Fadhailul A‘mal – Konsep, Dalil, dan Praktik

Kalau bicara soal Fadhailul A‘mal, kita sebenarnya sedang menyentuh satu khazanah penting dalam ilmu hadits dan tradisi ibadah sebagian umat Islam. Istilah ini sering muncul dalam kitab-kitab klasik, pengajian masyarakat, hingga amalan populer sehari-hari. Ia menjadi semacam jembatan yang menghubungkan antara teks-teks agama dengan semangat ibadah umat di berbagai generasi.

Di satu sisi, topik ini menghadirkan nuansa targhīb wa tarhīb—dorongan beramal dengan janji pahala, serta peringatan dengan ancaman siksa. Di sisi lain, ia juga menjadi bahan perdebatan metodologis: sejauh mana riwayat-riwayat lemah boleh dipakai untuk membangun motivasi ibadah. Justru di sinilah menariknya: Fadhailul A‘mal bukan sekadar kumpulan cerita pahala, tapi juga bagian dari diskursus keilmuan yang terus hidup di tengah umat.

Maka, membicarakan Fadhailul A‘mal berarti membicarakan sejarah penyebaran semangat beramal, peran ulama dalam membimbing umat, serta cara tradisi Islam merawat keutamaan ibadah. Semua ini akan kita telusuri lebih dalam dalam pembahasan berikutnya.

Apa Itu Fadhailul A‘mal?

Secara bahasa, fadhail adalah jamak dari fadhilah yang berarti keutamaan, sedangkan a‘mal jamak dari ‘amal yang artinya perbuatan. Jadi, makna sederhananya: keutamaan-keutamaan amal.

Dalam kerangka Ahlussunnah wal Jama‘ah, istilah ini dipakai untuk menjelaskan betapa luas pintu kebaikan yang Allah bukakan lewat amal sholeh. Bukan cuma perkara wajib seperti shalat lima waktu atau puasa Ramadhan, tapi juga ibadah sunnah yang sering disebut sunah nawafil. Misalnya:

  • Dzikir dan wirid harian,
  • Membaca Al-Qur’an termasuk surat-surat tertentu,
  • Shalawat kepada Nabi ﷺ,
  • Puasa sunnah seperti Senin-Kamis atau Ayyamul Bidh,
  • Sedekah dan infak,
  • I‘tikaf dan doa-doa mustajab.

Nah, di sinilah para ulama hadits seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibn al-Mubarak, sampai pembahasan modern dalam kitab Ulumul Hadits wa Musthalahuhu karya Subhi Shalih, banyak memberi catatan. Mereka menegaskan bahwa ada ruang khusus bagi riwayat hadits—baik shahih, hasan, bahkan dha‘if—ketika membahas bab fadhailul a‘mal atau hadits keutamaan amal.

Bagi kalangan NU dan mayoritas pengikut Ahlussunnah, Fadhailul A‘mal bukan sekadar teori. Ia jadi landasan dalam banyak tradisi ibadah kolektif: tahlil, yasinan, maulid, shalawat berjamaah, dan berbagai amaliah yang tumbuh dari keyakinan bahwa amal sunnah punya fadhilah besar untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Dalil Qur’an dan Sunnah tentang Fadhailul A‘mal

Konsep fadhailul a‘mal tidak lahir dari ruang kosong. Ia memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Banyak ayat yang memberi motivasi untuk memperbanyak amal sholeh, sekalipun berupa ibadah sunnah dan kebajikan kecil.

Allah berfirman:

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

“Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 148)

Ayat ini menunjukkan bahwa amal kebajikan —baik yang wajib maupun sunnah— punya nilai kompetisi di sisi Allah. Bahkan amalan sunnah seperti shalat rawatib, dzikir pagi-petang, atau puasa sunnah bisa menjadi sarana mendekatkan diri dan meraih ridha-Nya.

Sementara dalam hadits, Rasulullah ﷺ banyak sekali menyebut fadhilah ibadah. Misalnya hadits shahih riwayat Muslim tentang keutamaan shalat sunnah rawatib:

“Barang siapa shalat dua belas rakaat dalam sehari semalam, Allah bangunkan untuknya sebuah rumah di surga.” (HR. Muslim)

Contoh lain, keutamaan dzikir sebagaimana disebutkan dalam HR. Bukhari-Muslim: “Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Tuhannya dengan yang tidak berdzikir, seperti orang hidup dan orang mati.”

Dalam disiplin ilmu hadits, hadits shahih dan hasan menjadi pijakan utama untuk menetapkan fadhilah amal.

Adapun hadits dha‘if, mayoritas ulama Ahlussunnah wal Jama‘ah seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibn al-Mubarak membolehkannya dengan syarat: tidak terlalu lemah, tidak bertentangan dengan kaidah syariat, dan diamalkan sekadar motivasi, bukan keyakinan hukum.

Inilah mengapa dalam tradisi NU, amalan-amalan sunnah yang disertai fadhilah dari hadits —baik shahih maupun dha‘if yang memenuhi syarat— tetap dihidupkan. Prinsipnya sederhana: memperbanyak jalan kebaikan agar seorang hamba lebih dekat kepada Allah.

Posisi Hadits Dha‘if dalam Fadhailul A‘mal

Topik paling sering diperdebatkan dalam kajian fadhailul a‘mal adalah penggunaan hadits dha‘if. Sebagian orang menolak total, namun mayoritas ulama Ahlussunnah wal Jama‘ah membolehkannya dengan syarat tertentu. Pandangan ini didukung oleh nama-nama besar seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibn al-Mubarak, dan ulama kontemporer seperti Subhi Shalih dalam kitabnya Ulumul Hadits wa Musthalahuhu.

Menurut mereka, hadits dha‘if boleh dipakai untuk memotivasi ibadah tambahan, dzikir, wirid, shalawat, sedekah, atau amal sholeh lainnya — selama tidak terkait dengan penetapan hukum halal-haram atau akidah. Kaidah ini sering dirumuskan dengan istilah: “Yata‘amalu bil-hadits ad-dha‘if fi fadhailil a‘mal.”

Syarat yang disepakati para ulama antara lain:

  • Hadits dha‘if tersebut tidak terlalu lemah (bukan maudhu‘ atau munkar).
  • Amalan yang dianjurkan sudah memiliki dasar umum dari Qur’an atau Sunnah shahih.
  • Diamalkan dengan niat motivasi (targhib wa tarhib), bukan meyakini sebagai kewajiban syar‘i baru.

Misalnya, banyak riwayat tentang keutamaan shalawat kepada Nabi ﷺ, walaupun tidak semuanya shahih. Namun, karena shalawat jelas diperintahkan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Ahzab: 56), maka hadits dha‘if dalam hal ini dapat berfungsi sebagai penguat semangat beramal.

Dalam tradisi NU dan mayoritas pesantren Ahlussunnah, sikap moderat ini dipegang teguh. Amalan populer seperti tahlil, yasinan, atau wirid tertentu yang bersumber dari hadits dha‘if, tetap dijalankan sepanjang tidak bertentangan dengan syariat. Bagi mereka, yang lebih penting adalah esensi: memperbanyak amal kebajikan untuk mengharap ridha Allah.

Dengan demikian, posisi hadits dha‘if dalam fadhailul a‘mal bukanlah bentuk kelemahan metodologis, melainkan strategi tarbiyah ruhaniyah yang sudah dipraktikkan ulama salaf untuk menghidupkan semangat ibadah sunnah di tengah umat.

Kontroversi Penolakan Hadits Dha‘if dan Bantahannya

Perdebatan tentang penggunaan hadits dha‘if dalam fadhailul a‘mal bukanlah isu baru. Sejak masa klasik, sebagian ulama memang menolak pemakaiannya secara mutlak. Mereka berpegang pada prinsip kehati-hatian (ihtiyath) agar tidak menisbatkan sesuatu kepada Nabi ﷺ tanpa dasar yang kuat. Pendekatan ketat seperti ini banyak ditemui pada kalangan ahli hadits tertentu yang hanya mau beramal dengan riwayat shahih atau hasan.

Namun, sikap penolakan mutlak ini dibantah oleh mayoritas ulama Ahlussunnah. Imam Ahmad bin Hanbal misalnya, dikenal sangat hati-hati dalam riwayat hukum, tetapi tetap membolehkan penggunaan hadits dha‘if dalam konteks targhib wa tarhib (dorongan dan peringatan). Ibn al-Mubarak pun menegaskan hal yang sama: hadits dha‘if bisa dipakai untuk menumbuhkan semangat ibadah, selama tidak menyangkut halal-haram atau penetapan hukum syar‘i baru.

Ulama kontemporer seperti Subhi Shalih dalam Ulumul Hadits wa Musthalahuhu juga mencatat hal ini. Ia menjelaskan bahwa perbedaan pandangan lahir karena beda metodologi: apakah fadhailul a‘mal dipandang setara dengan hukum syariat atau sekadar sarana tarbiyah ruhiyah. Tradisi Ahlussunnah wal Jama‘ah, termasuk ormas seperti NU, menegaskan bahwa hadits dha‘if tetap sah digunakan dalam ranah keutamaan amal, selama memenuhi tiga syarat: tidak terlalu lemah, sesuai dengan dalil umum Al-Qur’an atau hadits sahih, dan tidak diyakini sebagai kewajiban baru.

Dari sini jelas bahwa penolakan mutlak terhadap hadits dha‘if lebih merupakan pilihan metodologis yang minoritas. Sementara itu, praktik mayoritas ulama sepanjang sejarah Islam justru menjadikan hadits dha‘if sebagai bagian penting dari pengajaran dzikir, wirid, shalawat, puasa sunnah, hingga sedekah. Inilah yang menjadikan fadhailul a‘mal tetap hidup dan diterima luas dalam tradisi umat Islam.

Untuk lebih jelasnya, silahkan baca Tiga Pendapat tentang Hadis Dhaif dalam Fadhailul A’mal di sini.

Contoh Fadhailul A‘mal dalam Kehidupan Sehari-hari

Setelah memahami landasan Qur’an dan Sunnah, serta posisi hadits dha‘īf dalam ranah keutamaan amal, kini kita masuk ke contoh aplikatif.

Inilah sejumlah fadhailul a‘mal yang populer diamalkan umat Islam sehari-hari, meski sebagian besar riwayatnya berstatus dha‘īf atau dha‘īf li-ghayrihi.

Perlu digarisbawahi: amalan-amalan ini hanya digunakan untuk targhīb (dorongan ibadah) dan tidak boleh dijadikan hujjah hukum (ahkām). Bahkan para ulama seperti Imam Ahmad, Ibn al-Mubarak, hingga ulama kontemporer menekankan pentingnya menyebutkan status sanadnya.

No Amalan Ringkasan Hadis Derajat Sanad Rujukan / Keterangan
1 Membaca Surah Al-Wāqi‘ah setiap malam “Barangsiapa membaca Surat Al-Wāqi‘ah setiap malam, dia tidak akan ditimpa kefakiran.” Dha‘īf li-ghayrihi Dihasankan al-Albānī (Zawāʾid al-Majmaʿ)
2 Membaca Surah Al-Mulk setiap malam “Surat Tabāraka (Al-Mulk) akan memberi syafaat bagi pembacanya hingga diampuni.” Dha‘īf At-Tirmidhī (Zawāʾid al-Tirmidhī)
3 Membaca Surah Yasin pada pagi Jum‘at “Pembacaan Yā-Sīn di pagi Jum‘at memudahkan urusan dan menambah rezeki.” Dha‘īf li-ghayrihi Ibn Mājah (Zawāʾid)
4 Membaca Surah Al-Kahfi pada hari Jum‘at “Barangsiapa membaca Al-Kahf di hari Jum‘at, akan disinari cahaya di antara dua Jum‘at.” Dha‘īf Ibn Ḥibbān (Zawāʾid)
5 Membaca Surah Al-Ikhlāṣ sepuluh kali “Membaca Qul huwallāhu Aḥad sepuluh kali menyamai sepertiga Al-Qur’ān.” Dha‘īf Ahmad & al-Bayhaqī (Zawāʾid)
6 Membaca Surah Adh-Dhuhā dan Al-Layl “Membaca Adh-Dhuhā dan Al-Layl setiap hari menghapus kesedihan dan menambah rezeki.” Dha‘īf li-ghayrihi Dihasankan al-Albānī
7 Membaca Surah Ar-Raḥmān “Ayat Ar-Raḥmān dapat menyembuhkan penyakit hati bagi yang membacanya.” Dha‘īf Al-Ḥākim (Zawāʾid)

Contoh-contoh di atas menunjukkan bagaimana fadhailul a‘mal hadir sebagai sarana memperkaya ibadah harian: mulai dari dzikir, wirid, shalawat, hingga bacaan surah-surah tertentu.

Ulama Ahlussunnah menekankan bahwa meski sanadnya lemah, semangat yang dikandungnya tetap sah untuk memotivasi umat memperbanyak amal sholeh, seperti puasa sunnah dan sedekah. Inilah yang menjadikan tradisi fadhailul a‘mal tetap relevan dan hidup di tengah masyarakat Islam hingga kini.

Penutup: Fadhā’ilul A‘māl sebagai Pilar Motivasi

Jika ditarik benang merah dari seluruh pembahasan, fadhā’ilul a‘māl bukanlah instrumen untuk menetapkan hukum syarī‘ah. Ia tidak boleh diposisikan sebagai dasar halal–haram atau wajib–haram. Sebaliknya, para ulama menempatkannya dalam ranah targhīb, yaitu memotivasi umat Islam agar rajin beribadah dan memperbanyak amal sholeh.

Inilah kenapa sejak generasi salaf hingga ulama kontemporer, hadits-hadits berstatus dha‘īf atau dha‘īf li-ghayrihi masih diberi ruang dalam bab fadhā’ilul a‘māl—tentu dengan syarat jelas sanadnya dan tidak bertentangan dengan nash yang sahih.

Tujuannya sederhana: membangkitkan semangat umat agar terus berbuat baik, meski hanya dengan amalan ringan seperti dzikir harian, membaca surah-surah tertentu, shalawat, sedekah kecil, hingga puasa sunnah.

Pilar ini menegaskan bahwa tradisi fadhā’ilul a‘māl adalah warisan penting dalam Ahlussunnah wal Jamā‘ah. Ia menjaga ritme spiritual kaum muslimin sehari-hari, menghubungkan ibadah dengan motivasi, dan memberi ruang luas bagi umat untuk terus mendekat kepada Allah dengan penuh harapan dan semangat.

Wallāhu a‘lam.