Pernahkah kita bertanya, mengapa setiap nama nabi atau malaikat dalam Islam hampir selalu diiringi dengan ucapan ‘alaihissalām? Di telinga kita, frasa ini terdengar begitu akrab, bukan?
Tulisan ini ingin mengajak pembaca memahami bagaimana frasa ‘alaihissalam ini terbentuk, arti, makna dan penggunaannya dalam perspektif bahasa Arab yang kemudian berkembang menjadi frasa doa yang kini melekat pada para nabi dan tokoh teladan.
‘Alaih dan As-Salām
Ungkapan ‘alaihissalām tersusun dari dua lafaz: ‘alaih dan as-salām. Secara gramatikal, dalam frasa ‘alaihissalām, elemen as-salām sebenarnya bukan berada di akhir, melainkan posisi aslinya adalah di depan karena mubtada’. Urutan asalnya as-salam ‘alaihi yang karena tuntutan fungsi dan konteks dibalik, menjadi alaihissalām.
Oleh karena itu, dan di antara dua unsur penyusun frasa tersebut, kata salām menjadi pusat makna, maka kita kaji terlebih dulu.
Akar Kata “Salām”
Akar Semit س ل م dan keluasan maknanya
Ketika membahas frasa “‘alaihissalām”, langkah paling aman adalah kembali ke struktur paling dasar dalam bahasa Arab: akar kata. Frasa ini bersandar pada tiga huruf: س ل م, sebuah akar yang dikenal luas dalam rumpun Semit. Dari akar inilah muncul kata salām, salāmah, muslim, dan islām—semuanya bertemu pada satu ide pokok: keadaan utuh, bersih dari kekurangan, dan terjaga.
Dalam literatur Arab klasik, salām tidak sekadar sapaan sosial. Ia membawa muatan etika: ajakan untuk keadaan yang aman secara lahir dan batin, dan pengakuan bahwa seseorang berada pada kondisi tanpa gangguan. Karena itu, ketika akar س ل م dipakai dalam konteks doa, ia tidak hanya bicara soal keamanan fisik, melainkan juga keteguhan akhlak dan kejernihan adab seseorang.
Frasa ‘Alaihi
Sementara itu, ‘alaih atau ‘alaihi adalah huruf jar ‘alā dan dhamir yang mengikutinya. Ia berfungsi sebagai penunjuk arah kepada siapa keselamatan itu diarahkan.
Secara sederhana, ia menyatakan “atas dirinya” atau “kepada beliau.” Namun dalam tradisi bahasa Arab, konstruksi ini bukan sekadar penanda arah semata, melainkan penegasan bahwa kebaikan itu “menetap” pada sosok yang dimaksud.
Transisi dari Salām sebagai Etika Menuju Doa
Perkembangan berikutnya terjadi ketika kata al-salām tidak lagi dipakai sebagai istilah umum, tetapi berubah menjadi formula doa yang baku. Bahasa Arab memiliki kemampuan untuk “membekukan” satu rangkaian kata sehingga menjadi frasa tetap yang tidak lagi dipahami sebagai konstruksi bebas. “‘Alaihissalām” adalah salah satu contohnya.
Dalam konteks ini, salām sudah tidak merujuk pada “damai” dalam arti sehari-hari, tetapi pada pengakuan status: bahwa seseorang berada dalam kondisi terjaga—baik dari sisi moral, keteladanan, maupun kehormatan peradaban. Inilah mengapa frasa ini menempel pada tokoh-tokoh yang dianggap sangat terjaga secara etika dan adab dalam tradisi Islam.
Pembekuan frasa dan variasi morfologi (maskulin, feminin, dual, jamak)
Begitu frasa ini membeku, sistem morfologi Arab mengizinkan variasi seperlunya.
- Untuk laki-laki: عليه السلام
- Untuk perempuan: عليها السلام
- Untuk dua orang: عليهما السلام
- Untuk kelompok lebih luas: عليهم السلام
Variasi ini tidak mengubah makna inti; ia hanya menyesuaikan frasa dengan subjeknya secara tata bahasa. Justru di titik inilah terlihat bagaimana bahasa Arab menjaga ketelitian struktural tanpa kehilangan kesederhanaan ekspresinya. Pembaca awam tetap bisa memahami maksudnya, sementara peneliti bahasa bisa membaca lapisan fungsional di baliknya.
Analisis Linguistik “‘Alaihissalām”
Struktur Kalimat dan Fungsi Semantis
I‘rab: jar-majrur sebagai khabar muqaddam
Secara sintaksis, “‘alaihissalām” terbentuk dari jar-majrur (‘alaihi) yang didahulukan, dan al-salām sebagai subjek kalimat. Dalam penyusunan ini, struktur Arab bekerja dengan pola khasnya: predikat ditempatkan di awal, sedangkan subjek berada di bagian akhir. Pola ini memberi efek penegasan—seolah-olah keselamatan itu diarahkan khusus kepada orang yang disebutkan.
Dalam analisis nahwu, ‘alaihi bergantung pada predikat implisit seperti kā’in atau mustaqirr, yang atau salah satunya dipahami tanpa perlu dituliskan. Karena itu struktur lengkapnya dapat dibaca sebagai: “Keselamatan itu menetap pada dirinya.”
Kalimat deklaratif yang bekerja sebagai doa
Menariknya, meskipun strukturnya berbentuk berita (jumlah khabariyyah), fungsi sebenarnya bersifat doa. Ini lazim dalam bahasa Arab klasik: kalimat berita dipakai untuk menyampaikan harapan.
Secara pragmatis, mengucapkan “‘alaihissalām” berarti memohon, tetapi disampaikan dalam bentuk penegasan, bukan permintaan. Bentuk seperti ini memberi kesan bahwa keselamatan itu sudah pantas atau bahkan sudah seharusnya dimiliki oleh tokoh tersebut.
Pergeseran fungsi: dari Khabari menjadi Insha’i
Di sinilah titik yang sering luput: frasa ini tampak informatif, tetapi bekerja sebagai kalimat performatif. Dalam ilmu balaghah, ini disebut khabar yufīdu al-du‘ā’—kalimat berita yang fungsinya doa.
Bahasa Arab memungkinkan konversi seperti itu, dan dalam konteks frasa “‘alaihissalām”, bentuknya justru memperhalus adab berbahasa. Pembicara tidak terkesan “memerintah” Allah, tetapi memohon dengan pilihan kata yang lebih beradab.
Jadi, jika disebut Nabi Adam ‘alaihissalām, ungkapan itu bukan sekadar formalitas. Ia menegaskan bahwa keselamatan, penjagaan, dan kemuliaan sudah “menetap” pada beliau. Kata salām membawa doa dan penghormatan, sementara ‘alaihi menunjukkan arah doa itu—kepada Nabi Adam. Bersama-sama, frasa ini menjadi pengakuan adab yang halus dan sarat makna.