Kisah Nabi Yusuf Menurut Al-Qur’an, Hadits, dan Tafsir

Kisah Nabi Yusuf ‘Alaihissalam adalah salah satu rangkaian cerita paling menyentuh yang diabadikan dalam Al-Qur’an. Tidak hanya kaya dengan peristiwa dramatis dan mukjizat, kisah ini juga memotret perjalanan batin seorang nabi sejak masa kecil hingga mencapai kedudukan mulia di mata manusia dan Allah. Al-Qur’an bahkan menyebutnya sebagai “ahsanal qashash”—kisah terbaik—karena kelengkapan unsur spiritual, moral, sosial, dan manusiawinya.

Dari kecemburuan saudara-saudaranya, perjalanan penuh ujian antara lembah dan istana, fitnah yang mengguncang harga diri, hingga puncaknya saat beliau memimpin Mesir dengan kebijaksanaan, seluruh episode kisah ini membentuk jalinan naratif yang sangat relevan bagi siapa pun yang sedang mencari makna kesabaran, kejujuran, dan keteguhan iman. Tidak ada bagian yang berdiri sendiri; setiap fase selalu mengantar ke fase berikutnya—seperti anak tangga yang mempersiapkan seseorang menuju kedewasaan spiritual.

Pendekatan yang digunakan dalam artikel ini akan merangkum perjalanan Nabi Yusuf AS berdasarkan Al-Qur’an, Hadits, dan penjelasan para ulama dalam kitab-kitab tafsir klasik.

Daftar Isi

Kedudukan dan Latar Sejarah

Sebelum menyelami alur panjang kehidupan Nabi Yusuf AS, ada satu hal yang perlu kita pahami lebih dulu: mengapa kisah ini begitu istimewa.

Setiap episode hidupnya—dari kecil hingga dewasa—bukan hanya rangkaian peristiwa, tetapi semacam cermin yang memantulkan banyak hal tentang fitrah manusia: kecemburuan, luka batin, ketabahan, dan cara Allah membuka jalan di saat semua pintu seolah tertutup. Untuk menangkap itu dengan jernih, kita mulai dari fondasinya: bagaimana Al-Qur’an memperkenalkan kisah ini, dan dari keluarga mulia mana Yusuf AS berasal.

Ahsan al-Qashash: Kisah Terbaik dalam Kitab Suci

Surah Yusuf bukan sekadar cerita panjang yang menghibur. Ia disebut oleh Allah sebagai “Ahsan al-Qashash”—kisah terbaik. Mengapa “terbaik”? Karena kisah ini tidak hanya menyuguhkan alur dramatis, tetapi juga menghadirkan kedalaman batin yang hanya bisa disentuh oleh orang-orang yang pernah bergumul dalam kesabaran. Ada cinta yang tulus, ada kecemburuan yang melukai, ada fitnah yang merobek harga diri, dan ada masa di mana Allah perlahan membalik keadaan hingga kesedihan berubah menjadi kemuliaan.

Kisah ini seperti perjalanan dari titik paling gelap menuju cahaya, sebuah proses yang menunjukkan bahwa takdir Allah bekerja secara halus—kadang melalui jalan yang tidak kita inginkan, tetapi selalu menuju kebaikan yang lebih besar.

Konteks Pewahyuan: Pelukan Lembut untuk Nabi Muhammad SAW

Untuk merasakan beratnya kisah ini, kita perlu menengok waktu ketika Surah Yusuf turun. Saat itu Rasulullah SAW sedang berada dalam masa tergelap kehidupannya. Tahun itu dikenal sebagai ‘Am al-Huzn—Tahun Kesedihan. Dua orang yang selama ini menjadi penopang hidup beliau pergi satu per satu: paman yang melindunginya dari bahaya, Abu Thalib, dan istri yang menjadi sumber kekuatan emosionalnya, Khadijah RA.

Setelah kehilangan keduanya, tekanan kaum Quraisy meningkat tanpa belas kasihan. Rasulullah SAW bahkan pergi ke Tha’if berharap mendapat perlindungan, tetapi justru disambut dengan lemparan batu dan hinaan. Di saat luka itu masih basah, Allah menurunkan Surah Yusuf—bukan sebagai cerita untuk dibaca, tetapi sebagai penopang batin, seolah Allah berkata:

“Aku melihat air matamu. Aku mendengar keluhmu. Kisah Yusuf adalah untukmu—agar engkau tahu bahwa badai ini bukan akhir.”

Pola kisahnya memang selaras: Yusuf disakiti oleh saudara-saudaranya, Muhammad disakiti oleh kaumnya sendiri. Yusuf difitnah dan dipenjara, Muhammad dihina dan diusir. Tetapi Yusuf akhirnya dimuliakan di bumi, dan Muhammad akan kembali ke Makkah sebagai pemenang pada Fathu Makkah, dengan kalimat yang sama diucapkan Yusuf dulu: “Lā tathrība ‘alaykum al-yawm.”

Dengan kata lain, kisah masa lalu Yusuf adalah bayangan masa depan Muhammad SAW.

Genealogi Emas: Al-Karim ibn al-Karim

Nabi Yusuf AS lahir dari garis keturunan yang memancarkan cahaya. Ia adalah putra seorang nabi, cucu seorang nabi, dan cicit seorang nabi agung: Yusuf bin Ya‘qub bin Ishaq bin Ibrahim ‘alaihimussalam. Ibunya bernama Rahil, dan satu-satunya saudara kandungnya adalah Bunyamin. Sepuluh saudara lainnya adalah saudara tiri.

Nabi Muhammad SAW pernah ditanya tentang siapa manusia paling mulia. Beliau menjawab dengan lembut melalui hadits sahih:

“Yang mulia, putra yang mulia, putra yang mulia, putra yang mulia adalah Yusuf bin Ya‘qub bin Ishaq bin Ibrahim.”

Hadits ini bukan sekadar menyebutkan daftar nama, tetapi menunjukkan kontras besar yang segera akan muncul dalam kisah. Karena meski lahir dari silsilah paling terhormat, Yusuf justru akan dilempar ke sumur, dijual sebagai budak, dan dipenjara dengan tuduhan yang ia tidak lakukan.

Kontras itulah yang menegaskan satu pelajaran penting sejak awal: martabat sejati bukan milik dunia, tetapi anugerah dari Allah. Yusuf mungkin menjadi budak bagi manusia, tetapi di sisi Allah, dialah yang paling mulia di antara mereka semua.

Kenabian Yusuf AS: Mimpi yang Mengawali Segalanya

Dalam Al-Qur’an, kisah Nabi Yusuf AS tidak dimulai dengan kelahirannya, melainkan pada satu momen kecil yang mengubah seluruh jalan hidupnya: sebuah mimpi. Al-Qur’an sengaja membuka kisah ini dari titik tersebut, seolah ingin memberi tahu kita bahwa takdir besar sering datang lewat isyarat yang terlihat biasa—tetapi membawa makna yang jauh lebih dalam.

Ru’ya Seorang Anak: Sebelas Bintang yang Sujud

Pada suatu hari, Yusuf kecil berlari mendatangi ayahnya. Usianya masih belia, tetapi sorot matanya memancarkan sesuatu yang tidak bisa disembunyikan: kegembiraan yang bercampur kebingungan. Ia berkata dengan polos:

“Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan. Kulihat semuanya sujud kepadaku.” (Yusuf: 4)

Ayat ini bukan sekadar laporan tentang mimpi, tetapi jendela pertama menuju masa depan seorang nabi. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ini bukan mimpi biasa, melainkan ru’ya shadiqah—visi yang benar, bagian dari wahyu, dan tanda awal kenabian. Simbolismenya pun jelas: sebelas bintang adalah saudara-saudara Yusuf, matahari adalah ayahnya, dan bulan adalah ibunya.

Sujud yang dilihat Yusuf bukan penyembahan, tetapi bentuk penghormatan yang melambangkan bahwa suatu hari derajat Yusuf akan diangkat tinggi oleh Allah. Dan benar—seluruh kisah panjangnya nanti bermuara pada momen ketika penglihatan ini terwujud.

Sebagian riwayat lama menyebutkan nama-nama bintang itu satu per satu. Namun para ulama menilai detail seperti itu tidak penting. Yang perlu kita tangkap adalah pesannya: sejak kecil Yusuf telah dipilih Allah untuk perjalanan hidup yang tidak biasa.

Peringatan Ayah: Tak Semua Orang Bisa Mendengar Kabar Baik

Nabi Ya’qub AS langsung membaca makna besar di balik mimpi itu. Sebagai seorang nabi dan ayah yang sangat memahami dinamika hati anak-anaknya, ia tahu dua hal: Yusuf adalah anak yang dipilih Allah, dan hadiah ilahi terkadang mengundang kedengkian manusia.

Karena itu beliau menasihatinya dengan lembut namun tegas:

“Hai anakku, jangan ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, nanti mereka akan membuat makar terhadapmu.” (Yusuf: 5)

Ayat ini menunjukkan kecermatan Nabi Ya’qub membaca kondisi rumahnya. Para mufassir menyebutkan bahwa sejak lama saudara-saudara Yusuf menyimpan rasa iri, karena kedekatan Ya’qub dengan Yusuf dan Bunyamin. Mimpi itu, jika terdengar oleh mereka, hanya akan menjadi bahan bakar kecemburuan yang sudah menyala.

Namun, inilah salah satu lapisan terdalam dalam kisah ini: meskipun Ya’qub memperingatkan Yusuf, takdir tetap berjalan. Justru hasad itulah yang menjadi jalan bagi Allah untuk memuliakan Yusuf. Tanpa kecemburuan mereka, tidak ada sumur. Tanpa sumur, tidak ada perjalanan ke Mesir. Tanpa Mesir, tidak ada ujian, penjara, dan akhirnya mimpi raja. Setiap episode yang terasa menyakitkan ternyata adalah jembatan menuju takdir terbaik.

Kisah ini sejak awal mengajarkan bahwa manusia bisa merencanakan keburukan, tetapi Allah menjadikannya pintu menuju kebaikan.

Konspirasi Saudara dan Malam Penuh Kebohongan

Kedengkian yang mereka simpan lama-lama mendidih menjadi rencana jahat. Para saudara berkumpul diam-diam, membahas cara menyingkirkan Yusuf. Ada yang ingin membunuhnya, tetapi salah satu dari mereka—dalam banyak tafsir disebut Yahudza—menawarkan pilihan yang tampak lebih “ringan”: buang saja ke sumur. Biarkan musafir yang lewat menemukannya.

Untuk mengeksekusi rencana itu, mereka harus terlebih dahulu menipu ayah mereka. Maka mereka datang kepada Ya’qub dan memohon agar Yusuf diizinkan bermain bersama mereka. Nabi Ya’qub sebenarnya merasakan keganjilan. Beliau menolak, lalu berkata dengan sedih:

“Aku khawatir ia dimakan serigala sementara kalian lengah.” (Yusuf: 13)

Tanpa disadari, kalimat itulah yang nanti mereka pakai sebagai alasan palsu. Setelah mendapat izin, mereka membawa Yusuf, menenangkan Ya’qub dengan janji palsu, dan begitu jauh dari rumah, mereka melepaskan gamis Yusuf lalu melemparkannya ke dasar sumur yang gelap.

Malam itu mereka pulang sambil pura-pura menangis. Mereka memberikan baju Yusuf yang berlumur darah domba sebagai “bukti.” Namun Nabi Ya’qub melihat kejanggalan itu. Dalam hatinya beliau tahu, ini bukan serigala—ini rekayasa manusia. Meski demikian, beliau tidak membalas dengan kemarahan. Beliau memilih sikap yang paling berat tetapi paling mulia:

“Kesabaran yang indah. Dan Allah-lah yang dimintai pertolongan.” (Yusuf: 18)

Di sinilah kesabaran Ya’qub memulai perannya dalam kisah: sabar yang tidak pasrah, sabar yang tetap berdoa, sabar yang tetap percaya bahwa Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya.

Dari Kegelapan Sumur Menuju Mesir

Ketika seorang anak terlempar ke titik paling gelap dalam hidupnya—sendirian, terluka, dan jauh dari semua yang ia kenal—di situlah biasanya manusia runtuh. Namun justru pada titik seperti itulah, dalam kisah para nabi, cahaya pertama biasanya turun. Dan itulah yang terjadi pada Yusuf AS di dasar sumur.

Wahyu Pertama di Kegelapan Sumur

Al-Qur’an menggambarkan momen ini dengan sangat singkat, tetapi penuh daya hantam. Saat saudara-saudaranya sepakat membuangnya, dan Yusuf benar-benar jatuh ke dasar sumur, Allah langsung menurunkan wahyu:

“Dan Kami wahyukan kepadanya: ‘Engkau kelak akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sementara mereka tidak menyadarinya.’” (Yusuf: 15)

Para mufassir seperti Ibnu Katsir, As-Sa‘di, dan Al-Muyassar menjelaskan bahwa wahyu ini bukan sekadar kalimat penghiburan. Ia membawa tiga fungsi:

  • Penenang (tathmīn): hati Yusuf yang ketakutan langsung ditenangkan dengan jaminan ilahi bahwa ia tidak sendirian.
  • Peneguhan (tathbīt): inilah momen pertama kenabiannya mulai berdenyut; sambungan langit terbuka justru saat semua ikatan duniawi diputus.
  • Nubuat: bukan hanya janji “kamu akan selamat.” Allah memberi skenario lengkap—Yusuf akan bertemu kembali dengan saudara-saudaranya, dalam posisi yang berbalik total: dia mulia, mereka butuh.

Jika Musa AS memulai misinya dari Madyan dan Muhammad SAW dari Gua Hira, maka Yusuf memulainya dari dasar sumur. Isolasi itu dipaksa, tetapi justru itulah fase khalwah yang memutus ketergantungannya pada makhluk dan mengalihkannya sepenuhnya kepada Allah.

Dengan wahyu itu, gelapnya sumur berubah menjadi ruang transisi: dari seorang anak terluka menjadi seorang nabi yang siap menjalani rute takdirnya.

Dari Sumur ke Pasar Budak

Tidak lama setelah wahyu itu turun, roda takdir mulai bergerak. Sekelompok kafilah yang sedang melintasi daerah itu berhenti di dekat sumur untuk mengambil air. Ketika penimba air menurunkan timbanya, ia terkejut melihat seorang anak memegang tali ember. Ia berteriak:

“Wah, kabar baik! Ada seorang anak laki-laki!” (Tafsir Yusuf: 19)

Yusuf ditarik keluar dari sumur—bukan untuk dibebaskan, tetapi untuk dijadikan komoditas. Para pedagang menyembunyikannya sebagai bidhā‘ah, barang dagangan. Ia dibawa ke Mesir dan dijual murah, padahal wajahnya tampan, akhlaknya lembut, dan auranya memikat.

Tetapi kemuliaan sejati memang tidak diukur dari harga. Karena sekalipun dijual seperti barang, hakekat Yusuf tetap “al-karīm ibn al-karīm”—yang mulia, anak dari para nabi.

Masuk ke Rumah Al-Aziz: Awal dari Ujian Baru

Yusuf akhirnya dibeli oleh seorang pembesar Mesir yang disebut Al-Qur’an sebagai Al-‘Azīz—menteri tinggi kerajaan. Para ulama menyebut namanya Qithfir atau Itfir. Begitu tiba di rumahnya, Al-‘Azīz langsung melihat sesuatu yang berbeda dari anak ini. Ia berkata kepada istrinya:

“Perlakukan dia dengan baik. Bisa jadi ia bermanfaat untuk kita, atau kita jadikan ia sebagai anak.” (Yusuf: 21)

Ayat itu menandai permulaan babak baru. Yusuf masuk ke rumah orang terpandang, tetapi bukan sebagai tamu, melainkan sebagai pelayan. Namun Allah sudah memberi isyarat: Mesir bukan akhir penderitaan, tetapi panggung yang sedang dipersiapkan.

Di sinilah pelan-pelan kisah Yusuf bergeser dari tragedi keluarga menuju kisah pertumbuhan spiritual, ujian moral, dan akhirnya kemuliaan yang Allah janjikan lewat mimpinya. Setiap langkah, meski terlihat seperti penurunan status, sebenarnya adalah anak tangga menuju terangkatnya derajat.

Fitnah Besar: Godaan, Kesucian, dan Ketampanan

Di rumah Al-‘Aziz, Yusuf tumbuh dari anak sumur menjadi pemuda yang matang. Usianya masuk fase asyuddah—masa kuat dan dewasa—dan Allah memberinya dua hal yang jarang menyatu dalam satu diri sekaligus: hikmah (kematangan ruhani) dan ilmu, serta ketampanan yang melebihi standar manusia biasa. Semua ini menjadi modal besar, tetapi juga menjadi pintu ujian yang luar biasa berat.

Godaan Istri Al-‘Aziz: Fitnah yang Datang dari Dalam Rumah

Ujian terbesar itu datang bukan dari luar, tetapi dari rumah yang selama ini melindunginya. Istri Al-‘Aziz, wanita terpandang Mesir, mulai terpikat oleh ketampanan Yusuf. Al-Qur’an tidak menyebut namanya, hanya menyebutnya sebagai Imra’at al-‘Aziz. Nama “Zulaikha” yang populer dalam budaya Islam lebih banyak berasal dari riwayat Israiliyyat dan karya sastra Persia; bukan dari Al-Qur’an atau hadits sahih.

Ketertarikannya semakin memuncak hingga berubah menjadi obsesi. Al-Qur’an menangkap suasana itu dengan detail:

“Wanita yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya, dan dia menutup pintu-pintu rapat-rapat, seraya berkata: ‘Marilah ke sini.’” (Yusuf: 23)

Kata gallaqat, “menutup rapat-rapat”, menunjukkan betapa tersusunnya rencana ini. Semua pintu dikunci, suasana diatur, dan Yusuf dikurung seorang diri bersama wanita yang memiliki kekuasaan penuh atas dirinya. Ujian semacam ini bukan hanya godaan fisik; ia adalah godaan status, tekanan, dan dominasi.

Namun Yusuf menjawab dengan ketegasan yang jernih:

“Aku berlindung kepada Allah. Sesungguhnya Tuhanku telah memperlakukanku dengan baik.” (Yusuf: 23)

Inilah puncak ‘ismah—keterjagaan para nabi. Yusuf tidak tunduk pada rayuan, tidak terpancing oleh keadaan, dan tidak menggunakan posisinya sebagai korban untuk membenarkan pelarian moral. Ia memilih jalan takut kepada Allah meski ia tidak punya siapa pun untuk menolongnya.

Misteri “Hamma”: Lintasan atau Niat? (Analisis Ayat 24)

Ayat berikutnya adalah salah satu ayat yang paling banyak dibahas dalam tafsir:

“Wanita itu benar-benar berkehendak kepadanya. Dan Yusuf pun (akan) berkehendak kepadanya, sekiranya ia tidak melihat bukti dari Tuhannya…” (Yusuf: 24)

Sekilas terlihat seolah Yusuf hampir jatuh dalam dosa. Tetapi ulama tafsir besar—At-Tabari, Al-Qurtubi, Ibnu Katsir—telah meluruskan maknanya:

  • Hamm wanita itu adalah tekad penuh.
  • Hamm Yusuf hanyalah lintasan manusiawi—sekilas, tanpa niat, tanpa langkah. Bukan dosa, bukan keinginan yang dipilih.
  • Burhān Rabbih (bukti dari Tuhannya) adalah intervensi ilahi yang memutus lintasan itu sebelum berubah menjadi keinginan. Wujud Burhān itu beragam dalam riwayat: ada yang mengatakan ia melihat wajah ayahnya, ada yang mengatakan ayat yang bercahaya, ada yang mengatakan ilham kenabian yang menyala. Yang pasti: Allah langsung turun tangan.

Jadi ayat ini bukan celah untuk menyerang kesucian Yusuf, tetapi justru bukti bahwa Allah melindunginya dari dosa besar maupun kecil. Godaan itu nyata, tetapi perlindungan Allah lebih nyata.

Melihat penolakan Yusuf, keduanya berlari menuju pintu—Yusuf untuk kabur, sang wanita untuk menahan. Gamis Yusuf ditarik dari belakang hingga robek. Dan tepat saat pintu terbuka, suami wanita itu muncul di hadapan mereka.

Jamuan Para Wanita Mesir: Ketika Keindahan Yusuf Menjadi Bukti

Tidak lama setelah insiden itu, rumor menyebar. Wanita-wanita bangsawan Mesir mencemooh Istri Al-‘Aziz karena tergoda oleh pelayannya. Merasa direndahkan, ia menyusun strategi balasan.

Ia mengundang mereka ke sebuah perjamuan mewah, memberikan masing-masing pisau, dan ketika suasana telah tepat, ia memanggil Yusuf:

“Ukhruj ‘alayhinna — keluarlah di hadapan mereka.”

Ketika Yusuf muncul, Al-Qur’an menggambarkan reaksi mereka:

“Mereka terpesona dan (tanpa sadar) melukai tangan mereka sendiri. Mereka berkata: ‘Maha Sempurna Allah, ini bukan manusia; ini hanyalah malaikat yang mulia.’” (Yusuf: 31)

Dengan sekali langkah Yusuf ke ruangan itu, seluruh narasi berubah. Yang tadinya menjatuhkan Istri Al-‘Aziz berubah menjadi penjelasan yang membungkam. Reaksinya jelas: bukan semata-mata ia yang lemah—ketampanan Yusuf memang berada di luar nalar manusia.

“Setengah Ketampanan”: Penjelasan Hadits dan Maknanya

Deskripsi para wanita Mesir ini selaras dengan hadits sahih dalam Shahih Muslim. Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa ketika beliau bertemu Yusuf di langit ketiga, beliau melihat:

“Yusuf telah diberikan setengah dari seluruh ketampanan.” (HR. Muslim)

Para ulama menjelaskan bahwa maknanya bukan sekadar nisbah matematis, tetapi gambaran betapa stabil, simetris, dan sempurnanya ciptaan Yusuf. Ada yang menafsirkan bahwa Yusuf mendapatkan separuh keindahan Nabi Adam AS, dan separuh sisanya dibagi untuk seluruh manusia. Ada pula yang menegaskan bahwa Yusuf memiliki “jamāl” (keindahan fisik), sedangkan Nabi Muhammad SAW memiliki “kamāl”—paduan keindahan, wibawa, dan kesempurnaan akhlak.

Jadi jika wanita-wanita Mesir melukai diri tanpa sadar karena takjub, itu bukan bentuk kelemahan mereka, tetapi indikator betapa luar biasanya rupa Yusuf. Ujian berat dalam kisah ini adalah bagaimana Yusuf—dengan semua kelebihannya—tetap berdiri tegak di bawah godaan yang bagi manusia biasa nyaris tak mungkin ditolak.

Dakwah dan Kematangan: Saat Yusuf Memilih Penjara daripada Maksiat

Setelah insiden jamuan wanita-wanita bangsawan Mesir, fitnah terhadap Yusuf bukannya mereda—justru semakin memanas. Istri Al-‘Aziz merasa posisinya semakin kuat: para wanita yang tadinya mencemooh kini mengakui betapa berat godaan yang ia hadapi. Tetapi bagi Yusuf, situasi justru menjadi lebih sempit. Ia sekarang bukan hanya diburu oleh satu wanita, melainkan oleh sekelompok bangsawan yang terpikat oleh ketampanannya. Di tengah tekanan seperti itu, keputusan Yusuf menunjukkan kedewasaan spiritual yang luar biasa.

“Penjara Lebih Aku Sukai”: Keputusan yang Mengubah Arah Hidupnya

Dihadapkan pada pilihan antara tunduk pada maksiat atau kehilangan kebebasan, Yusuf memilih sesuatu yang tidak pernah terlintas di pikiran manusia biasa. Ia tidak meminta jalan pintas, tidak meminta keadaan berubah, melainkan memohon agar agamanya tetap terjaga:

“Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka…” (Yusuf: 33)

Di balik doa itu ada keberanian yang tenang: lebih baik dikurung tubuhnya daripada dikurung jiwanya oleh dosa. Para pembesar Mesir sebenarnya tahu Yusuf tidak bersalah—buktinya gamis yang robek dari belakang, kesaksian wanita-wanita Mesir, dan keterusterangan Yusuf. Tetapi untuk menjaga reputasi istana, mereka memutuskan untuk menjadikannya kambing hitam. Maka Yusuf dipenjara bukan karena kesalahan, tetapi karena integritasnya terlalu mengancam bagi kekuasaan mereka.

Dakwah dari Balik Jeruji: Ketika Penjara Menjadi Ruang Belajar

Penjara, bagi Yusuf, bukan ruang gelap yang mematikan harapan; justru menjadi panggung baru dakwah. Di tempat itulah ia bertemu dua tahanan lain—seorang juru minum raja dan seorang juru roti. Keduanya dihantui mimpi dan mencari seseorang yang mampu menafsirkannya.

Mereka mendatangi Yusuf sambil berkata:

“Kami melihatmu termasuk orang-orang yang berbuat baik.” (Yusuf: 36)

Inilah momen di mana kecerdasan dakwah Yusuf terlihat dengan sangat jelas. Ia tahu bahwa mereka datang karena mimpi, tetapi yang mereka butuhkan lebih besar dari sekadar tafsir. Maka Yusuf mengubah percakapan itu menjadi ruang untuk bicara tentang Tauhid. Ia menjelaskan sumber ilmunya, membangun kepercayaan, lalu melempar pertanyaan retoris yang menggugah:

“Manakah yang lebih baik: tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu atau Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (Yusuf: 39)

Baru setelah menata pondasi iman, beliau menafsirkan mimpi mereka. Juru minum akan bebas dan kembali mengabdi kepada raja, sedangkan juru roti akan dihukum mati. Kedua tafsir itu benar-benar terjadi, dan dari sinilah takdir Yusuf bergerak menuju bab berikutnya.

Penundaan yang Sarat Hikmah (Tafsir Ayat 42)

Sebelum juru minum itu bebas, Yusuf menitip satu pesan sederhana:

“Sebutkanlah keadaanku kepada tuanmu (Raja).” (Yusuf: 42)

Yusuf berharap kebenarannya sampai ke telinga raja. Namun begitu pelayan itu bebas, ia larut dalam kenyamanan istana dan lupa. Al-Qur’an mencatat:

“Lalu setan membuatnya lupa untuk menyebutkan (perkara Yusuf) kepada tuannya. Maka Yusuf pun tetap tinggal di penjara beberapa tahun lamanya.” (Yusuf: 42)

Para ulama menjelaskan bahwa bidh‘a sinīn (beberapa tahun) berarti antara tiga sampai sembilan tahun. Ada dua penjelasan besar tentang ayat ini:

  • Pendapat mayoritas: yang lupa adalah si pelayan. Setan membuatnya lalai menyampaikan pesan Yusuf.
  • Pendapat minoritas: yang lupa adalah Yusuf—yakni lupa untuk tawakal total, karena sekejap berharap kepada manusia, bukan kepada Allah. Maka Allah “mendidiknya” dengan menunda kebebasannya.

Kedua tafsir ini tidak bertentangan. Yang pertama menjelaskan sebab di permukaan; yang kedua menjelaskan hikmah di kedalaman. Allah ingin Yusuf keluar dari penjara bukan karena rekomendasi seorang pelayan, tetapi karena wibawa wahyu dan kehendak-Nya sendiri. Penundaan itu bukan hukuman, tetapi cara Allah menyempurnakan keteguhan hati Yusuf sebelum ia memasuki tahap terbesar dalam hidupnya: menjadi pemimpin Mesir dan penyelamat umat.

Awal Kekuasaan: Hafīẓun ‘Alīm (Penjaga yang Berpengetahuan)

Setelah bertahun-tahun menjalani hari-hari yang sunyi di penjara, masa penantian Yusuf akhirnya mencapai titik baliknya. Bukan karena lobi seorang pelayan, bukan pula karena belas kasihan para pembesar. Pembebasan itu datang melalui sesuatu yang jauh lebih besar: sebuah krisis nasional yang mengguncang istana dan seluruh Mesir. Dari sinilah jalan menuju kekuasaan dibuka oleh Allah, bukan oleh manusia.

Takwil Mimpi Raja: Saat Negara Membutuhkan Seorang Visioner

Di tengah situasi politik yang stabil tetapi rapuh, Raja Mesir—yang dalam Al-Quran disebut al-Malik (berbeda dari gelar “Fir’aun” pada zaman Musa)—mengalami mimpi yang membuatnya gelisah. Ia melihat tujuh sapi gemuk dimakan oleh tujuh sapi kurus, lalu tujuh bulir gandum hijau bersanding dengan tujuh bulir gandum kering. Para penasihat istana kehabisan nalar. Para ahli sihir, pendeta, dan cendekiawan kerajaan semuanya menyerah. Mereka hanya berkata:

“Itu hanyalah mimpi kacau (adhgāṡu aḥlām). Kami tidak pandai menakwilkan mimpi seperti itu.” (Yusuf: 44)

Pada saat itulah, pelayan yang dahulu diselamatkan oleh takwil Yusuf akhirnya teringat. Setelah bertahun-tahun larut dalam kenyamanan istana, ingatan itu kembali menghantamnya. Ia berkata kepada raja, “Utuslah aku; aku tahu orang yang bisa menafsirkannya.”

Di penjara, sang pelayan menyampaikan mimpi tersebut. Yusuf tidak menyinggung kelalaian masa lalu. Tidak ada sindiran, tidak ada dendam. Beliau langsung memberikan analisisnya—dan di sinilah kejeniusan kenabian itu tampak terang: tidak hanya menafsirkan mimpi, tetapi menyusun strategi nasional yang detail.

“Tanamlah tujuh tahun sebagaimana biasa. Simpanlah hasil panen dalam bulirnya, kecuali sedikit untuk makan. Lalu akan datang tujuh tahun yang sangat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan…” (Yusuf: 47–48)

Singkat, padat, tetapi sangat teknis. Yusuf berbicara seperti ekonom negara, agronom, sekaligus pemimpin yang memikirkan keselamatan rakyat. Dari visi inilah Mesir akan terselamatkan dari bencana.

Eksonerasi: Yusuf Menolak Bebas Tanpa Nama yang Dipulihkan

Raja terpukau. Tanpa ragu ia memerintahkan, “I’tūnī bih!”—“Bawa dia kepadaku!”. Tetapi di sinilah terjadi adegan yang mengejutkan. Ketika utusan kerajaan datang membawa kabar pembebasan, Yusuf menolak keluar begitu saja. Baginya, kebebasan tanpa kemuliaan hanyalah bentuk baru dari ketidakadilan.

Beliau berkata kepada utusan:

“Kembalilah kepada tuanmu, dan tanyakan bagaimana keadaan wanita-wanita yang telah melukai tangan mereka…” (Yusuf: 50)

Permintaan itu bukan sekadar klarifikasi; itu adalah tuntutan tazkiyatun-nafs (pembersihan nama). Yusuf menolak keluar sebagai “narapidana yang dibebaskan raja”. Ia ingin keluar sebagai orang yang suci dari tuduhan, sebagai sosok yang layak dipercaya rakyat. Tidak ada pemimpin yang kuat bila reputasinya keruh.

Raja pun melakukan penyelidikan. Para wanita bangsawan dipanggil. Di hadapan raja, mereka akhirnya mengakui:

“Kami tidak mengetahui keburukan apa pun darinya.”

Dan puncaknya, Istri Al-‘Aziz berkata:

“Sekarang jelaslah kebenaran. Akulah yang menggoda dia. Sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.” (Yusuf: 51)

Setelah namanya dipulihkan secara sempurna—dengan pengakuan publik dan legal—barulah Yusuf melangkah keluar dari penjara. Ia keluar bukan sebagai orang yang dikasihani; ia keluar sebagai sosok yang dimuliakan.

Hafīẓun ‘Alīm: Standar Emas Kepemimpinan Publik

Ketika Yusuf berdiri di hadapan raja, posisinya sudah berbeda. Raja melihatnya bukan sebagai tawanan, tapi sebagai calon negarawan. Ia berkata:

“Mulai hari ini engkau orang yang berkedudukan tinggi dan sangat dipercaya (makīnun amīn).” (Yusuf: 54)

Di titik ini, Yusuf tahu bahwa Mesir sedang menuju krisis besar. Jika ia diam, rakyat akan binasa. Maka ia menawarkan diri:

“Jadikanlah aku pengelola perbendaharaan negeri. Sesungguhnya aku adalah Hafīẓ (penjaga yang amanah) dan ‘Alīm (ahli, berpengetahuan).” (Yusuf: 55)

Para ulama menjelaskan bahwa ini bukan ambisi jabatan (thalab al-wilāyah), melainkan tuntutan maslahat. Yusuf satu-satunya yang memahami krisis itu—visi, ilmu manajemen, dan moralitasnya bertemu dalam satu titik. Ia menyebut dua syarat abadi seorang pemimpin:

  • Hafīẓ: jujur, anti-korupsi, amanah, mampu menjaga aset publik.
  • ‘Alīm: kompeten, ahli di bidangnya, paham teknis pemerintahan dan ekonomi.

Raja menyetujui. Yusuf pun diangkat sebagai bendahara agung—jabatan setingkat perdana menteri ekonomi. Ia menggantikan posisi Al-‘Aziz sebelumnya dan menjadi tokoh sentral yang mengatur logistik, pangan, dan stabilitas Mesir menghadapi bencana bertahun-tahun.

Manajemen Krisis dan Ketahanan Pangan

Setelah kepercayaan penuh diberikan kepadanya, Yusuf memasuki fase baru yang jauh lebih besar daripada sekadar memimpin departemen negara. Beliau kini berada di tengah jantung administrasi Mesir, mengelola krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Inilah bukti bahwa kenabian tidak hanya berbicara tentang mimbar dan dakwah spiritual, tetapi juga tentang kecerdasan ekonomi, ketahanan pangan, dan kemampuan menyelamatkan jutaan nyawa. Dari titik ini, rencana jangka panjang yang beliau sampaikan kepada raja mulai diterapkan satu per satu.

Strategi Ekonomi Nabi Yusuf

Mesir memasuki tujuh tahun masa subur, dan Yusuf bergerak cepat. Beliau meningkatkan produksi pangan secara masif, mengubah seluruh negeri menjadi mesin agrikultur yang terkelola rapi. Instruksinya tegas: simpan gandum fī sunbulihī—dengan tangkainya. Teknik ini bukan sekadar anjuran pertanian, tetapi strategi ilmiah yang menjaga bulir tetap awet, tahan hama, dan bisa disimpan bertahun-tahun. Para ahli tafsir dan sejarawan menyebut langkah ini sebagai inovasi cerdas yang jauh melampaui pengetahuan zamannya.

Di bawah kepemimpinannya, lumbung-lumbung nasional (khazā’in) dibangun di seluruh wilayah Mesir. Ia merancang sistem penyimpanan yang bukan hanya berskala besar, tetapi juga terstandarisasi. Ketika masa subur berakhir dan tujuh tahun paceklik mulai menggigit, Mesir tidak panik atau goyah—karena cadangan pangan telah ditata, dihitung, dan dijaga secara ketat.

Saat negara-negara tetangga mulai kelaparan, Mesir justru berdiri sebagai pusat distribusi pangan kawasan. Yusuf tidak hanya menyelamatkan Mesir, tetapi juga kafilah-kafilah asing dari Kanaan, Syam, dan wilayah sekitarnya. Distribusi berjalan dengan asas ‘adl (keadilan), sehingga pasokan tidak jatuh dalam monopoli kelompok tertentu atau permainan harga spekulan.

Analisis modern tentang kebijakan Yusuf menunjukkan kecanggihan luar biasa. Beliau tidak meminta jabatan sebagai “Menteri Pertanian”, tetapi sebagai pengelola perbendaharaan (‘alā khazā’in al-ardh). Artinya, ia menangani manajemen pangan sekaligus moneter. Strateginya mirip dengan konsep “resi gudang” modern: rakyat yang menitipkan gandum mendapatkan bukti penyimpanan yang berfungsi sebagai alat tukar. Aset riil—gandum—membackup nilai resi tersebut, sehingga ekonomi tetap stabil meski terjadi hiperinflasi pangan.

Yusuf bukan hanya nabi dengan visi, tetapi juga ekonom negara yang menguasai ilmu perencanaan jangka panjang, manajemen logistik, dan kebijakan fiskal. Inilah wujud nyata dari gelarnya: Hafīẓun ‘Alīm.

Paceklik Quraisy: Gema Historis dalam Hadits Shahih

Menariknya, krisis tujuh tahun yang dikelola oleh Yusuf tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi juga menjadi model spiritual bagi Nabi Muhammad SAW. Dalam salah satu riwayat paling autentik dalam Shahih Bukhari, Rasulullah berdoa agar Allah menimpakan kepada Quraisy tujuh tahun kelaparan seperti yang menimpa umat di masa Yusuf—sebagai disiplin terhadap kekerasan dan penindasan mereka.

Doa itu dikabulkan. Kota Makkah dilanda paceklik begitu dahsyat hingga orang-orang memakan tulang belulang dan bangkai. Kelaparan membuat pandangan mereka berbayang kabut (dukhan), yang oleh sebagian mufassir dihubungkan dengan ayat dalam Surah Ad-Dukhan. Kesombongan Quraisy akhirnya luluh oleh bencana yang mereka anggap mustahil terjadi sebelumnya.

Hadits ini membuka dua dimensi teologis yang dalam. Di era Yusuf, paceklik adalah musibah alamiah—ujian yang bisa dikelola dengan ilmu, integritas, dan kepemimpinan. Yusuf meresponsnya dengan strategi dan ketahanan. Namun di era Nabi Muhammad SAW, paceklik menjadi bentuk ‘adhab (hukuman) bagi kaum yang membangkang.

Satu fenomena alam, dua makna spiritual. Bagi hati yang tunduk, ia adalah ujian kesabaran. Bagi hati yang keras, ia menjadi tamparan Tuhan. Dari sinilah kita belajar bahwa makna sebuah peristiwa tidak hanya ditentukan oleh apa yang terjadi, tetapi oleh siapa yang mengalaminya dan bagaimana kondisi spiritual mereka.

Terwujudnya Takdir: Reuni Keluarga

Setelah fase panjang pengelolaan ekonomi dan distribusi pangan, alur besar takdir yang pernah diisyaratkan lewat mimpi masa kecil Yusuf mulai bergerak menuju puncaknya. Paceklik di negeri Syam—khususnya Kanaan—memaksa keluarga Nabi Ya’qub mencari bantuan ke Mesir. Inilah titik ketika seluruh helai peristiwa yang tampak acak selama puluhan tahun mulai tersusun menjadi satu pola ilahi yang sempurna.

Pertemuan dan Pengenalan

Saudara-saudara Yusuf datang ke istana Mesir sebagai para pembeli gandum, bukan sebagai pelaku kejahatan masa lalu. Mereka berdiri di hadapan seorang pejabat tinggi negara—Al-Azīz—tanpa sedikit pun menyadari bahwa lelaki berjubah otoritas itu adalah anak yang dulu mereka lemparkan ke sumur.

Al-Quran menggambarkan momen itu dengan satu kalimat yang tajam dan sarat ironi: “Yusuf mengenali mereka, sedangkan mereka tidak mengenalinya.”

Di titik inilah, nubuat yang turun di dasar sumur berpuluh tahun lalu mulai berubah dari wacana ghaib menjadi realitas yang kasat mata. Bagi Yusuf, pertemuan itu bukan sekadar nostalgia; itu adalah pintu awal penyembuhan luka keluarga.

Strategi Menahan Bunyamin

Yusuf melayani mereka, menakar gandum dengan adil, tetapi ia menangkap sesuatu yang janggal—saudara kandungnya, Bunyamin, tidak hadir. Ia ingin bertemu adiknya, namun ia juga tahu: satu langkah yang salah bisa menciptakan kecurigaan dan konflik antar-negara. Maka Yusuf menggunakan pendekatan yang lembut, tadbir yang halus dan cerdas.

Ia mensyaratkan: jika ingin kembali membeli gandum, mereka harus membawa Bunyamin. Permintaan itu sederhana namun strategis. Setelah pulang ke Kanaan dan meyakinkan Nabi Ya’qub, kafilah itu kembali, kali ini lengkap dengan Bunyamin.

Untuk menahan sang adik tanpa memicu krisis diplomatik, Yusuf menggunakan skenario yang diilhamkan Allah. Piala kerajaan—siqāyah al-malik—dimasukkan ke karung Bunyamin. Ketika kafilah ditahan, barang itu ditemukan. Mereka diminta menyebutkan hukuman menurut syariat mereka sendiri. Mereka menjawab: “Yang mencuri ditahan sebagai gantinya.”

Di sinilah kayd ilahi bekerja. Yusuf menggunakan hukum keluarga Ya’qub sendiri, bukan hukum Mesir, sehingga keputusan menahan Bunyamin menjadi sah, bukan tuduhan palsu. Ini bukan manipulasi, tetapi bagian dari skrip takdir yang Allah tulis sendiri.

Pemaafan dan Terwujudnya Mimpi

Kehilangan Bunyamin membuat luka lama Nabi Ya’qub kembali menganga. Kesedihan menumpuk hingga penglihatannya memudar—bukan karena putus asa, tetapi karena cinta yang tergores terlalu dalam. Sementara itu, saudara-saudara Yusuf kembali ke Mesir, kini dengan langkah yang berat dan hati yang runtuh.

Pada titik paling rapuh mereka, Yusuf memutuskan untuk membuka identitasnya. Ia berkata, “Tahukah kalian apa yang kalian lakukan terhadap Yusuf dan saudaranya dahulu?”

Mereka terpaku. Seluruh rentang masa lalu tiba-tiba mengejar mereka. “Apakah engkau benar-benar Yusuf?” tanya mereka dengan suara yang nyaris tak keluar dari tenggorokan.

Yusuf mengangguk lembut. “Aku Yusuf, dan ini saudaraku.” Ketakutan melanda mereka. Siapa yang tidak takut? Lelaki yang mereka buang ke sumur, yang mereka duga telah mati, kini berdiri sebagai penguasa sebuah kerajaan besar.

Namun, alih-alih membalas dendam, Yusuf mengeluarkan salah satu deklarasi pemaafan paling agung dalam sejarah kenabian:

“Pada hari ini tidak ada celaan atas kalian. Semoga Allah mengampuni kalian. Dia adalah Yang Maha Penyayang di antara para penyayang.”

Inilah derajat ihsan yang dibicarakan para ulama: membalas meski mampu, tetapi memilih memaafkan karena hati telah bersih oleh tauhid dan takwa.

Setelah itu, Yusuf mengirim gamisnya ke Kanaan. Ketika gamis itu menyentuh wajah Nabi Ya’qub, penglihatannya kembali. Perjanjian keluarga ini pun memasuki babak baru: migrasi. Ya’qub, ibu (atau bibi) Yusuf, dan seluruh keluarga besar pindah ke Mesir.

Di puncak narasi Ahsan al-Qasas, seluruh keluarga berdiri di ruang megah istana. Yusuf menaikkan ayah dan ibunya ke atas singgasana dan seluruh keluarga melakukan sujud penghormatan—sujud tahiyyah—sebagaimana syariat para nabi terdahulu.

Pada saat itu, Yusuf berkata: “Inilah ta’wil mimpiku dahulu. Tuhanku telah menjadikannya kenyataan.”

Dengan satu kalimat itu, seluruh alur kisah mengunci: dari ru’ya masa kecil, kecemburuan saudara-saudaranya, sumur, pasar budak, rumah Al-Aziz, penjara, hingga istana Mesir. Semuanya ternyata bukan serpihan acak, tetapi rangkaian yang dipintal oleh Qadar untuk menghadirkan hikmah yang hanya terbaca di akhir perjalanan.

Wafat dan Warisan Nabi Yusuf

Setelah seluruh rangkaian takdir mencapai puncaknya—dari sumur, penjara, hingga singgasana—Al-Quran menutup Surah Yusuf dengan doa penyerahan diri yang sangat lembut: sebuah kalimat yang menggambarkan kedewasaan spiritual yang sudah mencapai titik puncak. Namun, perjalanan hidup beliau tidak berhenti di situ. Para sejarawan dan ahli tafsir melengkapi halaman akhir kisah ini melalui riwayat dan catatan tradisi (termasuk Israiliyyat), sehingga kita mendapatkan gambaran utuh tentang detik-detik terakhir kehidupan Yusuf dan bagaimana warisannya bertahan hingga lintas generasi.

Wasiat dan Usia Wafat

Nabi Yusuf hidup panjang di Mesir, memimpin dengan ketenangan seorang nabi dan ketegasan seorang negarawan. Beberapa catatan klasik menyebutkan usia wafatnya sekitar 110 tahun. Setelah Nabi Ya’qub wafat, Yusuf meneruskan kepemimpinan keluarga besar Bani Israil sekaligus memikul amanah negara sebagai sosok yang dipercaya rakyat Mesir.

Menjelang akhir hidupnya, Yusuf menyampaikan sebuah wasiat penting—wasiat yang tidak hanya menghubungkan masa kini dengan masa depan, tapi juga menyambungkan nubuat generasi Ibrahim hingga Musa. Ia mengumpulkan anak-anak Ya’qub dan mengambil sumpah dari mereka. Intinya sederhana namun berat:

“Jika suatu hari Allah mengizinkan kalian keluar dari Mesir, bawa serta jasadku dan makamkan aku di tanah para leluhur: Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub.”

Wasiat ini juga mengonfirmasi nubuat yang pernah disampaikan Ibrahim, bahwa keturunan beliau akan memasuki sebuah masa panjang—qudwah spiritual, perantauan, dan akhirnya kembali ke Tanah yang Dijanjikan. Di titik ini, Yusuf menutup misi kenabiannya sebagai jembatan antara dua zaman: era para patriark (Ibrahim–Ishaq–Ya’qub) dan era kenabian besar berikutnya, Musa.

Analisis Kritis Riwayat Pernikahan dengan Zulaikha

Di tengah narasi populer tentang Nabi Yusuf, ada satu kisah yang sering sekali dikutip: pernikahan beliau dengan Zulaikha. Cerita ini hidup dalam puisi-puisi Persia, kisah-kisah Sufi, hingga kitab tafsir klasik. Namun, untuk memahami statusnya, kita perlu memisahkan romantisme budaya dari informasi yang benar-benar bersumber pada wahyu.

Pertama, Al-Quran tidak pernah menyebut nama istri Al-Aziz. Ia hanya disebut sebagai imra’atul-‘Azīz. Nama “Zulaikha” kemungkinan berasal dari tradisi Israiliyyat atau sastra Persia—bukan dari wahyu. Kedua, tidak ada satu pun hadits shahih yang menyebut bahwa Yusuf menikahinya.

Riwayat-riwayat yang menceritakan hal tersebut—termasuk kisah bahwa Allah mengembalikan kecantikan Zulaikha dan menjadikannya muda kembali—dikategorikan ulama sebagai maskūt ‘anhu: diceritakan sebagai hikayat, bukan sebagai kepastian sejarah.

Agar pembaca mudah memetakan statusnya, berikut tabel ringkasnya:

Peristiwa / Klaim Sumber Primer Sumber Sekunder Status Ulama
Nama istri Al-Aziz adalah “Zulaikha” Tidak ada Disebut Ibnu Katsir, riwayat Israiliyyat Boleh disebut, tidak pasti
Yusuf menikahi Zulaikha Tidak ada Riwayat Ibn Ishaq Israiliyyat; tidak dibenarkan/didustakan
Zulaikha masih perawan (suami impoten) Tidak ada Riwayat Israiliyyat Hikayat tambahan
Yusuf memiliki anak bernama Afrayim & Manasye Tidak ada Riwayat Ahli Kitab Riwayat budaya, bukan dalil

Jadi, apakah Yusuf menikahi Zulaikha? Jawabannya: kita tidak tahu secara pasti. Cerita itu boleh disebut sebagai bagian dari warisan kisah, tetapi tidak boleh diperlakukan sebagai sejarah suci. Pendekatan seperti ini penting agar kita tidak mencampuradukkan keyakinan dengan legenda literer.

Misteri Pemakaman: Sungai Nil dan Pemindahan oleh Nabi Musa

Episode terakhir dari kehidupan Nabi Yusuf justru menjadi salah satu potongan kisah paling menarik dalam tradisi Bani Israil. Setelah wafat, jasad beliau menjadi perebutan di antara berbagai distrik Mesir. Masing-masing ingin memakamkan sang nabi di wilayah mereka, berharap mendapatkan barakah darinya.

Akhirnya disepakati satu solusi yang “netral”: jenazah Nabi Yusuf ditempatkan dalam peti batu dan ditanam di dasar Sungai Nil. Logikanya, aliran Nil akan membawa keberkahan itu ke seluruh penjuru Mesir secara merata. Riwayat seperti ini banyak disebut dalam karya ulama, termasuk oleh Dr. Zulkifli al-Bakri dalam kajian tentang atsar-atsar Israiliyyat.

Jasad itu pun berada di sana selama berabad-abad. Hingga datang masa Nabi Musa. Saat Allah memerintahkan Bani Israil keluar dari Mesir, Musa diberitahu bahwa perjalanan itu tidak boleh dimulai—tidak akan diberkahi—sebelum wasiat Nabi Yusuf dipenuhi: membawa jasadnya kembali ke tanah leluhur.

Masalahnya, tidak ada yang tahu lokasi makam itu. Semua hilang ditelan sejarah. Sampai akhirnya ditemukan seorang wanita tua yang masih menyimpan pengetahuan leluhur. Ia menunjukkan lokasi tepatnya, dan Musa mengangkat peti itu dari dasar Nil, lalu membawanya dalam perjalanan Exodus.

Dengan demikian, wasiat Yusuf pun terpenuhi. Dalam beberapa tradisi, jasadnya diyakini dimakamkan di sekitar Hebron bersama para patriark, atau di satu tempat yang kini dikenal dalam tradisi lokal sebagai Makam Yusuf di dekat Nablus.

Apa pun lokasi pastinya, satu hal jelas: penghormatan terhadap Nabi Yusuf melintasi batas negeri, generasi, dan zaman. Dari Mesir hingga Palestina, dari zaman Ya’qub hingga Musa, warisan beliau selalu berpulang pada satu hal—bahwa keindahan akhlak lebih tinggi daripada kemuliaan jabatan, dan kesetiaan pada wahyu lebih bernilai daripada kejayaan dunia.

Penutup: Ibrah Besar dari Ahsan al-Qasas

Pada akhirnya, kisah Nabi Yusuf bukan ditutup dengan dramanya sumur, getirnya penjara, atau megahnya singgasana Mesir. Kisah ini ditutup dengan satu momen hening: seorang nabi yang berdiri di puncak kejayaan dunia — lalu memilih merendahkan dirinya serendah-rendahnya di hadapan Allah.

Beliau telah berada di puncak segalanya. Mimpinya telah terwujud. Keluarganya telah kembali utuh. Beliau memiliki al-mulk (kekuasaan), memiliki ta’wīl al-aḥādīṡ (ilmu penafsiran mimpi), dihormati rakyat, diakui raja, dicintai keluarga. Jika ada manusia yang secara duniawi “sudah lengkap”, maka itulah Yusuf.

Namun ketika seseorang yang telah mencapai segalanya membuka isi hatinya kepada Allah, permintaannya justru membuat kita terdiam:

“Tawaffanī Musliman wa al-ḥiqnī biṣ-ṣāliḥīn.”
Wafatkanlah aku dalam keadaan berserah diri kepada-Mu, dan pertemukan aku bersama orang-orang yang saleh. (QS. Yusuf 12:101)

Di sinilah letak puncak pelajaran spiritual surah ini. Nabi Yusuf tidak meminta jabatan yang lebih tinggi, umur yang lebih panjang, atau harta yang lebih banyak. Yang beliau minta hanyalah akhir yang bersih — iman yang tetap utuh sampai detik terakhir. Ini bukan pesimisme. Ini kejernihan visi seorang nabi. Setelah segala gelombang hidup terlewati, beliau tahu bahwa ujian terakhir bukanlah sumur, bukan penjara, bukan godaan, bukan kekuasaan. Ujian terakhir adalah bagaimana seseorang kembali kepada Allah.

Doa ini juga mengajarkan satu hal yang amat manusiawi tetapi sering terlupakan: karier bisa sampai puncak, tapi iman harus sampai garis akhir. Orang bisa menavigasi politik istana, ekonomi krisis, dan intrik keluarga, namun tetap saja gagal jika ia tergelincir di detik terakhir. Karena itu, Nabi Yusuf menutup seluruh kisahnya dengan satu permohonan yang menohok: selamatkan aku di akhir.

Inilah inti dari Ahsan al-Qasas — kisah terbaik — bukan karena dramanya, tetapi karena visinya. Yusuf mengajarkan bahwa manusia bisa saja dipuji oleh jutaan orang, tetapi hanya penilaian Allah yang akhirnya menentukan. Manusia bisa duduk di singgasana, tetapi hanya satu tahta yang benar-benar penting: kedekatan dengan-Nya.

Dan pelajaran pamungkasnya sangat sederhana, tetapi menghujam: jika seorang nabi yang telah mencapai segalanya masih takut kehilangan imannya, bagaimana dengan kita?

Maka, seperti seluruh nabi yang lain, Yusuf mengajak kita untuk menapaki perjalanan panjang hidup ini dengan satu tujuan yang tidak boleh tergeser: menjaga iman hingga napas terakhir. Di situlah Husnul Khātimah — mahkota yang tidak bisa dibeli oleh kerajaan mana pun.


Jika kisah Nabi Yusuf membuatmu melihat ulang cara kerja takdir, kesabaran, dan keteguhan iman, maka kisah Nabi Nuh dengan seluruh perjuangannya menghadapi kaumnya selama berabad-abad—akan membuka lapisan lain tentang keteguhan dan visi jangka panjang seorang nabi. Bersama para nabi lainnya, setiap kisah membawa bab yang berbeda, nuansa yang berbeda, dan pelajaran yang berbeda — tetapi semuanya menuju satu arah: mengenal Allah dengan lebih jernih dan mendalam.

Lanjutkan membaca seri lengkap Kisah Para Nabi di nahwu.id — tempat di mana narasi Qur’ani disajikan secara ringan, rapi, dan mudah dipahami tanpa mengurangi otoritas ilmiahnya. Mulai dari Adam hingga Isa, semuanya terangkum dalam gaya bertutur yang renyah dan relevan.