memaksa undian kapal, hingga momen ketika doa tasbih menyelamatkannya dari kedalaman laut. Dan dari titik itulah, kisah Yunus as terasa sebagai cermin bagi kita: sekeras apa pun badai, manusia selalu punya jalan pulang selama tangan itu terulur kepada-Nya.

Setelah memahami konteks ini, kita bisa masuk lebih jauh ke tiap segmen kisahnya—dari masa dakwah di Ninawa hingga akhir hidupnya. Mari kita mulai perjalanan ini dengan kerangka itu di kepala, agar setiap episode terasa menyatu dan tidak sekadar menjadi cerita lepas yang berdiri sendiri.

Daftar Isi

Nama Yunus: Tiga Epithet dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an tidak pernah memilih nama secara asal. Setiap gelar yang dipakai untuk Nabi Yunus punya fokusnya sendiri. Begitu kita melihatnya satu per satu, terlihat jelas bahwa Al-Qur’an sedang membimbing pembacanya: kapan harus melihat sisi kenabiannya, kapan harus melihat sisi ujian batinnya, dan kapan harus belajar dari sikap tergesa-gesanya. Semuanya saling melengkapi, dan semuanya membuat kisah Yunus lebih mudah dipahami bahkan oleh pembaca awam.

Yunus (يُونُس)

Nama Yunus adalah nama asli beliau. Al-Qur’an memakainya ketika ingin menegaskan posisi beliau sebagai nabi, atau ketika ceritanya sedang fokus pada kaumnya. Misalnya saat menyebut Yunus bersama para nabi besar lainnya, atau ketika membicarakan “kaum Yunus” yang akhirnya bertaubat. Kesannya sederhana: ini Yunus sebagai nabi dengan tugas dan risalah yang jelas.

Dzun-Nun (ذَا النُّونِ) — “Sang Pemilik Ikan”

Gelar Dzun-Nun dipakai ketika Al-Qur’an mengangkat bagian paling berat dalam hidup beliau: saat ditelan ikan besar. Kata Nun di sini bermakna ikan/paus. Gelar ini muncul ketika ceritanya sedang memusat pada ujian terdalam—Yunus yang salah langkah, lalu terjebak dalam “tiga kegelapan”, lalu akhirnya menemukan jalan pulang lewat doa, tasbih, dan pengakuan. Jika “Yunus” adalah gelar resmi, maka “Dzun-Nun” adalah gelar pada momen ujian.

Shahibul-Hût (صَاحِبِ ٱلْحُوتِ) — “Orang yang (bersama) Ikan”

Gelar Shahibul-Hût muncul dalam bentuk peringatan. Al-Qur’an berkata, “jangan seperti Shahibul-Hût” — maksudnya jangan tergesa, jangan meninggalkan tugas dakwah hanya karena lelah atau kecewa. Di bagian ini, gelarnya dipakai bukan sebagai pujian, tapi sebagai pelajaran langsung: ketergesa-gesaan bisa membawa masalah lebih besar.

Jika dibuat ringkas: Yunus adalah nabi; Dzun-Nun adalah hamba yang sedang ditempa; dan Shahibul-Hût adalah peringatan agar kita tidak mengulang kesalahan yang sama. Dengan cara seperti ini, pembaca awam bisa menangkap makna tanpa harus terjebak istilah berat.

Silsilah Nasab Yunus dan Metodologi Kritis “Lahir hingga Wafat”

Dalam tradisi tafsir dan hadis, nama lengkap beliau disebut sebagai Yunus bin Matta. Ada satu hal menarik di sini: banyak ulama memahami bahwa “Matta” adalah nama ibunya. Penyebutan seperti ini hampir tidak pernah terjadi dalam nasab para nabi, kecuali pada sosok-sosok tertentu seperti ‘Isa bin Maryam. Artinya, sejak awal kita sudah melihat bahwa kisah Yunus memang memiliki ciri khas tersendiri, bahkan pada bagian paling dasar: nasabnya. Beliau juga dikenal sebagai bagian dari keturunan Bani Israil.

Namun ketika pembaca ingin mengikuti perjalanan hidupnya dari “lahir hingga wafat”, baru terlihat satu masalah penting: sumber-sumber primer dalam Islam memang tidak memberi kita biografi lengkap Nabi Yunus. Tidak ada catatan tentang tanggal lahir, usia wafat, atau rincian masa hidup beliau. Al-Qur’an justru memilih menyoroti satu fase utama saja—krisis dakwah, ujian kesabaran, dan momen ketika beliau berada dalam perut ikan.

Di titik ini, kita perlu memahami bahwa keheningan itu bukan kekurangan, tetapi pilihan. Al-Qur’an adalah Kitab Petunjuk, bukan buku sejarah lengkap. Karena itu, fokusnya bukan pada kronologi, melainkan pada pelajaran batin yang lahir dari perjalanan Nabi Yunus. Bagian yang paling penting justru bukan “siapa beliau sejak kecil”, tetapi “apa yang harus dipelajari dari fase tergelap yang beliau alami”.

Akibat kekosongan kronologi ini, banyak penulis sejarah mencoba mengisinya dengan riwayat Israiliyyat—narasi dari tradisi Yahudi–Nasrani yang masuk ke dalam literatur tafsir. Para ulama menyikapinya dengan cermat: mereka membaginya menjadi tiga kategori—yang selaras dengan syariat (diterima), yang bertentangan (ditolak), dan yang tidak jelas posisinya (didiamkan). Riwayat tentang kelahiran dan wafat Nabi Yunus hampir selalu berada pada kategori ketiga.

Jadi, analisis yang jujur bukanlah memaksa cerita yang tidak ada, tetapi memahami mengapa Al-Qur’an memilih diam dan apa yang ingin ditonjolkan melalui diamnya itu. Dengan cara inilah kita dapat memahami Nabi Yunus bukan sebagai tokoh biografi panjang, tetapi sebagai sosok yang membawa satu pesan inti tentang kesabaran, taubat, dan kembali kepada Tuhan dalam saat paling gelap.

Kedudukan Nabi Yunus dalam Al-Qur’an

Untuk menangkap posisi penting Nabi Yunus dalam keseluruhan struktur Al-Qur’an, kita perlu melihat bagaimana kitab ini menyebut dan menempatkannya di berbagai surah. Menariknya, setiap penyebutan bukan hanya berbeda dari sisi nama, tetapi juga berbeda dari sisi fokus tematiknya. Ini membuat gambaran tentang Nabi Yunus jauh lebih kaya: beliau hadir sebagai nabi, sebagai manusia yang diuji, sebagai simbol tobat, dan sebagai peringatan bagi umat Nabi Muhammad SAW.

Agar gambarnya lebih jelas, berikut pemetaan ringkas dari seluruh referensi Al-Qur’an tentang Nabi Yunus:

Surah : Ayat Nama / Gelar Fokus dan Konteks Ayat
An-Nisa’ (4): 163 Yunus Bagian dari daftar para nabi yang menerima wahyu. Fokus utamanya adalah penguatan legitimasi kenabian.
Al-An’am (6): 86 Yunus Penyebutan dalam daftar nabi yang dilebihkan derajatnya. Masih dalam ranah penegasan posisi kenabian.
Yunus (10): 98 Yunus Catatan unik tentang kaum yang benar-benar bertobat dan diterima tobatnya. Fokusnya lebih sosiologis dan kolektif.
Al-Anbiya’ (21): 87 Dzun-Nun Penyebutan ketika beliau pergi dalam keadaan kesal, lalu berdoa dalam kegelapan. Sorotannya bersifat teologis dan psikologis.
As-Saffat (37): 139–148 Yunus Bagian paling lengkap dari sisi cerita: pelarian, undian kapal, ditelan ikan, diselamatkan, hingga kembali berdakwah. Fokusnya adalah alur naratif.
Al-Qalam (68): 48–50 Shahibil Huut Peringatan agar tidak mengulangi ketergesaan yang pernah terjadi. Di sini fokusnya adalah pelajaran moral.

Dari pemetaan ini terlihat jelas bahwa Al-Qur’an tidak sekadar mengulang kisah yang sama, tetapi memotret Nabi Yunus dari sudut yang berbeda-beda.

Ada bagian yang menegaskan kredibilitasnya sebagai nabi, ada bagian yang menyorot pelajaran batinnya, dan ada pula bagian yang ditujukan langsung untuk mendidik Rasulullah SAW. Justru variasi inilah yang membuat kisah Nabi Yunus menjadi salah satu yang paling padat makna dalam Al-Qur’an.

Misi Kenabian di Ninawa: Dakwah, Penolakan, dan Peringatan Azab

Sebelum masuk ke detail, perlu kita pegang satu gambaran besar: Yunus tidak diutus ke kota kecil yang sudah familiar dengan ajaran tauhid—ia dikirim ke sebuah kota besar yang dunianya penuh dengan tradisi lama dan penyembahan berhala. Karena itu, perjuangannya punya nuansa berbeda: bukan sekadar mengingatkan kembali kebenaran lama, melainkan memperkenalkan gagasan yang benar-benar baru bagi banyak orang di sana.

Dakwah di Ninawa: Seruan yang Sederhana tapi Revolusioner

Nabi Yunus diutus kepada penduduk Ninawa—kota besar di daerah yang sekarang sekitar Mosul, Irak. Tugasnya sederhana secara inti: serukan tauhid, ajak mereka menyembah Allah saja dan tinggalkan patung-patung serta tradisi penyembahan leluhur. Nada seruannya sama seperti nabi-nabi lain, tapi konteksnya beda: ini bukan mengingatkan sesuatu yang sudah ada, melainkan memperkenalkan hal yang sama sekali baru bagi banyak orang.

Kondisi Sosial-Budaya: Tembok Tradisi yang Kuat

Masalah terbesar bukan pada pesan Yunus—melainkan pada bagaimana pesan itu diterima. Menurut catatan para ahli tafsir dan sejarah, dakwah tauhid bagi penduduk Ninawa terasa asing. Mereka hidup dalam kebiasaan turun-temurun: berhala, ritual keluarga, dan norma sosial yang mengikat erat. Jadi ketika Yunus datang dengan seruan yang menuntut perubahan total, orang-orang menanggapinya bukan dengan refleksi, tetapi dengan penolakan.

Penolakan itu bukan hanya menolak kata-katanya, melainkan menolak cara pandang baru yang mengancam otoritas kultural mereka. Di sinilah letak tragedi psikologisnya: bagi Yunus, ia bukan berdebat soal detail ritual—ia menabrakkan misi ilahi pada tembok yang sangat rapat. Frustrasi dan putus asa mulai menumpuk.

Peringatan Azab: Ancaman Tiga Hari dan Reaksi Kaum

Setelah menasihati tanpa hasil, Nabi Yunus memberikan peringatan yang tegas: jika kalian tak juga mau bertobat, azab akan datang dalam tiga hari. Ini adalah upaya terakhir: sebuah batas waktu yang memaksa kaum untuk berpikir ulang. Namun bukannya merenungi, mereka mengabaikannya. Mereka melihat ancaman itu sebagai omongan keras seorang pendatang dan tidak mengubah cara hidupnya.

Kondisi ini—dakwah yang asing, penolakan yang keras, dan ancaman yang diabaikan—menciptakan latar psikologis yang menjelaskan langkah selanjutnya dalam kisah Yunus. Bukan lagi sekadar dialog dakwah; ini menjadi soal emosi manusiawi: kecewa, marah, dan akhirnya keputusan yang terburu-buru yang menempatkan Yunus pada persimpangan takdir.

Peristiwa Kritis: Analisis Tafsir Kepergian Nabi Yunus (Surah Al-Anbiya’)

Bagian ini adalah titik paling sensitif dalam perjalanan Nabi Yunus. Al-Qur’an merangkum seluruh peristiwa hanya dalam satu ayat singkat, tetapi dampaknya sangat besar. Ketika para mufassir membahas ayat ini, mereka tidak hanya membahas “apa yang terjadi”, tetapi “mengapa itu terjadi” dan “apa makna spiritual di baliknya”. Dengan cara itu, ayat ini menjadi kunci memahami sisi manusiawi seorang nabi yang sedang diuji.

1 Tafsir Dzahaba Mughadiban — Pergi dalam Keadaan Marah

Ayatnya memulai dengan frasa “wa dzan-nūni idz dzahaba mughāḍiban” — “dan (ingatlah) Dzun-Nun, ketika ia pergi dalam keadaan marah”.

Namun marah di sini bukan kemarahan yang buta. Ia marah karena dakwahnya bertahun-tahun ditolak, hatinya sempit, dan ia merasa tidak ada jalan yang tersisa. Dalam tekanan seperti itu, Nabi Yunus mengambil keputusan yang keliru: ia meninggalkan kaumnya sebelum mendapatkan izin dari Allah.

Para ulama sepakat bahwa kemarahannya bukan ditujukan kepada Allah, tetapi kepada kaumnya yang terus membangkang. Sikap itu sendiri tidak salah — marah karena kebenaran adalah sesuatu yang wajar — tetapi yang menjadi masalah adalah tindak lanjutnya: meninggalkan tugas dakwah tanpa perintah.
Di sinilah tegurannya berada: bukan pada emosinya, tetapi pada keputusannya.

2 Kajian Fa-Dhanna An Lan Naqdira ‘Alaihi

Frasa berikutnya adalah bagian yang paling sering disalahpahami:
“fa ẓanna an lan naqdiro ‘alaihi”.

Secara bahasa, kata naqdiro memang bisa berarti “berkuasa”, tetapi para ulama menyanggah makna itu untuk konteks ayat ini. Seorang nabi tidak mungkin meragukan kekuasaan Allah.

Makna yang tepat — sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan ulama tafsir lainnya — adalah bahwa kata qadara di sini bermakna “menyempitkan”, seperti rezeki yang “dipersempit”. Artinya, Nabi Yunus menyangka bahwa tindakannya itu tidak akan membuat Allah “menyulitkan” atau “menegurnya dengan keras”.
Dengan kata lain, ia mengira bahwa tindakannya masih dalam batas “kesalahan ringan”.

Penjelasan ini menjaga dua hal secara bersamaan:
1. Kemaksuman nabi, karena beliau tidak pernah meragukan Rabb-nya.
2. Sisi manusiawinya, karena ia bisa keliru dalam ijtihad—dan inilah yang terjadi di sini.

Jadi, ‘kesalahan’ Nabi Yunus bukanlah syirik, kufur, atau meragukan Allah. Kesalahannya adalah penilaian yang terburu-buru: menyangka bahwa meninggalkan tugas sebelum ada izin tidak akan membawa teguran besar.
Padahal, seorang nabi memikul amanah yang jauh lebih berat daripada manusia biasa.

Menuju Perut Ikan: Kronologi di Kapal (Surah As-Saffat)

Setelah penjelasan teologis di Surah Al-Anbiya’, Surah As-Saffat mengambil alih alur cerita dan menampilkan perjalanan Nabi Yunus dalam bentuk kronologi yang lebih hidup.

Ayat-ayat di surah ini menggambarkan momen ketika semua jalan dunia tertutup, dan satu-satunya ruang tersisa adalah ruang gelap di perut ikan—ruang yang justru menjadi titik balik hidup seorang nabi.

1. Abaqa (Melarikan Diri) & Al-Fulk Al-Masyhun (Kapal Penuh Muatan)

Setelah meninggalkan Ninawa, Nabi Yunus menuju pantai dan menaiki sebuah kapal. Di sini, Al-Qur’an memakai kata yang nadanya sangat keras: “abaqa”.
Kata ini dalam bahasa Arab biasanya dipakai untuk menggambarkan budak yang melarikan diri dari tuannya. Dengan memilih kata ini, Al-Qur’an menegaskan betapa seriusnya tindakan Nabi Yunus ketika meninggalkan tugas dakwah tanpa izin.

Ia menaiki al-fulk al-masyhun, sebuah kapal yang sudah penuh muatan dan padat penumpang. Gambaran ini memberi kesan bahwa Yunus naik ke kapal di detik terakhir, dalam kondisi darurat batin, dan pada saat yang sama—tanpa menyadari bahwa pelarian itu akan segera berhenti di sini.

2. Fasahama Fakana Minal Mudhadhin (Undian dan Kekalahan)

Tidak lama setelah kapal berlayar, badai besar menghantam. Penumpang yakin bahwa kapal tidak bisa diselamatkan kecuali ada yang dikorbankan. Tradisi mereka juga meyakini bahwa jika ada budak pelarian di kapal, murka “penguasa laut” akan turun. Karena itu, mereka melakukan undian (fasahama) untuk menentukan siapa yang harus dilemparkan ke laut.

Di sinilah kehendak Allah bekerja secara halus tetapi pasti.

Nama Nabi Yunus keluar tiga kali berturut-turut.

Secara statistik, itu nyaris mustahil. Namun justru itulah poinnya: Allah menutup jalan pelariannya satu per satu. Kapal tidak bisa menyelamatkannya. Undian pun tidak berpihak kepadanya. Semua pintu dunia tertutup, seakan Allah berkata: “Kembalilah kepada-Ku.”

3. Faltaqamahul Huut wa Huwa Mulim (Ditelan Ikan dalam Keadaan Tercela)

Mengikuti hasil undian, Nabi Yunus akhirnya melompat atau dilemparkan ke laut. Pada saat itulah sebuah ikan besar—yang memang sudah disiapkan oleh Allah—datang dan menelannya dengan selamat. Al-Qur’an merumuskannya dengan kalimat pendek namun menggugah:

“Faltaqamahul huut” — “maka ia ditelan oleh ikan besar.”

Ayat itu ditutup dengan frasa penting: “wa huwa mulim” — “dan ia dalam keadaan tercela.”
Para ulama menjelaskan bahwa mulim berarti seseorang yang layak dicela karena kesalahannya sendiri, bukan karena orang lain menghinanya. Artinya, penilaian itu datang langsung dari Allah.
Namun perlu digarisbawahi:
ini bukan hukuman untuk menghancurkan, tetapi ruang untuk membentuk kembali.

Di dalam perut ikan, di tengah gelap bertingkat—gelap malam, gelap laut, dan gelap perut ikan—Yunus akhirnya memahami arah yang benar: bukan menjauh, tetapi kembali kepada Tuhannya.

Dialog dalam Kegelapan: Analisis Doa, Tasbih, dan Keutamaannya

Setelah seluruh jalan dunia tertutup, kisah Nabi Yunus masuk ke fase yang paling sunyi sekaligus paling menentukan: fase ketika seorang nabi berdialog dengan Tuhannya dari dalam kegelapan berlapis.

Al-Qur’an menggambarkan suasana batin itu bukan dengan detail visual, tetapi dengan bahasa yang menembus psikologis manusia—bahwa terkadang seseorang harus “jatuh sejauh-jauhnya” sebelum ia melihat cahaya yang sesungguhnya.

1. Tafsir Fi-dhulumat

Surah Al-Anbiya’ menyebut bahwa Nabi Yunus berseru kepada Allah “fī-dhulumat”—dalam “kegelapan-kegelapan”. Para ulama menjelaskan bahwa bentuk jamak ini bukan sekadar gaya bahasa, tapi penggambaran tiga lapis gelap yang menyelimuti dirinya:

  • Kegelapan perut ikan.
  • Kegelapan dasar lautan.
  • Kegelapan malam hari.

Secara simbolis, ini adalah titik nol eksistensial: sebuah ruang ketika tak ada suara, tak ada jalan keluar, dan tak ada bantuan manusia. Justru dalam kesunyian total itulah doa yang paling jujur biasanya lahir.

2. Durasi di Dalam Perut Ikan

Al-Qur’an sengaja tidak menyebutkan berapa lama Nabi Yunus tinggal di dalam perut ikan. Yang penting bukan “berapa lama”, tetapi “apa yang ia lakukan selama itu”.
Beberapa ulama memperkirakan 3 hari, sebagian lain menyebut 7 hari, bahkan ada yang berpendapat 40 hari. Namun perbedaan ini tidak memengaruhi makna inti: bahwa Allah menyelamatkannya karena tasbih-nya, bukan karena durasi atau detail historis lainnya.

Surah As-Saffat menegaskan bahwa seandainya ia tidak terus bertasbih, ia akan tetap berada di sana “hingga hari kebangkitan”. Ini adalah cara Al-Qur’an menegaskan bahwa perubahan nasib seseorang tidak bergantung pada ruang atau waktu, tetapi pada sikap batinnya.

3. Doa Nabi Yunus: Lā ilāha illā anta subḥānaka innī kuntu minaẓ-ẓālimīn

Dari dalam kegelapan bertingkat itu, lahirlah doa yang kemudian menjadi salah satu dzikir paling masyhur dalam sejarah umat Islam:

“Lā ilāha illā anta, subḥānaka, innī kuntu minaẓ-ẓālimīn.”

Doa ini singkat, tetapi memuat sebuah struktur spiritual yang lengkap. Ia terdiri dari tiga pilar:

  • Pilar Tauhid: pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Dalam kegelapan total, Nabi Yunus menegaskan kembali pusat seluruh harapannya.
  • Pilar Tasbih: pengakuan bahwa Allah Maha Suci dari segala aib. Ini sekaligus menafikan kemungkinan bahwa musibah yang menimpanya adalah karena kezaliman dari Allah.
  • Pilar Pengakuan Dosa: “aku termasuk orang-orang yang zalim”. Ia tidak menyalahkan siapa pun, tidak menyalahkan kaumnya, bahkan tidak meminta untuk diselamatkan. Ia memulai dari dirinya sendiri.

Doa ini tidak berisi permintaan eksplisit. Ia tidak berkata, “Selamatkan aku,” atau “Keluarkan aku.”
Inilah adab tertinggi dalam ibadah: menyadari bahwa masalahnya bukan situasinya, melainkan kesalahannya sendiri. Ketika statusnya di hadapan Allah dibenahi, barulah situasinya berubah.

Karena itulah Allah berfirman:

“Lalu Kami kabulkan doanya, dan Kami selamatkan dia dari kesusahan itu.”

4. Keutamaan Doa (Kajian Hadits)

Ayat tersebut ditutup dengan sebuah janji yang sifatnya tidak terbatas ruang dan waktu:

“Demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.”

Rasulullah SAW menguatkan makna ini dalam sebuah hadits yang sangat terkenal: setiap muslim yang membaca doa Nabi Yunus dalam kondisi apa pun—selama ia benar-benar memohon dengan hati yang penuh—maka Allah akan mengabulkan doanya.

Dengan demikian, doa Nabi Yunus bukan hanya milik seorang nabi dalam perut ikan. Ia adalah doa warisan untuk setiap hamba yang merasa terjebak di titik paling gelap dalam hidupnya. Selama lisannya bertauhid, jiwanya bertasbih, dan hatinya mengakui salah, pintu pertolongan tidak akan tertutup.

Pemulihan di Daratan: Tafsir Saqim dan Hikmah Yaqtin

Setelah seluruh fase doa dan penyelamatan di lautan, kisah Nabi Yunus memasuki fase pemulihan—fase yang menunjukkan bagaimana Allah merawat seorang hamba yang baru saja melewati badai batin dan fisik. Surah As-Saffat menggambarkan pemulihan ini dengan bahasa yang apa adanya: sederhana, lugas, tetapi penuh makna.

1. Fanabadznāhu bil-‘Arā’i wa Huwa Saqīm (Terdampar dalam Keadaan Sakit)

Ayat 145 menyebut:

“Fanabadznāhu bil-‘arā’i wa huwa saqīm”

Artinya: “Kemudian Kami lemparkan dia ke tanah yang tandus, dan ia dalam keadaan sakit.”

Para mufassir memberikan dua penjelasan pokok mengenai istilah-istilah ini:

  • Al-‘Arā’: tanah kosong yang terbuka. Tidak ada pohon, tidak ada bangunan, tidak ada naungan. Tempat yang benar-benar terpapar panas, angin, dan cuaca.
  • Saqīm: kondisi tubuh yang sangat lemah. Para mufassir menggambarkannya dengan beberapa pendekatan:
    • lemah tak berdaya, seperti orang yang hampir kehabisan tenaga,
    • kulitnya rusak atau mengelupas akibat berada di dalam perut ikan,
    • seperti “anak burung yang baru menetas”—sangat rapuh dan tidak punya perlindungan alami.

Dengan kata lain, Nabi Yunus tidak hanya terdampar; beliau terdampar dalam kondisi yang sangat rawan. Tidak ada tempat berteduh, dan tubuhnya pun sedang berada dalam fase terlemah.

2. Wa Anbatnā ‘Alaihi Syajaratan min Yaqtin (Pohon Labu sebagai Rahmat)

Dalam kondisi seperti itu, Allah memberikan bentuk pertolongan yang unik:

“Dan Kami tumbuhkan untuknya sebatang pohon dari jenis Yaqtin.”

Yaqtin dipahami oleh para ulama sebagai tanaman labu—sejenis tanaman merambat dengan daun lebar, tumbuh cepat, dan menghasilkan buah yang mudah dikonsumsi. Namun penunjukan tanaman ini tidak sembarangan. Ia adalah “obat” yang disesuaikan dengan kondisi Nabi Yunus, baik secara fisik maupun mental.

Berikut hikmahnya jika kita gabungkan tafsir klasik dan pengetahuan botani modern:

  • Naungan instan:
    Daun labu sangat lebar. Di tanah tandus tanpa perlindungan, tanaman ini menjadi payung alami yang melindungi kulit Nabi Yunus yang rusak dari panas dan sengatan matahari. Beberapa ulama juga menyebut bahwa tanaman ini mengusir serangga, cocok untuk kulit yang sensitif.
  • Makanan yang lembut dan bergizi:
    Kondisi lemah membutuhkan makanan yang mudah dicerna. Buah labu memiliki tekstur lembut, manis alami, dan kaya nutrisi. Ia membantu memulihkan tenaga tanpa membebani tubuh.
  • Perawatan internal:
    Kajian modern menunjukkan bahwa labu mengandung:

    • Vitamin A, C, dan E yang membantu penyembuhan kulit,
    • zat anti-inflamasi untuk meredakan peradangan,
    • antioksidan yang memperbaiki sel,
    • senyawa yang memperkuat imun,
    • efek antifatigue (anti-kelelahan) yang membantu pemulihan stamina.

    Dengan kata lain, tanaman ini menjadi paket lengkap penyembuhan dari luar dan dalam.

Pemulihan Nabi Yunus bukan hanya soal kembali sehat secara fisik. Ini adalah fase yang menunjukkan bahwa rahmat Allah bekerja secara lembut dan detail—bahkan jenis tanaman pun dipilihkan yang paling sesuai untuk memulihkan tubuh yang baru bangkit dari kegelapan lautan dan kegelapan diri.

Fenomena Unik: Taubat Kolektif Kaum Ninawa

Ketika Nabi Yunus sedang melewati fase pemulihan—baik secara fisik maupun spiritual—sebuah peristiwa langka terjadi jauh di kampung halamannya, Ninawa. Peristiwa yang bukan hanya unik, tetapi satu-satunya dalam sejarah umat manusia: satu bangsa bertobat serentak dan langsung diterima oleh Allah.

1. Pengecualian Teologis: Illā Qauma Yūnus

Surah Yunus ayat 98 menyebut sebuah pertanyaan tajam: mengapa tidak ada satu kota pun yang beriman ketika azab sudah terlihat, lalu imannya itu diterima… kecuali kaum Yunus?

Secara umum, aturan Allah jelas: taubat yang datang setelah seseorang melihat azab di depan mata biasanya tidak diterima. Ini merupakan sunnatullah yang konsisten—seperti kasus Fir’aun, yang baru mengaku beriman ketika sedang tenggelam, namun pengakuannya ditolak.

Namun kaum Yunus adalah pengecualian mutlak. Mereka satu-satunya komunitas yang diberi pengecualian sehingga taubat mereka diterima, walau tanda-tanda azab sudah tampak. Hal ini menandakan bahwa Allah melihat sesuatu yang benar-benar berbeda dalam hati mereka.

2. Apa yang Mereka Lakukan? (Analisis Tafsir)

Tafsir klasik seperti Ibnu Katsir dan riwayat dari Qatadah menggambarkan perubahan besar kaum Ninawa. Setelah Yunus pergi, mereka melihat awan pekat hitam yang menutupi langit kota—tanda awal azab. Di titik itulah mereka sadar: “Apa yang dikatakan Yunus ternyata benar.”

Mereka lalu melakukan taubat besar-besaran—bukan taubat biasa, tetapi taubat total yang melibatkan seluruh penduduk kota. Berikut gambaran lengkapnya:

  • Mereka mencari Nabi Yunus, namun tidak menemukannya.
  • Seluruh penduduk—raja, bangsawan, rakyat kecil—keluar menuju tanah lapang.
  • Mereka memakai pakaian sederhana dan kusut sebagai tanda penyesalan.
  • Mereka memisahkan induk hewan dari anak-anaknya. Suara tangis hewan-hewan ini bercampur dengan tangisan manusia, membentuk suasana penyesalan yang sangat kuat.
  • Mereka menangis, berdoa, memohon ampun, dan terus bertaubat selama empat puluh hari.

Mereka tidak hanya “takut azab”—mereka benar-benar menyesal. Karena kesungguhan itu, Allah mengangkat ancaman azab yang sudah di ambang pintu.

3. Apakah Azab Akhirat Ikut Diangkat? (Diskusi Ulama)

Para mufassir kemudian mendiskusikan apakah pengecualian ini berlaku hanya untuk azab dunia atau juga azab akhirat. Ada dua pandangan besar:

  • Pendapat pertama: hanya azab dunia yang dicabut. Ayat di Surah Yunus menegaskan bahwa Allah mengangkat “azab yang menghinakan di dunia.”
  • Pendapat kedua (lebih kuat): azab dunia dan akhirat sama-sama dicabut. Alasannya, Surah As-Saffat menjelaskan bahwa mereka semua akhirnya beriman—dan dalam Al-Qur’an, ketika kata “beriman” digunakan tanpa syarat, itu menunjukkan keselamatan penuh, termasuk keselamatan akhirat.

Kedua pandangan ini menunjukkan betapa luar biasanya perubahan kaum Ninawa. Mereka tidak hanya lolos dari hukuman dunia, tetapi—menurut banyak mufassir—juga menjadi kaum beriman yang diterima amalnya.

4. Kembalinya Nabi Yunus

Setelah Nabi Yunus pulih dari kondisi sakitnya (bagian sebelumnya), Allah memerintahkannya kembali ke Ninawa. Bisa jadi beliau kembali dengan perasaan campur aduk—malu karena pernah pergi tanpa izin, khawatir akan respons kaumnya, dan takut menghadapi penolakan lagi.

Namun ketika tiba, yang beliau temukan justru sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah dakwah para nabi. Seluruh penduduk kota—sekitar seratus ribu orang atau lebih—telah beriman.

Kesalahan ijtihad Nabi Yunus meninggalkan kaumnya justru memantik dua gelombang taubat besar: taubat pribadinya di perut ikan, dan taubat kolektif kaumnya setelah melihat tanda-tanda azab. Apa yang tampak seperti “kegagalan” justru menjadi jalan menuju keberhasilan dakwah yang sempurna—sesuatu yang tak dicapai satu generasi pun dari umat nabi lain.

Inilah ironi indah yang Allah hadirkan: ketika seorang hamba terpeleset dalam kesabaran, Allah justru mengubahnya menjadi pintu kebaikan yang lebih besar, baik bagi diri sang nabi maupun bagi umatnya.

Akhir Hayat Nabi Yunus

Di bagian terakhir ini kita turun pelan — bukan karena kisahnya kurang menarik, tetapi karena sumber-sumber primer (Al-Qur’an dan hadits shahih) memang memilih berhenti. Al-Qur’an telah menyampaikan pesan utama: taubat, penyerahan, dan rahmat Allah. Itu inti yang harus kita pegang. Setelah itu, kata-kata wahyu menjadi diam, dan kebijaksanaan tradisi ilmiah adalah: ketika wahyu diam, kita juga harus tahu kapan mesti berhenti berbicara.

Batasan Sumber dan Sikap Ilmiah

Penting untuk diketahui: Al-Qur’an dan hadits shahih tidak memberi rincian tentang berapa lama Nabi Yunus hidup setelah kembali ke Ninawa, bagaimana hari-harinya berlalu, atau kapan dan di mana ia wafat. Karena itu, keterangan tentang detail-detail semacam itu sering muncul dari sumber-sumber lain—sering kali berupa Israiliyyat (kisah-kisah dari tradisi Ahli Kitab) atau cerita rakyat yang kemudian masuk ke dalam literatur tafsir dan sejarah.

Para ulama peneliti (muhaqqiqūn) bersikap hati-hati: mereka tidak langsung menerima Israiliyyat sebagai fakta. Kenapa? Karena:

  • Israiliyyat sering tidak punya sanad (rantai periwayatan) yang kuat atau bertentangan dengan prinsip dasar aqidah.
  • Mengisi ‘kosong’ wahyu dengan cerita tak terverifikasi bisa menimbulkan kebingungan: mana yang bagian dari pelajaran ilahi, dan mana yang sekadar legenda budaya.
  • Tujuan studi Islam bukan mengumpulkan anekdot, tetapi memahami pelajaran yang jelas dari wahyu.

Pesan Praktis untuk Pembaca

Apa yang harus kita lakukan sebagai pembaca yang cerdas? Singkatnya:

  • Ambil pelajaran utama yang disampaikan Al-Qur’an: taubat yang tulus, rendah hati, dan kesadaran bahwa pertolongan datang dari Allah.
  • Jangan paksa detail sejarah yang tidak disebutkan wahyu menjadi doktrin. Cerita tambahan boleh diceritakan sebagai hikayat, tetapi jangan dijadikan pegangan aqidah.
  • Jika menemukan kisah-kisah menarik dari Israiliyyat, nikmati sebagai bahan renungan budaya—tetapi cek dulu status riwayatnya dan lihat komentar para muhaqqiq sebelum menganggapnya benar.

Kesimpulannya: akhir hidup Nabi Yunus bukan soal mencari fakta biografis yang purna, melainkan menarik napas panjang dari pelajaran yang sudah diberikan—bagaimana seorang manusia bisa tersesat, kembali, dan menjadi saluran rahmat bagi banyak orang. Itu sudah cukup untuk mengubah cara kita memahami kegagalan, taubat, dan kekuatan doa.

Ibrah Besar dari Kisah Nabi Yunus

Setelah seluruh rangkaian kisahnya kita telusuri—dari momen beliau meninggalkan kaumnya, terombang-ambing di laut, ditelan ikan, bertaubat dalam tiga lapis kegelapan, hingga kembali ke Ninawa dan melihat taubat massal kaumnya—ada benang merah yang harus kita bawa pulang. Inilah inti yang membuat kisah Yunus bukan sekadar cerita, tetapi cermin bagi siapa pun yang sedang merasa buntu, tertekan, atau ingin kembali kepada Allah.

1. Allah Tidak Pernah Menutup Jalan Pulang

Nabi Yunus pergi karena kecewa, marah, dan merasa tidak ada harapan. Namun, Allah tidak menutup jalan kembali untuknya. Bahkan, di titik terdalam—dalam perut ikan—jalan pulang itu justru dibuka. Ini mengajarkan bahwa selama hati mau kembali, Allah lebih cepat menerima daripada kita meminta.

2. Doa yang Paling Didengar adalah Doa yang Jujur

Doa “Lā ilāha illā anta subḥānaka innī kuntu minaẓ-ẓālimīn” adalah doa yang tidak berisi permintaan langsung. Ia hanya berupa pengakuan jujur: Allah Maha Suci, dan diri ini yang salah. Kejujuran seperti ini menembus kegelapan apa pun—bahkan kegelapan perut ikan.

3. Kesalahan Tidak Menutup Potensi

Yunus sempat salah langkah. Namun, justru dari titik itulah muncul dua taubat besar: taubat dirinya dan taubat seluruh Ninawa. Kesalahan tidak membatalkan potensi seseorang untuk kembali menjadi hamba yang dicintai Allah. Yang membatalkan potensi adalah keras kepala saat salah.

4. Kadang Allah Tidak Mengubah Situasi, tapi Mengubah Diri Kita Dulu

Yunus tidak langsung dikeluarkan dari perut ikan. Prosesnya dimulai dari perbaikan dirinya terlebih dahulu. Baru setelah itu situasi berubah. Ini mengajarkan bahwa perubahan kondisi sering kali berawal dari perubahan hati.

5. Kesungguhan Mengalahkan Segalanya

Kaum Ninawa adalah satu-satunya kaum yang diterima taubatnya setelah tanda azab muncul. Kenapa? Karena kesungguhan total: doa bersama, penyesalan kolektif, dan hati yang benar-benar luluh. Kesungguhan seperti itu mengalahkan tradisi buruk, pengalaman lampau, bahkan hukum umum tentang azab.

6. Rahmat Allah Selalu Mendahului Murka-Nya

Setiap detail kisah ini, dari ikan hingga labu, dari gelap hingga terang, menunjukkan satu hal: Allah lebih dulu berikan rahmat sebelum hukuman. Bahkan hukuman itu pun sering kali hanya sarana pendidikan, bukan pembinasaan.

Dengan memahami ibrah ini, kita dapat membaca ulang hidup kita sendiri: kegagalan bukan titik akhir, kesalahan bukan kematian spiritual, dan doa tidak pernah sia-sia.


Untuk memperdalam lagi perjalanan iman dan keteguhan para utusan Allah, silakan lanjutkan dengan membaca ulasan lengkap berikut:

Setiap kisah membuka pintu ibrah baru bagi hati yang ingin lebih dekat kepada Allah. Silakan pilih dan lanjutkan membaca.