Pada puncak kehamilan, Maryam mengalami satu fase paling berat dalam hidupnya—melahirkan tanpa pendamping, tanpa tempat mengadu, dan dibayangi stigma sosial. Ayat ke-23 dalam Surah Maryam mencatat detik-detik krusial itu: rasa sakit, keputusasaan, dan harapan akan kelepasan.
Sebagai kelanjutan dari Surat Maryam 1-11 sebelumnya, ayat ke-23 ini bukan hanya merekam momen biologis, tapi juga tekanan batin dan sosial yang dialami seorang perempuan mulia. Dari sinilah, lahir pemaknaan yang kaya—baik secara tafsir, konteks sejarah, maupun pelajaran kontemporer.
Bacaan Arab, Latin, dan Terjemahan Surat Maryam Ayat 23
فَاَجَاۤءَهَا الْمَخَاضُ اِلٰى جِذْعِ النَّخْلَةِۚ قَالَتْ يٰلَيْتَنِيْ مِتُّ قَبْلَ هٰذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَّنْسِيًّا
fa ajā’ahal-makhāḍu ilā jiz‘in nakhlah(ti), qālat yā laitanī mittu qabla hāżā wa kuntu nas-yam mansiyyā(n).
Kemudian rasa sakit akan melahirkan memaksanya (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia (Maryam) berkata, “Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan.”
Frasa Penting dalam Surat Maryam Ayat 23
Untuk lebih mendalami teks ayat 23 ini, ada beberapa frasa penting yang perlu diperhatikan:
-
- فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ (fa-ajā’ahā al-mukhāḍ):
Dorongan kontraksi yang memaksa Maryam bersandar. Kata kerja ini menunjukkan kondisi yang datang tiba-tiba, tidak tertahankan, dan membawa ke titik aksi.
-
- إِلَىٰ جِذْعِ ٱلنَّخْلَةِ (ilā jidz‘in-nakhlah):
Pangkal pohon kurma bukan hanya tempat bersandar fisik, tapi simbol pijakan terakhir ketika semua tumpuan sosial dan keluarga tak ada. Makna ini menguatkan gambaran keterasingan total.
-
- يَـٰلَيْتَنِى مِتُّ قَبْلَ هَـٰذَا (yā laitani mittu qabla hāżā):
Ungkapan berat—lebih baik mati daripada menanggung rasa malu dan prasangka. Bukan ekspresi putus asa terhadap Allah, tapi luapan manusiawi atas tekanan luar biasa.
-
- نَسْيًۭا مَّنسِيًّۭا (nasyyyan mansiyyā):
Harapan untuk dihapus dari ingatan publik. Bukan ingin mati sia-sia, melainkan ingin lepas dari aib yang tak pernah ia lakukan.
Tafsir dan Hikmah Surat Maryam Ayat 23
Ayat ini merekam satu titik nadir dalam hidup Sayyidah Maryam. Ia tidak hanya menanggung beban fisik dari rasa sakit saat hendak melahirkan Nabi Isa As, tapi juga tekanan masyarakat yang menggumpal di sekelilingnya—fitnah keji, cibiran kehamilan tanpa suami, dan sunyinya dukungan dari sekitar.
Dalam kondisi seperti itu, ia bersandar pada pangkal pohon kurma. Sebuah isyarat kuat: bahwa yang ia pegang bukanlah tempat atau manusia, tapi keyakinan penuh pada kehendak Allah.
Pohon kurma bukan sembarang latar. Dalam tradisi Arab, kurma adalah simbol kehidupan, penghidupan, dan ketahanan. Maka bersandar pada “jidz‘i nakhlah” (pangkal batang kurma) memberi dua pesan sekaligus: fisik Maryam benar-benar kelelahan, dan secara batin ia kembali sepenuhnya pada yang Maha Mengatur. Ia berkata, “Wahai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang dilupakan.” Sebuah pengakuan yang tidak kosong: ia ingin keluar dari aib sosial, bukan karena tak percaya pada Allah, tapi karena malu atas prasangka manusia.
Tafsir Kementerian Agama mencatat, seruan ini lahir dari tekanan menyeluruh—baik fisik karena sakit, maupun psikis karena kecaman publik yang belum sempat ia jawab. Ibnu Katsir menambahkan, bahwa rasa haus dan lapar pun memperparah situasi. Namun, Allah tidak membiarkan Maryam sendiri. Pada ayat selanjutnya, pertolongan datang: air memancar, buah kurma jatuh, dan suara mujizat muncul dari arah tak terduga.
Apa yang bisa dipetik dari kisah ini? Pertama, Allah tidak pernah absen. Ketika semua pintu ditutup, bahkan saat manusia meminta kematian karena tak sanggup lagi menanggung rasa malu, pintu pertolongan justru mulai dibuka. Kedua, ayat ini adalah pengakuan jujur seorang perempuan yang kuat, bukan lemah. Ia jujur terhadap penderitaannya, tanpa kehilangan arah.
Tak heran jika sebagian ulama menjadikan ayat ini sebagai rujukan non-doa untuk mereka yang tengah menghadapi sulitnya proses persalinan. Ia tidak berisi permohonan eksplisit, tapi mengandung energi ketundukan total kepada Allah di saat rasa sakit dan takut bercampur jadi satu. Maka tak salah jika banyak ibu atau pendamping lahir membacakan ayat ini sebagai penenang dan pengingat bahwa kesendirian tidak berarti tanpa harapan.
Di tengah zaman yang sering menilai dari tampilan dan asumsi, ayat ini juga menegur: jangan mudah menghakimi. Bahkan Maryam yang suci pun dihujat karena hal yang tak ia lakukan. Lalu siapa kita yang merasa berhak menilai tanpa tahu apa-apa? Maka bagi yang sedang diuji, jangan tunduk pada suara luar—tunduklah hanya pada Pemilik urusan.
Munajat Maryam Agar Mudah Melahirkan
Ayat ke-23 Surah Maryam memang tidak memuat doa agar dimudahkan saat melahirkan secara eksplisit. Namun, justru dalam ungkapan Maryam—“ya laitani mittu qabla hadza”—tersirat kepasrahan dan ketundukan yang penuh.
Maryam, yang saat itu menghadapi persalinan tanpa bantuan siapapun, mencurahkan perasaannya langsung kepada Allah. Ungkapan yang tampaknya kelam itu bukan cermin kelemahan, tapi ekspresi jujur dari seseorang yang sedang dalam batas fisik dan psikis.
Dan justru dalam kondisi seperti inilah pertolongan Allah turun tanpa syarat: berupa air, kurma, dan suara menenangkan dari bayi dalam kandungan. Ini menjadi tanda bahwa doa tidak selalu harus dalam bentuk permohonan verbal, tapi juga bisa dalam bentuk jeritan hati yang hanya Allah yang tahu.
Dari sinilah kita bisa menarik pelajaran penting. Doa bukan sekadar ucapan semata. Meski demikian., ibu yang akan melahirkan dianjurkan untuk membaca doa Hana waladat Maryam ini terus-menerus sepanjang proses persalinan. Orang-orang yang mendampingi juga dianjurkan untuk ikut membacanya sebanyak mungkin.
Tanamkan keyakinan yang kuat bahwa Allah akan memudahkan kelahiran putra atau putri Anda melalui wasilah (perantara) doa Maryam ini.
Ungkapan Maryam dalam kesendirian bukan sekadar ekspresi rasa sakit, tapi juga cermin keikhlasan menghadapi ujian hidup yang tidak kecil. Namun, ujian itu tak dibiarkan berlarut.
Ayat-ayat berikutnya Surat Maryam ayat 30-35 menunjukkan bagaimana Allah membela kehormatan Maryam lewat mukjizat Isa yang berbicara sejak dalam buaian—menegaskan bahwa keajaiban itu nyata, dan kehendak-Nya tidak bisa dibatasi logika manusia.
Jika Anda ingin menyelami bagaimana bayi Isa berbicara dan membela ibunya, lanjutkan membaca tafsir ayat 30 hingga 35. Di sana, pesan tauhid, ibadah, bakti kepada orang tua, serta penegasan kemurnian wahyu akan terasa semakin kuat dan bermakna.