Al-Fatihah untuk Orang yang Sudah Meninggal

Al-Fatihah untuk Orang yang Sudah Meninggal adalah amalan yang paling sering dilakukan sebagian besar umat Islam ketika mendengar kabar duka atau berziarah ke makam.

Diantara mereka ada yang membacanya sebagai doa, sebagian lagi meyakini pahalanya dapat dihadiahkan kepada orang yang telah wafat.

Namun di balik kebiasaan ini, tersimpan perbedaan pendapat klasik di kalangan ulama: apakah pahala bacaan Al-Qur’an — termasuk surah Al-Fatihah — benar-benar sampai kepada mayit, dan bagaimana tata cara yang dianggap benar menurut syariat?

Dari sisi hukum, praktik mengirim bacaan Al-Qur’an kepada orang yang meninggal termasuk perkara khilafiyah — ada ulama yang membolehkan dengan dalil qiyas dari sedekah, doa, dan haji badal, sementara sebagian lain menilai tidak ada dasar eksplisit dari Nabi ﷺ maupun para sahabat. Karena itu, memahami dasar hukum dan tata cara pelaksanaannya menjadi penting agar amalan yang dilakukan tidak sekadar mengikuti tradisi, tetapi juga berdiri di atas pijakan ilmu.

Artikel ini akan mengurai secara ringkas namun tajam tentang dalil Al-Qur’an dan hadis, pandangan ulama klasik dan kontemporer, serta cara membaca Al-Fatihah untuk orang yang sudah meninggal yang sejalan dengan prinsip syariat. Tujuannya sederhana: agar setiap doa dan bacaan yang dipanjatkan benar-benar bermakna dan bernilai ibadah, bukan hanya kebiasaan turun-temurun tanpa pemahaman.

Dalil dari Al-Qur’an

QS. Al-Hasyr: 10 secara eksplisit menganjurkan doa untuk saudara yang telah wafat: “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah lebih dahulu beriman…” Ini menegaskan nilai doa untuk mayit, tetapi Al-Qur’an tidak memberi ayat yang menyatakan secara literal bahwa pahala bacaan Al-Qur’an (termasuk Al-Fatihah) bisa dipindahkan kepada orang yang sudah meninggal.

Hadis dan posisi hadis

Hadis shahih (HR. Muslim): “Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau doa anak saleh.” Hadis ini menegaskan manfaat doa bagi mayit, tetapi tidak menyebutkan secara eksplisit bacaan Al-Qur’an sebagai salah satu pengecualian.

Selain itu ada riwayat-riwayat lain (mis. tentang membaca Al-Ikhlash atau Al-Fatihah di pekuburan) yang dipakai oleh ulama pemboleh sebagai dalil praktis. Jadi: hadis utama menegaskan doa dan amal yang mengalir, tetapi status bacaan Al-Qur’an masih dipolemikkan berdasarkan interpretasi dan analogi ulama.

Argumen pokok di belakang perbedaan

  1. Dalil eksplisit vs. implisit: Pendukung memanfaatkan hadis-hadis dan praktik sahabat/taabi’in serta qiyas; penolak menuntut dalil eksplisit dari Nabi ﷺ.
  2. Makna “doa” dan “bacaan”: Membaca Al-Fatihah dapat dipandang sebagai bentuk doa, sehingga pahala dan doa bisa diteruskan; atau dipandang sekadar bacaan yang pahalanya bersifat pribadi sehingga tidak otomatis sampai tanpa dalil transfer yang jelas.
  3. Tradisi legal dan praktik sosial: Praktik turun-temurun dan ijma’ lokal (mis. di Nusantara) memberi tekanan sosial-teologis yang kuat pada pendapat pemboleh.

Pandangan Ulama tentang Al-Fatihah untuk Orang yang Sudah Meninggal

Dalam garis besar, perbedaan pendapat membaca Al-Fatihah untuk orang yang sudah meninggal yang pahalanya dikirim untuk mayit sebagai berikut:

  • Pro (membolehkan): Banyak ulama — termasuk tokoh di tradisi Syafi’iyah dan beberapa Hanafiyah serta sebagian Hanabilah — membolehkan menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an kepada orang mati. Argumentasi: doa dianjurkan; ada analogi dengan sedekah dan ibadah badal; terdapat tradisi yang kuat; hakimnya berdasar qiyas dan nasakh amali. Tokoh representatif: Imam Nawawi, Ibn Qudamah, Quraish Shihab.
  • Kontra (menolak/berhati-hati): Sebagian ulama (termasuk tradisi Malikiyah dan kelompok salafi tertentu) menolak konsep ini karena tidak ada dalil eksplisit dari Nabi ﷺ yang menyatakan pahala bacaan Qur’an otomatis sampai ke mayit. Mereka membaca hadis “amal terputus kecuali tiga” sebagai indikasi bahwa bacaan Qur’an tidak termasuk. Tokoh representatif: Imam Malik, sebagian ulama salaf.
  • Tengah / ihtiyat: Sebagian ulama moderat atau interpretif menyarankan: baca Al-Fatihah untuk diri sendiri dan panjatkan niat doa khusus untuk mayit; jika ingin menghadiahkan bacaan, lakukan tanpa memaksakan keyakinan bahwa itu wajib atau sunnah muakkadah. Di sini posisi Ibn Taymiyyah kadang dikutip untuk kehati-hatian.

Salah satu ulama besar Nusantara, Syekh al-‘Allamah Kiai Ali Ma’shum al-Jokjawi, dalam karya monumentalnya Hujjah Ahlussunnah wal Jama’ah, menyinggung persoalan klasik yang hingga kini masih menjadi bahan diskusi di kalangan para ulama: apakah pahala bacaan Al-Qur’an dan sedekah dapat dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia.

Beliau menjelaskan bahwa masalah ini termasuk ranah khilafiyah, yakni perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang berpendapat tidak sampai, dan ada pula yang berpendapat sebaliknya. Namun, menurut Syekh Ali Ma’shum, pandangan yang membolehkan penghibahan pahala—baik dari bacaan Al-Qur’an maupun sedekah—berdiri di atas landasan dalil yang kuat dan argumentatif.

Syekh Ali menukil penjelasan Ibnu Taimiyah, yang menyatakan bahwa orang yang telah wafat tetap memperoleh manfaat dari bacaan Al-Qur’an, sebagaimana ia mendapat manfaat dari ibadah yang bersifat maliyah (berkaitan dengan harta), seperti sedekah. Dengan kata lain, transfer pahala (ihda’ ats-tsawab) kepada mayit bukan hal yang mustahil dalam pandangan syariat, sebab prinsip dasarnya adalah sampainya manfaat amal seorang mukmin kepada saudaranya sesama mukmin—baik masih hidup maupun sudah berpulang.

Pandangan ini diperkuat oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Ar-Ruh. Ia menegaskan bahwa hadiah paling utama yang bisa diberikan kepada orang yang telah meninggal adalah sedekah, doa, bacaan istighfar, serta pelaksanaan ibadah haji atas namanya. Ibnu Qayyim juga menambahkan bahwa bacaan surat Al-Fatihah maupun ayat-ayat Al-Qur’an lainnya yang dihadiahkan untuk mayit akan sampai pahalanya kepada yang dituju, dengan izin Allah.

Tradisi membaca Al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah tiada, dengan demikian, bukan hanya amalan turun-temurun di dunia pesantren, tetapi juga memiliki akar dalil yang kokoh dalam khazanah keilmuan Islam.

Dalam Fathul Qadir, disebutkan sebuah hadis dari Sayyidina Ali karramallahu wajhah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa melewati pekuburan lalu membaca surat Al-Ikhlas sebanyak sebelas kali dan menghadiahkan pahalanya untuk para penghuni kubur, maka ia akan memperoleh pahala sebanyak jumlah mereka yang dimakamkan di tempat itu.”

Masih dalam konteks serupa, Syekh Ali Ma’shum juga mengutip sabda Nabi ﷺ yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra.: “Barangsiapa memasuki pemakaman, lalu membaca surat Al-Fatihah, surat Al-Ikhlas, dan surat At-Takatsur, kemudian berdoa: ‘Ya Allah, aku hadiahkan pahala bacaan ini untuk para penghuni kubur dari kalangan mukmin dan mukminah’, maka mereka semua akan menjadi pemberi syafaat baginya di sisi Allah Ta’ala.”

Melalui penjelasan tersebut, Syekh Ali Ma’shum menegaskan bahwa membacakan Al-Qur’an untuk orang yang telah meninggal merupakan bentuk ibadah yang bernilai besar dan sarana kasih sayang antarsesama mukmin. Pahala yang dihadiahkan bukan hanya sampai, tetapi juga menjadi penghubung ruhani antara yang hidup dan yang telah kembali kepada Sang Pencipta.

Sumber: https://islam.nu.or.id/ubudiyah/hadiah-fatihah-untuk-orang-yang-meninggal-dunia-yT5B5

Praktik masyarakat: Nusantara vs. Timur Tengah

Di Indonesia dan Asia Tenggara: tradisi tahlilan, kirim Al-Fatihah, dan majelis arwah sangat populer — mazhab Syafi’i dominan mendukung praktik ini sehingga praktiknya meluas. Di banyak bagian Timur Tengah: wacana cenderung lebih menekankan doa istighfar langsung dan istikharah, dengan ritual bacaan Al-Fatihah sebagai opsi, bukan keharusan ritual tersendiri.

Panduan praktis — apa yang boleh Anda lakukan (tanpa berkonflik)

Jika Anda meyakini al Fatihah untuk orang yang sudah meninggal mengandung kebaikan: baca Al-Fatihah, niatkan pahala untuk mayit, sertakan doa istighfar, sedekah jariyah, dan bacaan istighfar — ini konsisten dengan praktik yang banyak dianjurkan. Baca surat al Fatihah ayat 1-7 lengkap.

Jika Anda berhati-hati atau mengikuti ulama yang menolak: cukup perbanyak doa ma’tsur (lafaz yang diajarkan), berikan sedekah atas nama mayit, dan lakukan amal yang manfaatnya jelas (wakaf, pendidikan, pahalanya mengalir melalui sedekah jariyah).

Untuk kohesi sosial: hindari klaim absolut (mis. “wajib sampai” atau “pasti tidak sampai”) ketika berbicara di lingkungan yang berbeda keyakinan ulama; utamakan niat baik dan saling menghormati perbedaan.

Cara Mengirim Al-Fatihah

Menghadiahkan bacaan Al-Fatihah untuk orang yang sudah meninggal pada dasarnya cukup dilakukan dengan niat yang jelas: menghadiahkan pahala bacaan tersebut kepada orang yang dituju.

Tidak ada ketentuan khusus mengenai posisi tubuh, arah kiblat, waktu, atau jumlah bacaan, karena hal-hal itu tidak disebutkan dalam nash maupun praktik sahabat namun disarankan berdasarkan dalil umum. Yang menjadi pokok hanyalah niat dan bacaan itu sendiri.

Dalam tradisi Islam di Nusantara, dikenal beberapa ungkapan ketika seseorang hendak mengirim pahala bacaan Al-Fatihah, yaitu:

  • Lahul Fātihah — untuk satu orang laki-laki yang telah meninggal. Untuk lahul Fatihah arab cek di sini.
  • Lahal Fātihah — untuk satu orang perempuan yang telah meninggal.
  • Lahumal Fātihah — untuk dua orang (laki-laki dan perempuan).
  • Lahumul Fatihah — untuk banyak orang.

Untuk bacaan tulisan al Fatihah arab sesuai mushaf, bisa lihat di sini.

Setelah menyebutkan salah satu ungkapan tersebut, bacalah surat Al-Fatihah seperti biasa, lalu akhiri dengan doa sederhana berikut:

“Ya Allah, aku hadiahkan pahala bacaan Al-Fatihah yang aku baca ini untuk almarhum/ah [nama], mohon ampunan-Mu, rahmat, dan tempatkan ia di golongan orang-orang yang Engkau rahmati.”

Itulah bentuk paling sederhana dan umum dari pengiriman Al-Fatihah — amalan yang berpijak pada niat baik, doa, dan kasih sayang antar sesama mukmin, tanpa perlu ditambah-tambahi tata cara yang tidak memiliki dasar syar‘i.


Jadi, Al Fatihah untuk orang yang sudah meninggal berdasarkan pendapat yang lebih kuat dari kalangan ulama adalah bahwa pahala bacaan Al-Qur’an dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal, baik itu bacaan Surah Al-Fatihah maupun surah-surah lainnya dari Al-Qur’an.

Karena seseorang yang melakukan suatu amalan memiliki hak atas pahala amal tersebut, dan siapa yang memiliki sesuatu berhak menghadiahkannya kepada siapa pun yang dia kehendaki, selama tidak ada penghalang bagi penerima untuk mendapatkan manfaat dari pahala itu. Dan penghalang satu-satunya adalah kekufuran, semoga Allah melindungi kita darinya.

Maka, boleh membaca Surah Al-Fatihah dan menghadiahkan pahalanya kepada ruh orang yang telah meninggal, baik ketika melewati kuburannya maupun ketika berada di rumah.