Basmalah dalam Sholat: Dibaca Keras atau Pelan?

Pernahkah Anda mengikuti shalat berjamaah lalu mendapati imam di satu masjid mengeraskan basmalah, sementara imam di masjid lain membacanya pelan atau bahkan tidak terdengar sama sekali?

Banyak jamaah mengira ada kekeliruan, padahal kedua praktik itu sama-sama memiliki landasan fikih dan sejarah periwayatan yang kuat. Kebingungan muncul karena kebanyakan dari kita hanya melihat hasil akhirnya—cara imam membaca—tanpa menelusuri akar perbedaan yang tumbuh dari ilmu tafsir, hadis, dan keragaman mazhab.

Untuk menjawab tanda tanya tersebut, langkah terbaik adalah kembali pada sumbernya: bagaimana ulama menilai status basmalah dalam Al-Qur’an serta bagaimana sahabat menggambarkan cara Rasulullah ﷺ membaca Al-Fatihah dalam salat. Dari kacamata inilah kita bisa memahami bahwa variasi bacaan bukanlah penyimpangan, melainkan bagian dari khazanah ilmiah Islam yang kaya dan teruji lintas generasi.

Setelah mengetahui titik berbedanya penilaian ulama mengenai status basmalah, kini kita masuk pada implikasi praktisnya: bagaimana perbedaan teori itu menjelma menjadi praktik nyata dalam salat.

Di sini, dua arus dalil tampil dengan sama-sama kokoh, namun bersumber dari pengalaman sahabat dan jalur periwayatan yang berbeda.

A. Membaca Basmalah dengan Suara Keras

Kelompok pertama bersandar pada riwayat sahabat yang terkenal sangat teliti saat meriwayatkan bacaan Nabi ﷺ. Nama-nama seperti Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Mu‘awiyah menyampaikan catatan yang menunjukkan bahwa basmalah bukan sekadar pembuka surah, tetapi benar-benar dibacakan dengan suara keras dalam salat jahr.

Beberapa riwayat sahih memperkuat posisi ini. Abu Hurairah pernah mengeraskan basmalah ketika menjadi imam, lalu berkata bahwa itu adalah cara salat yang paling mirip dengan salat Nabi. Dari Ummu Salamah, terdapat tambahan detail bahwa Rasulullah membaca Al-Fatihah ayat demi ayat—termasuk basmalah—dengan pemenggalan yang jelas. Riwayat Anas pun menggambarkan bahwa bacaan bismillāhir-raḥmānir-raḥīm memiliki tarikan yang lebih panjang dibandingkan ayat sesudahnya.

Sekumpulan riwayat ini menjadi fondasi kuat mazhab Syafi’i dalam menetapkan bahwa basmalah termasuk ayat pertama Al-Fatihah dan karena itu dikeraskan dalam salat jahr. Pendekatan ini selaras dengan pola argumentasi Syafi’iyyah yang menempatkan presisi periwayatan bacaan Nabi sebagai indikator utama.

B. Membaca Basmalah Pelan atau Tidak Jahr

Arus kedua, yang diikuti mayoritas ulama Maliki, Hanafi, Sauri, dan sebagian pendapat dalam mazhab Hanbali, mengedepankan riwayat yang menggambarkan bahwa Rasulullah ﷺ memulai bacaan langsung dari al-ḥamdu lillāhi rabbil ‘ālamīn tanpa mengeraskan basmalah.

Riwayat Aisyah menjadi salah satu rujukan penting: beliau menegaskan bahwa Nabi memulai bacaan Al-Fatihah tanpa basmalah terdengar.

Riwayat dari Anas juga sejalan, menyebut bahwa Nabi, Abu Bakar, Umar, dan Utsman membuka bacaan langsung dari ayat pertama Al-Fatihah. Sementara itu, Ibn Mughaffal secara tegas menyatakan keberatannya terhadap bacaan keras basmalah karena dianggap tidak sesuai kebiasaan Nabi.

Akibatnya, dalam tradisi fikih arus kedua ini, bacaan basmalah tidak dikeraskan; bahkan dalam mazhab Malikiyyah, sebagian imam meninggalkannya sama sekali dalam salat jahr. Pendekatan ini lahir dari pembacaan riwayat yang menekankan kestabilan praktik salat para khalifah dan sahabat utama, serta hitungan ayat Al-Fatihah yang tidak memasukkan basmalah sebagai bagian ayat pertama.