Surat Al-Maun Beserta Artinya Ayat 1-7

Surah al-Ma’un termasuk surat pendek dalam Juz Amma yang sering dibaca dalam salat. Banyak anak-anak muslim bahkan sudah menghafalnya sejak kecil. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, makna surat ini jauh lebih luas daripada sekadar bacaan di bibir. Di dalamnya terkandung teguran keras agar agama tidak hanya berhenti pada ritual, tetapi hadir nyata dalam kepedulian sosial.

Ketika kita membaca QS Al Maun beserta artinya, terasa jelas bahwa pesan utamanya adalah kritik terhadap mereka yang beribadah namun mengabaikan urusan kemanusiaan. Surah ini ingin menegaskan bahwa pendustaan agama bukan hanya persoalan keyakinan lisan, melainkan sikap hidup yang menutup mata terhadap penderitaan orang lain.

Identitas dan Fakta Penting Surat Al-Ma’un

Untuk memahami lebih jauh, mari kita kenali terlebih dahulu identitas Surah Al-Ma’un. Surat ini juga dikenal dengan sebutan Surat Aroaital dan artinya diambil dari kata pembuka ayat pertamanya, “Ara’aita”. Nama al-Ma’un sendiri berarti “barang yang berguna” atau “bantuan kecil”.

Al Ma’un urutan surat ke 107 dalam mushaf Al-Qur’an, terdiri dari tujuh ayat, dan mayoritas ulama menempatkannya sebagai surat Makkiyyah. Letaknya berada setelah surat Quraisy (106) dan sebelum surat Al-Kautsar (108). Semuanya terletak di Juz 30 dalam mushaf.

Dalam Al Ma’un latin, ayat pertamanya berbunyi: Ara’aita alladzi yukadzdzibu bid-dīn, yang artinya: “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?”.

Dari identitas singkat ini kita bisa melihat bahwa meskipun pendek, Surat Al-Maun memiliki bobot pesan sosial yang tajam. Setelah mengenal faktanya, kita bisa masuk lebih dalam pada tafsir setiap ayat untuk melihat bagaimana pesan itu ditujukan, bukan hanya kepada umat masa lalu, tetapi juga kepada kondisi kita hari ini.

Bacaan Surat Al-Maun Lengkap

surat al ma'un lengkap

Berikut teks arab, latin dan terjemahan Surah Al-Ma’un yang kami ambil dari laman Kemenag RI:

Surat Al-Maun Ayat 1

اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِۗ

ara’aital-lażī yukażżibu bid-dīn(i).

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?


Surat Al-Maun Ayat 2

فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَۙ

fa żālikal-lażī yadu‘‘ul-yatīm(a).

Maka itulah orang yang menghardik anak yatim,


Surat Al-Maun Ayat 3

وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِۗ

wa lā yaḥuḍḍu ‘alā ṭa‘āmil-miskīn(i).

dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.


Surat Al-Maun Ayat 4

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ

fawailul lil-muṣallīn(a).

Maka celakalah orang yang salat,


Surat Al-Maun Ayat 5

الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ

allażīna hum ‘an ṣalātihim sāhūn(a).

(yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya,


Surat Al-Maun Ayat 6

الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاۤءُوْنَۙ

allażīna hum yurā’ūn(a).

yang berbuat ria,


Surat Al-Maun Ayat 7

وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ ࣖ

wa yamna‘ūnal-mā‘ūn(a).

dan enggan (memberikan) bantuan.

Rangkuman Tafsir Ayat Surah Al-Ma’un

Setelah mengetahui identitasnya, kita beralih pada pesan inti yang terkandung di dalam Surah Al-Ma’un.

Meskipun terdiri dari tujuh ayat saja, setiap baris ayat menyimpan sindiran sekaligus ajakan untuk melihat agama sebagai sesuatu yang hidup dan menyatu dengan realitas sosial. Berikut rangkuman dari Tafsir Surat al-Ma’un yang relevan sampai saat ini.

Pada ayat pertama, Allah memulai dengan sebuah pertanyaan: “Tahukah engkau siapa orang yang mendustakan agama?” Pertanyaan ini bukan sekadar untuk dijawab, tetapi untuk menggugah. Orang yang dimaksud ternyata bukan ateis, bukan pula mereka yang terang-terangan menolak, melainkan mereka yang masih mengaku beragama tapi mengabaikan nilai kemanusiaan.

Ayat kedua dan ketiga kemudian menjelaskan lebih gamblang: mereka adalah orang-orang yang tega membentak anak yatim, dan tidak peduli pada orang miskin. Refleksinya di masa sekarang, kita mungkin jarang membentak anak yatim secara langsung, tapi adakah kita kadang menutup mata terhadap anak jalanan di lampu merah? Atau mungkin merasa terganggu dengan kehadiran kaum lemah, alih-alih menaruh empati? Inilah bentuk pendustaan agama yang diingatkan oleh surat ini.

Lalu datang ayat keempat dan kelima, yang terasa menampar: “Celakalah orang-orang yang lalai dalam salatnya.” Ini bukan ditujukan pada muslim awam yang belum paham arti bacaan salat, melainkan pada mereka yang menjadikan salat sekadar gerakan tubuh. Ritual dilakukan, tetapi hati kosong, dan perilaku sehari-hari tidak berubah. Bukankah sering kita temui, bahkan dalam diri kita sendiri, momen ketika ibadah berjalan di satu sisi, namun kejujuran, kepedulian, dan etika sosial tidak ikut terbawa?

Ayat keenam menyebut satu kata kunci: ria. Mereka berbuat baik hanya untuk pamer. Fenomena ini tidak asing lagi hari ini. Ada kalanya kebaikan diumumkan ke media sosial bukan demi menebar manfaat, melainkan demi citra. Surah ini menantang kita untuk bertanya, “Untuk siapa sebenarnya semua amal yang kita lakukan?”

Dan akhirnya, ayat ketujuh menutup dengan sebuah gambaran yang sederhana namun menusuk: mereka enggan berbagi hal-hal kecil. Al-Ma’un artinya barang-barang kecil yang berguna, seperti panci, ember, atau peralatan sederhana. Jika bantuan kecil saja ditahan, bagaimana mungkin seseorang mau berbagi hal-hal besar? Di sini kita diajak merenung, bahwa solidaritas tidak selalu lahir dari sumbangan besar, tetapi juga dari hal-hal kecil yang tulus.

Dari rangkaian tafsir singkat ini, terlihat jelas bahwa surat Al-Ma’un tidak hanya bicara tentang ibadah ritual, melainkan menyentuh inti keseharian manusia: cara kita memperlakukan orang lain, terutama mereka yang lemah. Setelah memahami ini, pertanyaan yang tersisa adalah: sejauh mana pesan ini hadir dalam keseharian kita saat ini?

Dimensi Sosial dalam Surah Al-Ma’un

Jika dibaca secara keseluruhan, QS Al Maun beserta artinya menampilkan wajah agama yang sangat membumi. Surah ini tidak berbicara tentang hukum-hukum rumit, melainkan tentang kepedulian dasar yang seharusnya hadir dalam setiap manusia. Orang yang mengabaikan anak yatim, tidak mau berbagi, serta menjadikan salat hanya formalitas — itulah yang disebut sebagai pendusta agama.

Pada titik ini, surat Al-Qur’an surat Al-Ma’un mengajarkan bahwa agama tidak boleh berhenti di masjid atau sajadah. Agama justru diuji ketika kita berhadapan dengan orang-orang kecil di sekitar kita. Apakah kita memberi ruang untuk mereka? Apakah kita peduli atau justru mengusir? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi cermin, agar ibadah yang kita jalankan tidak kehilangan ruh sosialnya.

Relevansi Kontemporer: Dari Anak Yatim ke Anak Jalanan

Pada masa turunnya wahyu, konteksnya adalah anak yatim yang diabaikan dan orang miskin yang tidak dipedulikan. Namun dalam kehidupan modern, pesan surah Al-Ma’un bisa kita perluas. Sosok “anak yatim” bisa dilihat dalam wajah anak jalanan yang mencari nafkah sendiri, anak putus sekolah, atau mereka yang hidup tanpa akses kesehatan. Sedangkan “orang miskin” bisa dimaknai sebagai siapa saja yang tidak mendapatkan hak dasar untuk hidup layak.

Di sinilah QS Al Ma’un menjadi sangat relevan. Ia menegur mereka yang mungkin rajin beribadah, tetapi tidak tersentuh untuk ikut membantu tetangga yang kesulitan membayar biaya sekolah, atau tidak tergerak saat melihat orang tua renta menunggu bantuan. Surat pendek ini mengingatkan bahwa agama dan solidaritas sosial tidak bisa dipisahkan.


Dari identitas, tafsir, hingga pesan sosialnya, jelas bahwa Surah Al-Ma’un bukan sekadar bacaan pendek di Juz Amma. Ia adalah kritik terhadap kemunafikan dan pelajaran bahwa agama sejati harus membumi. Jika benar memahami surat Aroaital dan artinya, maka agama bukan hanya pada rukuk dan sujud, tetapi juga pada cara kita memperlakukan orang miskin, anak yatim, dan lingkungan sekitar.

Al Ma’un artinya “barang yang berguna kecil”, dan justru di situlah letak keindahannya. Agama bukan hanya urusan besar dan megah, tapi juga kesediaan berbagi hal-hal sederhana. Dari meminjamkan alat rumah tangga, menolong tetangga, hingga memberi waktu untuk mendengar keluh kesah orang lain — semua itu bagian dari wujud nyata keimanan.

Pada akhirnya, QS Al-Ma’un beserta artinya menuntun kita untuk tidak terjebak dalam ibadah kosong. Ia mengingatkan bahwa mendustakan agama bisa terjadi ketika kita menutup mata dari kepedulian sosial. Maka, mari jadikan surah Al-Qur’an surat Al-Ma’un sebagai pengingat, bahwa agama sejati hadir di hati, di lisan, di salat, dan juga di jalanan, di rumah, serta di tengah masyarakat.