Surat Al-A’raf ayat 23 ini menceritakan pengakuan Adam dan Hawa setelah tergelincir oleh godaan setan. Keduanya menghadap Allah dengan hati yang runtuh, dan kalimat yang keluar bukan pembelaan diri, bukan alasan, bukan dalih—melainkan pengakuan penuh.
Mari kita baca dan pelajari teks ayat 23 dari Surah ke-7 ini, lalu menelusuri bagaimana para ulama menafsirkan kalimat istighfar tersebut. Dari sini kita akan melihat bahwa kisah Adam bukan hanya catatan sejarah awal manusia, tetapi cermin diri kita sendiri: manusia yang bisa lupa, tergelincir, namun selalu diberi peluang untuk pulang.
Tidak hanya itu, ibrah atau pelajaran moral dari ayat ini dapat mengantar kita pada pemahaman yang lebih lembut: bahwa pintu ampunan selalu lebih dekat daripada jarak yang kita bayangkan.
Surat Al-A’raf Ayat 23 Arab Latin dan Artinya

Berikut ini adalah bacaan lengkap Surat Al-A‘raf ayat 23, disertai Arab, latin, dan maknanya, agar memudahkan siapa pun yang ingin menghafal, memahami, atau membacanya sebagai doa sehari-hari.
Surat Al-A’raf ayat 23 latin: qâlâ rabbanâ dhalamnâ anfusana wa il lam taghfir lanâ wa tar-ḫamnâ lanakûnanna minal-khâsirîn. Artinya: Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.”
Setelah melihat langsung bunyi ayat yang diucapkan Adam dan Hawa yaitu Robbana dholamna anfusana wailam tagfirlana watarhamana lana kunnana minal khosirin arab sebuah kalimat yang menjadi rujukan banyak doa, bacaan taubat, dan salah satu rangkaian istighfar paling dikenal dalam Islam, sekarang mari kita kaji apa yang ada di baliknya.
Tafsir dan Pelajaran dari Surat Al-A’raf Ayat 23
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa kalimat dalam Surat Al-A’raf ayat 23 ini bentuk paling tulus dari sebuah taubat.
Riwayat-riwayat klasik dari para sahabat dan tabi‘in memberikan gambaran yang jernih tentang bagaimana
Adam dan Hawa memahami kesalahan mereka dan bagaimana Allah membimbing keduanya menuju pintu taubat.
Penjelasan para ulama awal ini penting karena merekalah generasi yang paling dekat dengan sumber wahyu dan paling
memahami bahasa serta konteks Al-Qur’an.
Ibnu Abbas menegaskan bahwa ucapan “rabbana zalamna anfusana” adalah bentuk pengakuan jujur Adam dan Hawa atas kesalahan yang mereka lakukan.
Tidak ada alasan, tidak ada upaya menyembunyikan dosa—hanya pengakuan yang bersih dan langsung. Menurut beliau, pengakuan seperti inilah yang membuat Allah menerima taubat keduanya. Ini menunjukkan bahwa kedekatan dengan Allah bukan diukur dari tidak pernah salah, melainkan dari bagaimana seseorang kembali setelah salah.
Hasan al-Bashri menambahkan perspektif yang memperkuat makna ayat. Ia menjelaskan bahwa doa ini adalah
kata-kata yang Allah sendiri ajarkan kepada Adam, sebagaimana disebut dalam QS. Al-Baqarah:37. Artinya,
Allah tidak membiarkan Adam mencari jalan pulang sendirian. Allah yang membuka pintunya, Allah yang memberi
kalimatnya, dan Allah pula yang menerima taubatnya. Dengan kata lain, bimbingan Ilahi mendahului upaya manusia.
Qatadah menggambarkan dialog yang sangat menyentuh antara Adam dan Tuhannya. Adam berkata:
“Ya Rabb, jika aku bertaubat dan memohon ampun, apakah Engkau akan mengembalikanku ke surga?” Lalu Allah
menjawab: “Ya, Aku masukkan engkau ke dalamnya.” Jawaban ini menunjukkan bahwa taubat bukan hanya menghapus dosa, tetapi juga mengembalikan derajat seseorang ke posisi yang bahkan lebih mulia daripada sebelumnya.
Qatadah kemudian membuat perbandingan tajam antara Adam dan Iblis:
- Adam memohon ampunan — ia mengakui kesalahan dan mencari rahmat Allah.
- Iblis memohon penangguhan waktu — bukan untuk bertaubat, tetapi untuk memperpanjang masa
pembangkangannya.
Dan Allah mengabulkan keduanya sesuai yang mereka minta. Dari sini para ulama memahami bahwa yang membedakan
seorang hamba adalah isi permintaannya. Adam meminta jalan kembali, sementara Iblis meminta ruang untuk
melanjutkan kesesatannya. Permintaan mencerminkan isi hati, dan isi hati menentukan arah hidup.
Bagaimana Allah “Menyeru” Adam dan Hawa?
Para ulama memberikan penjelasan yang beragam tentang bagaimana seruan Allah kepada Adam dan Hawa terjadi. Perbedaan ini bukan pertentangan, tetapi cara masing-masing ulama membaca teks dan riwayat yang sampai kepada mereka.
Mayoritas ulama—sebagaimana dicatat oleh Ibn ‘Atiyyah—memahami bahwa seruan Allah kepada keduanya berlangsung melalui wahyu. Penjelasan ini dianggap paling kuat karena beberapa alasan:
- Musa adalah satu-satunya nabi yang diberi gelar khusus “Kalimullah”, yaitu nabi yang benar-benar mendengar firman Allah secara langsung dalam bentuk yang layak bagi keagungan-Nya. Menetapkan hal yang sama untuk Adam tanpa dalil kuat dapat mengaburkan kekhususan gelar tersebut.
- Tidak ada riwayat yang sahih yang menunjukkan bahwa Allah berbicara langsung kepada Hawa.
Namun, sebagian ulama lain menyampaikan bahwa Adam pernah disebut sebagai “nabi yang diajak bicara (mukallam)”, berdasarkan riwayat yang menyebut: “Adam adalah nabi yang mendapatkan kalam dari Allah.” Mereka memahami bahwa percakapan itu terjadi di surga, dalam kondisi yang berbeda dari keadaan manusia ketika berada di bumi.
Dengan demikian, gelar khusus Musa sebagai Kalimullah tetap utuh, karena ia menerimanya dalam konteks risalah dan tugas kenabian di dunia. Adapun Adam, jika pun menerima bentuk kalam tertentu, itu terjadi sebelum turunnya ke bumi dan tidak berada dalam konteks misi kenabian formal.
Apa pun bentuk seruan itu—entah melalui wahyu atau bentuk kalam yang khusus—yang jelas Allah membimbing Adam menuju pintu taubat, mengajarinya kata-kata untuk kembali, dan membuka baginya jalan pemulihan setelah jatuh.
Kapan Adam Diterima Taubatnya?
Para ahli tafsir seperti Mujahid, Qatadah, dan sejumlah tabi‘in lainnya meriwayatkan bahwa taubat Adam diterima pada hari ‘Asyura. Sementara riwayat lain menyebutkan bahwa penerimaan taubat itu terjadi pada hari Jumat. Dua jalur ini menunjukkan satu pesan penting: sejak awal sejarah manusia, Allah menetapkan rentang waktu-waktu istimewa sebagai momen turunnya rahmat dan pengampunan.
Perbedaan riwayat tidak mengubah substansi maknanya—bahwa pengampunan adalah fondasi besar dalam kisah manusia. Jatuhnya Adam bukan penutup kisah, melainkan awal dari pembelajaran tentang bagaimana kembali kepada Allah dengan hati yang bersih dan rendah.
Pelajaran Akhlak
Qatadah memberikan refleksi yang sangat mendalam tentang sikap seorang hamba ketika berhadap-hadapan dengan dosa:
“Orang beriman itu malu kepada Tuhannya ketika ia tergelincir, namun ia tahu—dengan pujian bagi Allah—bahwa jalan keluarnya adalah taubat dan istighfar.”
Ungkapan ini seperti menutup kisah Adam dengan nasihat yang begitu dekat dengan kehidupan kita. Ada dua hakikat yang ditegaskan:
- Jatuh adalah bagian dari tabiat manusia.
- Kembali kepada Allah adalah ciri utama hamba yang dicintai-Nya.
Karena itulah Qatadah berkata dengan kalimat yang sangat kuat:
“Kalau bukan karena taubat, tidak ada seorang pun dari hamba Allah yang akan selamat.”
Melalui taubat itulah Adam—ayah kita—kembali dimuliakan setelah sempat tergelincir. Dan melalui jalan yang sama pula seorang mukmin hari ini menemukan kembali arah, ketenangan, dan harga diri ruhaninya.
Makna Besar Surat Al-A’raf Ayat 23
Ayat 23 dari Qs Al-A’raf ini mengajarkan bahwa dosa bukanlah akhir dari segalanya. Selama seseorang masih jujur mengakui kesalahannya, pintu kembali selalu terbuka. Taubat bukan sekadar upaya manusia, tetapi rahmat yang Allah sendiri sediakan agar hamba-hamba-Nya tidak tenggelam dalam keputusasaan.
Karena itu tidak ada alasan untuk menunda taubat. Adam selamat bukan karena ia memiliki alasan panjang, tetapi karena ia segera kembali kepada Allah dengan hati yang tunduk. Perbedaannya dengan Iblis terletak pada sikap batin: keduanya sama-sama tergelincir, namun Adam memilih merendahkan diri, sementara Iblis memilih membela gengsi.
Inilah pesan yang hangat dan sangat relevan bagi setiap hamba: Allah tidak meminta kita menjadi sempurna—Allah hanya meminta kita kembali ketika tersesat.
Surat Al-A‘raf ayat 23 bukan hanya potongan dialog antara Adam dan Hawa, tetapi cermin besar perjalanan manusia. Dalam kisah Nabi Adam, kita melihat bahwa jatuh adalah bagian dari fitrah, namun bangkit dengan taubat adalah bagian dari kemuliaan. Selama hati masih hidup, pintu kembali tidak pernah tertutup. Dan selama seseorang mau pulang kepada Tuhannya, ia tidak akan pernah dibiarkan menjadi bagian dari kaum yang merugi.