Pasukan Bergajah dalam Surah Al-Fīl

Kisah Ashab al-Fil merupakan peristiwa besar yang menjadi tanda kekuasaan Allah sebelum diutusnya Nabi Muhammad ﷺ.

Peristiwa ini terjadi pada tahun yang kemudian dikenal sebagai ‘Ām al-Fīl — tahun gajah — di mana pasukan Abrahah al-Ashram dari Yaman mencoba menyerang Ka‘bah dengan kekuatan besar memimpin pasukan bergajah yang belum pernah dihadapi penduduk Mekah sebelumnya.

Al-Qur’an mengabadikan kisah pasukan bergajah ini dalam Surah Al-Fil sebagai pelajaran abadi tentang kehancuran kesombongan manusia di hadapan kekuasaan Ilahi.

Alam tara kayfa fa‘ala rabbuka bi-ashhābil fīl
“Tidakkah engkau memperhatikan bagaimana Tuhanmu memperlakukan pasukan bergajah itu?” (QS. Al-Fīl: 1)

Berikut penjelasan cerita ashabul fiil menggunakan riwayat Maqātil bin Sulaimān sebagai narasi utama, dan riwayat Ibnu ‘Abbās, as-Suddī, serta al-Hasan al-Bashrī sebagai varian pendukung.

1. Latar Sejarah dan Arogansi Abrahah

Menurut Maqātil bin Sulaimān, ayat ini turun untuk mengingatkan Rasulullah ﷺ atas kuasa Allah dalam menjaga rumah-Nya yang suci dari upaya penghancuran pasukan Abrahah.

Abrahah bin asy-Syarahbīl, seorang pemimpin Yaman yang diangkat oleh orang Habasyah, membangun gereja megah bernama al-Qullays dengan harapan manusia akan beralih berhaji ke sana, bukan ke Ka‘bah. Namun, ketika sekelompok pemuda Quraisy melintasi daerah itu dalam perjalanan menuju Habasyah, mereka berhenti di sekitar gereja tersebut. Saat berangkat, mereka meninggalkan api unggun yang belum padam. Angin bertiup kencang hingga membakar seluruh bangunan gereja.

Kabar ini membuat an-Najāshī marah besar. Para pembesar Arab dari Yaman, di antaranya Abrahah, Abū Yaksūm al-Kindī, dan Ḥijr bin Syarahbīl, memanfaatkan amarah sang raja untuk mendorongnya menyerang Ka‘bah sebagai balasan. Mereka berkata: “Kami akan menaklukkan Mekah, menghancurkan rumah ibadah mereka, dan memuliakan gereja milikmu.” Maka berangkatlah pasukan besar bersama seekor gajah raksasa bernama Maḥmūd.

2. Pasukan Gajah Tiba di Mekah

Ketika pasukan tiba di daerah al-Mughammas dekat Mekah, mereka mulai menjarah hewan ternak milik penduduk, termasuk seratus ekor unta milik ‘Abdul Muṭṭalib, kakek Nabi ﷺ. Mendengar hal itu, ia segera berangkat menemui panglima pasukan dan berkata dengan wibawa:

Sesungguhnya aku adalah pemilik unta-unta itu, maka kembalikanlah kepadaku. Adapun rumah ini, ia memiliki Tuhan yang akan melindunginya sendiri.

Ucapan ini begitu menggema, menjadi simbol keyakinan mendalam terhadap kekuasaan Allah. Setelah mendapatkan kembali untanya, ‘Abdul Muṭṭalib pulang dan mengajak penduduk Mekah mengungsi ke gunung-gunung. Ia sendiri tetap bertahan di sekitar Ka‘bah seraya berdoa:

اللهم إن العبد يمنع رحله فامنع حلالك،
لا يغلبنّ صليبهم ومحالهم عدوًا محالك،
فإن كنتَ تاركهم وكعبتنا فأمرٌ ما بدا لك.

“Ya Allah, seorang hamba pasti menjaga rumahnya, maka lindungilah rumah-Mu.
Jangan biarkan salib dan tipu daya mereka mengalahkan kekuasaan-Mu.
Namun jika Engkau hendak membiarkan mereka, maka itulah kehendak-Mu.”

3. Datangnya Burung Abābīl

Ketika ‘Abdul Muṭṭalib dan sahabatnya Abū Mas‘ūd ats-Tsaqafī berada di atas gunung, mereka melihat burung-burung putih datang dari arah laut. Ukurannya kecil seperti burung walet, dengan paruh merah dan kepala hitam. Di setiap paruhnya terdapat batu sebesar kacang, dan tertulis di setiap batu nama orang yang akan menjadi korbannya.

Burung-burung itu terbang berbaris dalam kelompok — abābīl — dan melepaskan batu-batu itu tepat di atas pasukan. Batu tersebut menembus kepala dan tubuh mereka hingga mati seketika. Gajah-gajah pun roboh, tidak mampu lagi bergerak ke arah Ka‘bah.

Begitu mengerikan azab itu hingga jasad mereka membusuk, kulitnya terkelupas, dan tubuh mereka hancur seperti dedaunan kering yang dimakan ulat — sebagaimana firman Allah:

Fa ja‘alahum ka‘asfim ma’kūl
“Maka Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).”

4. Riwayat-Riwayat Pendukung

Riwayat dari Ibnu ‘Abbās menggambarkan hal serupa. Ia menuturkan bahwa ketika pasukan Abrahah tiba di lembah ash-Ṣifāḥ, ‘Abdul Muṭṭalib menemuinya dan memperingatkan: “Ini rumah yang tidak akan dibiarkan Allah dijamah siapa pun.” Namun Abrahah tetap bersikeras hingga datanglah burung-burung yang melempari mereka dengan batu-batu hitam dari ṭīn sijjīl.

Sementara as-Suddī meriwayatkan bahwa pasukan Abrahah terdiri dari kabilah-kabilah Arab dan Habasyah yang dimobilisasi untuk membalas pembakaran gereja di Sarjīsān. Namun Allah menahan langkah gajah mereka; setiap kali diarahkan ke Ka‘bah, gajah itu berlutut dan enggan maju.

Al-Hasan al-Bashrī menegaskan makna ayat sebagai pemberitaan Allah kepada Nabi-Nya tentang bagaimana kaum kafir dimusnahkan karena kesombongan mereka. Menurutnya, Abrahah berkata: “Akan kuhancurkan Ka‘bah sebagaimana mereka menghancurkan gereja kami.” Tetapi Allah menunjukkan bahwa rumah-Nya tidak akan dikalahkan oleh siapa pun.

5. Makna Tauhid dan Pelajaran Abadi

Kisah Ashab al-Fīl bukan sekadar sejarah, tetapi tanda nyata penjagaan Allah terhadap simbol tauhid di bumi. Allah menegaskan kepada Rasulullah ﷺ — dan seluruh manusia — bahwa kekuasaan duniawi, teknologi, dan pasukan besar sekalipun tidak mampu menembus wilayah yang dijaga oleh kehendak-Nya.

Peristiwa ini juga menjadi isyarat bahwa kelahiran Nabi Muhammad ﷺ yang terjadi pada tahun yang sama bukanlah kebetulan, melainkan awal dari peralihan zaman: dari kesombongan kekuasaan menuju penegakan risalah ilahi.

Kesimpulan

Dengan peristiwa Ashab al-Fīl, Allah menunjukkan bahwa pertahanan sejati bukan pada kekuatan militer, tetapi pada kebenaran yang dijaga oleh Allah sendiri. Semua riwayat klasik — dari Maqātil, Ibnu ‘Abbās, as-Suddī, hingga al-Hasan al-Bashrī — bersuara satu: Ka‘bah bukan sekadar bangunan, melainkan simbol kemurnian tauhid.

Maka, siapa pun yang berniat menodainya, pasti akan berhadapan dengan kekuasaan yang melampaui segala sebab.
Inilah pelajaran abadi dari pasukan gajah yang hancur oleh batu-batu kecil, tetapi dijatuhkan oleh tangan kekuasaan besar: Allah Rabbul-‘Ālamīn.

Sumber: Tafsīr Maqātil bin Sulaimān, (juz 4, hal. 658–661).