Hari Asyura: Sejarah, Keutamaan, dan Amalan 10 Muharram yang Sayang Dilewatkan

Setiap tanggal 10 Muharram, umat Islam di berbagai belahan dunia memperingati sebuah momentum yang tak hanya sakral secara sejarah, tapi juga sarat dengan pesan kemanusiaan dan keimanan. Hari itu dikenal sebagai Hari Asyura — yang tahun ini jatuh pada 6 Juli 2025, bertepatan dengan 10 Muharram 1447 H.

Bagi sebagian orang, Asyura mungkin hanya identik dengan puasa sunah. Tapi sebenarnya, ruang makna Asyura jauh lebih luas dari itu. Ia merupakan simpul sejarah panjang umat manusia: dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad ﷺ, dari kisah pengampunan, penyelamatan, hingga peneguhan iman dalam menghadapi ujian hidup. Di hari inilah, Allah menerima tobat Nabi Adam, menyelamatkan Nabi Musa dari Fir’aun, mengeluarkan Nabi Yunus dari perut ikan, dan menyembuhkan Nabi Ayyub dari penyakit berat. Tujuh peristiwa besar yang tercatat dalam literatur Islam, semuanya berpijak pada satu hari: Asyura.

Lebih dari sekadar hari peringatan, Asyura menjadi peta jalan spiritual — mengingatkan kita bahwa hidup selalu berada dalam skenario Ilahi: ada masa jatuh, tapi juga ada saat pertolongan datang; ada fase gelap, tapi selalu diikuti fajar yang menyingsing. Ketika kita membaca ulang kisah-kisah para Nabi yang diabadikan pada Asyura, kita sedang diajak untuk melihat kembali bagaimana seharusnya seorang hamba bersikap: sabar, ikhlas, terus berjuang, dan bersandar pada kuasa Allah.

Tentu saja, Rasulullah ﷺ tidak melewatkan hari ini begitu saja. Beliau bahkan menjadikan puasa di hari Asyura sebagai sunnah muakkadah yang dijalankan dengan penuh kesungguhan. Dikatakan bahwa puasa Asyura dapat menghapus dosa setahun yang telah lalu. Lebih dari itu, beliau mendorong umatnya untuk menyertainya dengan puasa pada tanggal 9 Muharram (Tasu’a), agar berbeda dari praktik kaum Yahudi, sekaligus memperluas cakupan ibadah dan keteladanan.

Namun Asyura bukan hanya ibadah lahiriah. Ia adalah momentum untuk tafakkur — merenungkan kembali posisi kita sebagai hamba Allah di tengah ujian zaman. Apa makna pengampunan bagi kita hari ini? Bagaimana kita memaknai pertolongan Ilahi di tengah krisis ekonomi, tekanan hidup, atau pergolakan batin? Apa makna sabar dan istiqamah ketika dunia menawarkan kemudahan instan dan jalan pintas?

Artikel Islami ala Nahwu.id ini akan membawa Anda menyelami dimensi-dimensi Asyura: dari asal-usul namanya, peristiwa besar yang terjadi, ibadah yang dianjurkan, keutamaan yang dijanjikan, hingga renungan aplikatif untuk hidup modern. Dengan menyatukan dalil, hikmah ulama, dan konteks kekinian, kita akan menjelajahi bagaimana satu hari dalam kalender Hijriyah ini dapat menjadi titik balik spiritual bagi siapa saja yang ingin kembali kepada Allah — dengan sadar, jujur, dan utuh.

Asal-Usul Nama Asyura dan Kedudukannya dalam Islam

Secara bahasa, Asyura (عاشوراء) berasal dari akar kata Arab ‘-sy-r (ع-ش-ر) yang berarti “sepuluh”. Bentuk dasarnya adalah ‘asyarah (عَشَرَة), yang secara umum digunakan untuk menyebut bilangan sepuluh. Namun, ketika menunjuk pada hari ke-10 di bulan Muharram, kata ini berkembang menjadi bentuk khusus: Asyura.

Para ahli bahasa Arab menjelaskan bahwa kata ‘Āsyūrā’ adalah bentuk ‘udūl — yaitu perubahan dari bentuk baku — dengan pola fa‘ūlā’ (فاعُولاء). Pola ini biasanya dipakai untuk memberikan kesan agung atau mulia pada suatu kata. Imam Abu Manshūr al-Lughawī dan Imam al-Jauharī menyebut bentuk ini bisa dibaca mamdūd (panjang: عاشُوراء) maupun maqṣūr (pendek: عاشورى). Sementara itu, ahli bahasa lainnya seperti Abu ‘Amr as-Syaibānī membolehkan kedua versi bacaan tersebut.

Beberapa ulama juga mencatat bahwa penggunaan bentuk ini kemungkinan dipengaruhi oleh pola fonetik bahasa Ibrani (Ibrī), mengingat istilah ini telah dikenal oleh komunitas Yahudi sebelum masa Islam sebagai hari penting dalam sejarah mereka — hari diselamatkannya Nabi Musa dari kejaran Fir‘aun.

Menariknya, menurut penafsiran simbolik Imam Badruddin al-‘Ayni, nama Asyura tidak hanya merujuk pada urutan hari kesepuluh, tapi juga menyiratkan sepuluh bentuk kemuliaan yang Allah anugerahkan kepada para nabi di hari itu. Sepuluh nabi yang masing-masing menerima mukjizat atau pertolongan Allah pada 10 Muharram menegaskan bahwa hari ini adalah momen sejarah yang sangat istimewa.

Dalam konteks kalender Islam, 10 Muharram jatuh di bulan Muharram, yang merupakan salah satu dari empat bulan suci dalam Islam. Allah menyebut bulan-bulan ini dalam Al-Qur’an:

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi; di antaranya empat bulan haram.”
(QS. At-Taubah: 36)

Rasulullah ﷺ sendiri menyebut Muharram sebagai “bulan Allah” (شهرُ اللهِ), menunjukkan tingginya kedudukan bulan ini di sisi-Nya. Dalam hadis sahih, beliau bersabda:

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram.”
(HR. Muslim no. 1163)

Karena itu, Hari Asyura tidak bisa dipandang sekadar sebagai tanggal ke-10 dalam kalender Hijriyah. Ia memiliki muatan historis, bahasa, dan nilai ibadah yang telah dikenal bahkan sebelum Islam diturunkan secara sempurna. Kaum Quraisy masa jahiliyah juga telah mengenalnya dan berpuasa pada hari itu. Ketika Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi juga berpuasa Asyura. Nabi pun menegaskan bahwa umat Islam lebih layak menjaga makna hari tersebut:

“Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.” Lalu beliau pun berpuasa dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa.”
(HR. Bukhari no. 2004, Muslim no. 1130)

Dengan dasar ini, jelas bahwa Asyura adalah hari yang punya akar kuat dalam sejarah keimanan dan perjuangan para Nabi. Islam tidak hanya merawatnya sebagai tradisi, tetapi mengarahkannya menjadi bagian dari ibadah, introspeksi, dan penguatan nilai dalam kehidupan sehari-hari.

Dari Asyura Menjadi Suro

Dalam perjalanan lintas budaya, istilah “Asyura” mengalami pelesapan fonetik saat masuk ke wilayah Nusantara. Dalam pengucapan lidah non-Arab, vokal awal “a-” sering kali dihilangkan, lalu bunyi “sy” (/ʃ/) disederhanakan menjadi “s”. Akibatnya, muncullah bentuk yang lebih ringkas: Sura. Tak berhenti di situ, bahasa Jawa yang cenderung mengganti akhiran “-a” dengan “-o” akhirnya melahirkan istilah Suro.

Integrasi kata “Suro” dalam sistem kalender Jawa terjadi pada masa Sultan Agung dari Mataram (abad ke-17). Beliau menetapkan awal tahun Jawa mengikuti awal tahun Hijriah (Muharram), dengan sistem yang kemudian dikenal sebagai kalender Aboge (Alif Rebo Wage). Dalam sistem ini, bulan Suro menjadi bulan pertama, yang sarat nilai kontemplasi dan laku batin — sejalan dengan semangat Asyura sebagai momen refleksi dan pembenahan diri.

Jadi, ketika masyarakat Jawa menyebut “malam satu Suro” sebagai malam yang sakral, sesungguhnya mereka sedang meresapi gema dari hari Asyura dalam versi lokal. Makna dan nuansa keagungan tetap ada, meski bentuk bahasanya berbeda.

7 Peristiwa Penting pada Asyura

Salah satu alasan mengapa Hari Asyura begitu dimuliakan dalam tradisi Islam adalah karena ia menjadi saksi atas berbagai peristiwa luar biasa yang dialami oleh para Nabi. Menurut sejumlah riwayat dari kalangan ahli tafsir dan ulama sirah, 10 Muharram</strong merupakan hari diturunkannya pertolongan, ampunan, dan keajaiban dari Allah bagi para utusan-Nya. Bukan satu atau dua, tapi tujuh peristiwa besar yang terekam pada tanggal yang sama.

No Peristiwa Nabi
1 Tobat diterima oleh Allah Adam ‘alaihis salam
2 Kapal Nabi Nuh berlabuh di Bukit Judi Nuh ‘alaihis salam
3 Diselamatkan dari api Namrūd Ibrahim ‘alaihis salam
4 Dilepaskan dari penjara Mesir Yusuf ‘alaihis salam
5 Keluar dari perut ikan besar Yunus ‘alaihis salam
6 Sembuh dari penyakit berat Ayyub ‘alaihis salam
7 Diselamatkan saat menyeberang Laut Merah Musa ‘alaihis salam

Setiap peristiwa ini bukan hanya catatan sejarah keagamaan, tapi juga memuat pesan-pesan penting bagi kehidupan umat Islam masa kini. Mari kita renungi satu per satu secara ringkas.

1. Nabi Adam: Tobat yang Diterima

Setelah diturunkan dari surga karena tergoda rayuan Iblis, Nabi Adam berdoa dengan tulus meminta ampunan. Di hari Asyura, Allah menerima tobatnya. Ini adalah pelajaran penting: bahwa kesalahan bisa dimaafkan, asalkan ada kejujuran dalam meminta ampun dan keinginan untuk kembali ke jalan yang benar.

2. Nabi Nuh: Akhir dari Bencana

Setelah menghadapi banjir besar yang menyapu dunia, kapal Nabi Nuh akhirnya berlabuh di Bukit Judi pada 10 Muharram. Peristiwa ini mengajarkan bahwa ujian seberat apapun akan ada akhirnya — dan setiap pelaut dalam badai akan menemukan pelabuhan, selama ia tetap berada dalam kebenaran.

3. Nabi Ibrahim: Selamat dari Api

Ketika Raja Namrūd membakar Nabi Ibrahim karena menolak menyembah berhala, Allah menjadikan api itu dingin dan menyelamatkannya. Peristiwa ini menguatkan kita bahwa keimanan yang teguh akan selalu membawa perlindungan, bahkan dari bahaya yang paling mustahil dihindari.

4. Nabi Yusuf: Dilepaskan dari Penjara

Nabi Yusuf yang difitnah dan dipenjara secara tidak adil, akhirnya dibebaskan dan diangkat menjadi pemimpin. Ini bukti bahwa kebenaran pada akhirnya akan menang, meski harus melewati jalan panjang penuh ujian.

5. Nabi Yunus: Keluar dari Perut Ikan

Setelah sempat meninggalkan kaumnya karena kecewa, Nabi Yunus ditelan ikan besar. Ia kemudian memohon ampun dalam kesendirian, dan pada hari Asyura Allah mengeluarkannya dari kegelapan. Kisah ini mengingatkan kita: jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah, bahkan di titik terendah hidup kita.

6. Nabi Ayyub: Sembuh dari Penyakit

Setelah diuji dengan penyakit yang berat dan kehilangan semua harta dan anak, Nabi Ayyub tetap bersabar. Allah menyembuhkannya pada hari Asyura sebagai balasan atas ketabahan dan ketawakalan. Ini memberi pesan bahwa sabar adalah pintu menuju kesembuhan dan pengganti yang lebih baik.

7. Nabi Musa: Terbelahnya Laut Merah

Peristiwa yang paling dikenal terkait Asyura adalah penyelamatan Nabi Musa dan Bani Israil dari kejaran Fir‘aun. Allah membelah Laut Merah dan menenggelamkan Fir‘aun serta pasukannya. Peristiwa inilah yang juga menjadi dasar puasa Asyura sebagaimana diteladankan Rasulullah ﷺ ketika beliau tiba di Madinah.

Dari tujuh kisah ini, kita bisa melihat bahwa Asyura adalah hari yang penuh pengingat tentang pertolongan Allah. Tidak ada Nabi yang bebas dari ujian, tapi semua ujian itu berujung pada kemenangan — selama mereka bersabar, terus bertawakal, dan tidak menyerah.

Asyura dalam Tradisi Dunia Islam

Hari Asyura tidak hanya hidup dalam kitab dan hadis, tetapi juga tercermin dalam kebudayaan Muslim di berbagai penjuru dunia. Meskipun bentuknya berbeda-beda, semua tradisi itu memiliki napas yang sama: mengenang perjuangan orang-orang yang mencintai kebenaran, menghidupkan semangat kepedulian, serta memperkuat rasa kebersamaan dalam komunitas Muslim.

Iran: Panggung Sunyi Ta’ziyah dan Simbol Duka yang Mendalam

Di Iran, peringatan Asyura menjadi bagian penting dari identitas Syiah. Salah satu tradisi yang menonjol adalah ta’ziyah, yaitu pertunjukan drama yang menggambarkan kisah wafatnya Husain bin Ali di Karbala. Uniknya, drama ini dijalankan tanpa dialog — para aktor hanya bergerak penuh ekspresi, menciptakan suasana sunyi yang menyayat.

Selain itu, warga melakukan sinahzan (memukul dada), zanjirzan (memukul punggung dengan rantai), dan syamsirzan (melukai dahi dengan benda tajam). Simbol “nakhl” berupa kerangka kayu besar diarak, melambangkan jenazah Husain. Semua ini dianggap sebagai cara mengekspresikan kesedihan mendalam atas tragedi Karbala.

Irak: Long March ke Karbala dan Lautan Air Mata

Di Irak, jutaan orang melakukan long march dari Kufah ke Karbala untuk ziarah ke makam Imam Husain, dalam rangkaian peringatan Arbain (40 hari setelah Asyura). Sepanjang jalan, warga saling memberi makanan dan air kepada peziarah. Pembacaan kisah perjuangan Husain (maqtal) dan pukul dada ritmis (latmiyah) menjadi bagian dari suasana berkabung massal yang menyentuh hati.

Turki: Bubur Asyura sebagai Simbol Persatuan

Di Turki, Hari Asyura dikenal sebagai Aşure Günü. Warga memasak bubur aşure yang terdiri dari gandum, kacang-kacangan, buah kering, dan rempah — lalu dibagikan kepada tetangga. Meski Turki didominasi Sunni, tradisi ini tetap dijalankan dan bahkan didukung oleh pemerintah, sebagai bentuk kebersamaan dan penghargaan atas sejarah Islam.

India & Pakistan: Prosesi Jalan Kaki dan Drama Karbala

Komunitas Syiah di India dan Pakistan menggelar juloos — prosesi jalan kaki yang dimulai dari masjid dan berakhir di jalan-jalan kota. Sepanjang prosesi, peserta melakukan matam dengan tangan kosong atau rantai untuk mengekspresikan duka atas syahidnya Husain bin Ali.

Di beberapa daerah, juga digelar pertunjukan ta’ziya versi lokal — lengkap dengan kostum dan dialog — yang menggambarkan kembali tragedi Karbala. Meski bentuknya teatrikal, esensinya tetap sama: menghidupkan kembali semangat keteguhan dan pengorbanan.

Indonesia: Bubur Asyura, Tabut, dan Larangan Menikah

Di Nusantara, peringatan Asyura punya warna khas. Warga di berbagai daerah menyiapkan bubur Asyura dengan puluhan bahan, lalu dibagikan ke tetangga dan kaum dhuafa. Tradisi ini hidup di Aceh, Minangkabau, Bugis, hingga Betawi, sebagai wujud kepedulian sosial dan rasa syukur.

Di Bengkulu dan Sumatera Barat, terdapat tradisi Tabut, yaitu arak-arakan peti berhias daun pisang yang kemudian dibuang ke laut. Di beberapa kampung Jawa, terdengar teriakan “Hayya Husain” diiringi pembacaan maqtal. Ada pula keyakinan untuk tidak menikah di bulan Muharram — sebagai bentuk menjaga kekhusyukan bulan yang penuh peringatan ini.

Yaman: Duka dan Derma di Tengah Konflik

Di Yaman, peringatan Asyura ditandai dengan majlis duka yang diadakan di masjid dan ruang terbuka. Umat membaca syair Karbala dan melakukan prosesi juloos serta matam secara massal. Namun yang paling mengesankan adalah semangat berbagi: warga membagikan makanan sederhana kepada fakir miskin sebagai bentuk amal di hari mulia.

Mengapa Tradisi Berbeda Tapi Nilainya Sama?

Jika dilihat sepintas, berbagai ekspresi Asyura di atas tampak sangat berbeda satu sama lain. Ada yang hening dan teatrikal, ada yang ramai dan penuh tangis, ada yang sarat simbol, ada pula yang sederhana seperti berbagi bubur. Tapi di balik semua itu, ada nilai yang sama yang menyatukan mereka: kesadaran akan pengorbanan, rasa duka atas kezaliman, dan semangat untuk meneladani orang-orang yang teguh membela kebenaran.

Inilah pelajaran penting untuk kita semua. Bahwa peringatan Asyura — baik dilakukan dengan ibadah, zikir, ziarah, maupun gotong royong — bukan soal bentuk luar semata. Yang terpenting adalah bagaimana kita memaknai sejarah itu dalam hidup hari ini: adakah kita menegakkan keadilan? Menolong yang tertindas? Berani berkata benar meski sendiri?

Hukum, Dalil, dan Amalan Sunnah di Hari Asyura

Di tengah beragam ekspresi budaya yang mewarnai peringatan Asyura, Islam tetap memberikan pedoman yang jernih tentang apa yang dianjurkan dilakukan pada hari ke-10 Muharram. Rasulullah ﷺ telah memberikan contoh, bukan hanya melalui sabda, tapi juga langsung melalui praktik yang diikuti oleh para sahabat. Dalam semangat ini, umat Islam dianjurkan untuk memanfaatkan hari Asyura sebagai momen memperkuat keimanan, bukan memperlebar perbedaan.

Puasa Asyura: Sunnah yang Ditekankan

Amalan yang paling utama dan disepakati pada Hari Asyura adalah berpuasa. Rasulullah ﷺ sendiri menjalankan puasa pada tanggal 10 Muharram dan menganjurkan umatnya untuk mengikutinya. Dalam sebuah hadis sahih, beliau bersabda:

“Puasa Asyura menghapus dosa setahun yang lalu.”
(HR. Muslim no. 1162)

Puasa ini termasuk sunnah muakkadah — artinya sangat dianjurkan, meski tidak wajib. Bahkan sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, puasa Asyura pernah menjadi kewajiban di masa awal Islam. Setelah Ramadhan diwajibkan, statusnya menjadi sunnah, namun keutamaannya tetap besar.

Agar tidak menyerupai kebiasaan umat terdahulu, Rasulullah ﷺ menyarankan untuk menambah satu hari puasa sebelum atau sesudah Asyura. Dari Ibnu Abbas, Nabi ﷺ bersabda:

“Jika aku masih hidup sampai tahun depan, aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Tasu’a).”
(HR. Muslim no. 1134)

Berdasarkan hadis ini, mayoritas ulama menganjurkan kombinasi puasa Tasu’a (9 Muharram) dan Asyura (10 Muharram), atau bahkan ditambah 11 Muharram untuk menyempurnakan ibadah dan membedakan diri dari tradisi lain.

Amalan Lain yang Diperbolehkan

Selain puasa, beberapa amalan lain yang biasa dilakukan di Hari Asyura, selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat, bisa bernilai ibadah jika diniatkan dengan baik:

  • Mengaji atau membaca kisah para nabi sebagai sarana tafakur dan mengambil hikmah dari sejarah mereka.
  • Menyantuni anak yatim, dhuafa, atau tetangga sebagai bentuk syukur dan kepedulian sosial.
  • Berdoa dan introspeksi diri agar lebih dekat kepada Allah dan lebih kuat dalam menghadapi ujian hidup.
  • Menghidupkan suasana keislaman di rumah — seperti memperbanyak dzikir, mempererat silaturahmi, dan menahan diri dari pertengkaran atau perbuatan sia-sia.

Semua ini tidak wajib, tapi bisa menjadi bentuk nyata dalam memuliakan waktu yang dimuliakan. Prinsipnya: selama tidak ada unsur syirik, berlebihan, atau menyelisihi ajaran Nabi, maka amalan baik tetap terbuka untuk dilakukan sebagai bentuk ikhtiar meneladani para Nabi dan orang saleh.

Menjauhi Perdebatan, Memperkuat Kesatuan

Sebagian masyarakat mungkin mengenal berbagai versi peringatan Asyura: ada yang menitikberatkan pada sejarah Karbala, ada yang fokus pada puasa dan doa. Perbedaan ini hendaknya tidak menjadi bahan perpecahan. Nabi ﷺ tidak pernah memerintahkan umatnya untuk saling menyalahkan dalam ibadah yang bersifat sunnah.

Yang lebih penting adalah bagaimana kita menjadikan Asyura sebagai momentum membenahi diri. Bukan hanya mengenang masa lalu, tapi juga menyusun niat baru — untuk hidup lebih jujur, lebih sabar, dan lebih peduli. Inilah inti dari Asyura: memperbaiki hubungan kita dengan Allah, sesama manusia, dan juga dengan sejarah umat yang telah mendahului kita.

Keutamaan Hari Asyura: Waktu Istimewa, Amalan Bernilai Besar

Hari Asyura bukan hanya momentum sejarah, tapi juga momen istimewa yang membawa limpahan pahala dan ampunan. Rasulullah ﷺ menaruh perhatian besar terhadap hari ke-10 Muharram ini, bahkan sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan. Sejumlah hadis menunjukkan bahwa pahala yang ditawarkan Allah di hari ini sangat besar — cukup untuk mendorong siapa pun agar tidak menyia-nyiakannya.

1. Menghapus Dosa Setahun yang Lalu

Keutamaan paling terkenal dari puasa Asyura adalah penghapusan dosa-dosa kecil selama satu tahun sebelumnya. Ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

“Puasa Asyura, aku berharap kepada Allah, akan menghapus dosa-dosa setahun yang lalu.”
(HR. Muslim no. 1162)

Bayangkan, dengan satu hari puasa — niat yang ikhlas dan amal yang ringan — seorang Muslim bisa mendapatkan pengampunan untuk dosa-dosa yang lalu. Ini bukan pengganti tobat, tapi bentuk kemurahan Allah bagi siapa pun yang ingin memperbaiki dirinya.

2. Puasa Terbaik Setelah Ramadhan

Dalam riwayat lain, Rasulullah ﷺ menyebut puasa di bulan Muharram sebagai puasa terbaik setelah Ramadhan:

“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram.”
(HR. Muslim no. 1163)

Karena itu, meskipun tidak wajib, puasa Asyura tetap sangat dianjurkan. Bahkan banyak ulama menggolongkannya sebagai puasa sunnah paling utama kedua setelah Ramadhan.

3. Dilipatgandakan Pahalanya: Seperti Berpuasa 30 Hari

Dalam riwayat lain yang dikutip oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din dan oleh ulama tafsir populer seperti al-Qurthubi, disebutkan bahwa:

“Barang siapa berpuasa di hari Asyura, maka Allah memberinya pahala seperti berpuasa selama tiga puluh hari.”

Meskipun sanadnya tidak setinggi hadis Muslim, ulama banyak menyebut keutamaan ini dalam konteks memotivasi umat. Selama tidak diyakini sebagai pasti (qath’i), amalan seperti ini boleh diamalkan sebagai pengingat bahwa setiap amal baik akan dibalas berlipat ganda di sisi Allah.

4. Diganjar Seperti Haji Ribuan Orang

Sebagian atsar ulama salaf menyebut bahwa pahala puasa Asyura sebanding dengan berhaji ribuan orang — walaupun ini bukan riwayat hadis sahih, melainkan bentuk taqrib (penggambaran besarnya pahala) yang biasa digunakan ulama terdahulu untuk menggerakkan semangat ibadah.

Pada dasarnya, ini bukan janji pasti, tapi cara untuk menunjukkan bahwa puasa di hari Asyura bukan perkara kecil. Ia bukan hanya soal menahan lapar, tapi menghidupkan warisan keimanan para nabi, dan menjadikan waktu mulia sebagai ladang amal.

5. Menghidupkan Sunnah, Menguatkan Tradisi Baik

Dengan berpuasa Asyura, seorang Muslim turut menghidupkan sunnah Rasulullah ﷺ — ini sendiri sudah bernilai pahala besar. Menghidupkan sunnah adalah bagian dari cinta kepada Nabi. Sebagaimana sabda beliau:

“Barang siapa menghidupkan sunnahku di tengah umatku… maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka.”
(HR. Tirmidzi)

Di tengah dunia yang makin cepat, kadang momen seperti ini jadi titik tenang untuk memperbaiki hubungan dengan Allah. Bukan karena hari itu magis atau mistis, tapi karena ia diisi oleh sejarah perjuangan, dan disiapkan oleh Allah sebagai ladang pahala yang luas.

Asyura: Hari Istimewa Bagi Siapa Saja

Keutamaan Asyura terbuka untuk siapa pun, tak peduli usia, status sosial, atau tingkat ilmu. Apakah hanya sempat membaca kisah Nabi Musa bersama anak? Atau hanya bisa berbagi makanan ringan ke tetangga? Atau berpuasa penuh sejak fajar? Semuanya bernilai di sisi Allah — selama ada niat baik dan usaha ikhlas di baliknya.

Maka jangan lewatkan 10 Muharram. Jadikan ia hari untuk menata niat, memperkuat tekad, dan meraih pahala yang hanya datang setahun sekali. Hari ini bukan sekadar penanda tanggal, tapi titik balik bagi mereka yang mau kembali.

Menjadikan Asyura sebagai Titik Balik Kehidupan

Dari sejarah para Nabi, dari keteladanan Rasulullah ﷺ, dan dari keragaman umat Islam di seluruh dunia, Hari Asyura mengajarkan satu hal penting: bahwa pertolongan Allah selalu dekat bagi mereka yang sabar, taat, dan tak pernah menyerah. Ia bukan sekadar tanggal ke-10 Muharram, tapi waktu yang dipenuhi jejak perjuangan, pengampunan, dan keberkahan.

Di tengah kesibukan hidup hari ini, Asyura bisa menjadi momen jeda. Sejenak kita mundur dari rutinitas, lalu mengingat kembali kisah Adam yang tobatnya diterima, Nuh yang diselamatkan dari banjir, Musa yang berhasil lolos dari kejaran Fir‘aun. Semua itu bukan dongeng, tapi cermin — bahwa siapa pun yang memegang prinsip, pasti Allah akan bukakan jalan.

Peringatan Asyura juga mengingatkan kita akan nilai keberanian. Seperti Husain bin Ali di Karbala — beliau tahu bahwa jalan kebenaran tidak selalu mudah, tapi tetap ia tempuh dengan teguh. Ini bukan hanya pelajaran sejarah, tapi pesan moral yang selalu relevan: kadang berdiri sendiri itu perlu, asalkan demi kebenaran.

Jangan lewatkan hari ini begitu saja. Walau hanya satu hari, dampaknya bisa meluas hingga hari-hari setelahnya. Cobalah puasa, walau hanya sekali. Sisihkan sedekah, walau hanya receh. Bacakan kisah nabi ke anak-anak, walau hanya satu cerita. Karena dalam Islam, tidak ada amal yang sia-sia — semua dicatat, semua dihargai.

Muharram adalah bulan Allah, dan Asyura adalah detaknya yang paling kuat. Mari kita isi hari itu bukan hanya dengan nostalgia sejarah, tapi juga dengan langkah baru. Semoga setiap kita yang membaca ini, bisa menjadikan Asyura tahun ini sebagai titik balik — menuju hidup yang lebih bersih, lebih kuat, dan lebih bernilai di sisi Allah.

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata: ‘Tuhan kami adalah Allah’, lalu mereka istiqamah, maka tidak ada rasa takut bagi mereka, dan mereka tidak bersedih.”
(QS. Al-Ahqaf: 13)