Idhafah Lafzhiyyah dan Maknawiyyah

Selain ditinjau dari huruf jar yang diperkirakan (المقدّرة), idhafah dalam tata bahasa Arab juga dapat diklasifikasikan berdasarkan fungsi dan faidah maknanya. Dalam perspektif ini, iḍāfah terbagi menjadi dua bentuk utama, yaitu:

  • Iḍāfah maʿnawiyyah (الإضافة المعنوية)

  • Iḍāfah lafẓiyyah (الإضافة اللفظية)

Pembagian ini tidak berfokus pada huruf jar yang tersembunyi, tetapi pada tujuan gramatikal dan semantik dari penggunaan iḍāfah itu sendiri: apakah bertujuan memberi makna, ataukah hanya untuk keringkasan lafal.

Pada artikel sebelumnya, kita telah menjelaskan tentang pengertian Idhafah secara umum, serta pembagian berdasarkan huruf jar yang ditakwilkan (المقدّرة), yaitu:
iḍāfah lamiyyah, bayāniyyah, ẓarfiyyah, dan tasybīhiyyah dengan contoh-contohnya.

Maka pada pembahasan kali ini, kita akan mengkaji iḍāfah dari sisi faidah maknawiyahnya, dengan memulai dari iḍāfah maʿnawiyyah, yakni bentuk iḍāfah yang membawa pengaruh makna pada kata yang di-iḍāfah-kan, baik menjadikannya maʿrifah maupun membuatnya lebih khusus (takhṣīṣ).

Idhafah Ma’nawiyyah

Idhafah Maʿnawiyyah adalah bentuk iḍāfah yang bertujuan untuk memberikan faidah maknawi (kejelasan makna) terhadap mudhaf, yaitu dengan cara:

  • Menjadikannya maʿrifah. Hal ini terjadi jika muḍāf ilayh adalah isim maʿrifah.

  • Menjadikannya takhṣīṣ (lebih khusus). Faidah khusus ini bilamana muḍāf ilayh adalah isim nakirah.

Dengan bahasa lain, idhafah ma’nawiyah itu terjadi ketika hubungan antara dua kata bukan hubungan pelaku dan perbuatan secara langsung, tapi lebih ke kepemilikan, keterangan, atau keterkaitan umum.

Nama lain dari idhafah maknawiyah adalah:

  • الإضافة الحقيقية Idhafah Hakiki – karena menunjukkan hubungan hakiki antara dua unsur.

  • الإضافة المحضة Idhafah Mahdhah – karena tidak ada unsur pemisah antara muḍāf dan muḍāf ilayh, baik secara makna maupun bentuk.

  • Dinamai maʿnawiyyah karena keutamaannya terletak pada nilai makna, bukan sekadar bentuk.

Ciri-ciri Umum Idhafah Ma’nawiyyah

Untuk mengetahui bahwa suatu iḍāfah adalah maʿnawiyyah, berikut beberapa indikator logis (dhabith) yang dapat diperhatikan:

  1. Muḍāf bukanlah sifat (ṣifah) yang ditambahkan kepada subjek atau objeknya.

    • 1. مفتاحُ البابِ

      Muḍāf: مفتاح
      Muḍāf ilayh: الباب
      Penjelasan:

      • Kata “miftāḥ” (kunci) bukan ṣifah, melainkan isim dzāt (alat).

      • Tidak menunjukkan hubungan pelaku-objek, atau kerja-objek.

      • Karena tidak ada unsur sifat atau pekerjaan yang membutuhkan maʿmūl, maka iḍāfah ini maʿnawiyyah murni.

  2. Atau bila muḍāf adalah sifat, maka muḍāf ilayh bukan merupakan pelengkap dari sifat itu.

    • 2. كاتبُ القاضي

      Muḍāf: كاتب
      Muḍāf ilayh: القاضي
      Penjelasan:

      • Kata “kātib” adalah ṣifah berupa ism fāʿil dari fiʿil kataba.

      • Secara nahwiyah, ism fāʿil bisa punya maʿmūl (objek). Tapi di sini, al-qāḍī bukan maʿmūl dari kātib, melainkan menunjukkan keterkaitan/kepemilikan (yakni penulis yang bekerja untuk atau berkaitan dengan hakim).

      • Karena maʿmūl-nya bukan mafʿūl bih langsung, maka ini iḍāfah maʿnawiyyah, meskipun muḍāf adalah sifat.


      3. مأكولُ الناسِ

      Muḍāf: مأكول
      Muḍāf ilayh: الناس
      Penjelasan:

      • Maʾkūl adalah ism mafʿūl dari akala. Secara sifat, ini bisa menerima fāʿil (pelaku).

      • Tapi dalam konteks ini, an-nās bukan pelaku makan secara aktif, melainkan sekadar menunjukkan “makanan yang biasa dimakan oleh orang-orang”.

      • Hubungannya bukan langsung mafʿūl dan fāʿil dalam struktur kalimat kerja.

      • Maka iḍāfah ini tetap masuk kategori maʿnawiyyah.


      4. مشربُهم، ملبوسُهم

      Muḍāf: مشرب، ملبوس
      Muḍāf ilayh: هم
      Penjelasan:

      • Kedua kata ini adalah ism mafʿūl (مشرب dari shariba, dan ملبوس dari labisa).

      • Tapi dalam penggunaannya, ḍamīr hum hanya menunjukkan kepemilikan atau keterkaitan (minuman/pakaian mereka), bukan sebagai pelaku langsung dari fiʿil tersebut.

      • Tidak ada struktur mafʿūl atau subjek yang aktif di sini.

      • Maka iḍāfah ini pun tergolong maʿnawiyyah.

Faedah Idhafah Ma’nawiyyah

Sebagaimana telah disinggung pada pengertian idhafah maknawiyah di atas, jenis tarkib ini memiliki dua faidah dasar, yaitu:

  • Taʿrīf (pendefinisian):
    Jika muḍāf ilayh adalah isim maʿrifah, maka muḍāf juga menjadi maʿrifah.
    هذا كتابُ سَعِيدٍ (Ini adalah bukunya Sa’id) – kata “kitāb” menjadi makrifat karena disandarkan pada “Sa’īd” (makrifat karena isim ‘alam).

  • Takhṣīṣ (pengkhususan):
    Jika muḍāf ilayh adalah isim nakirah, maka muḍāf menjadi lebih spesifik.
    هذا كتابُ رَجُلٍ (Ini adalah buku seorang laki-laki) – kata “kitāb” masih nakirah, tapi sudah lebih terbatas/sepesifik, yaitu hanya kitabnya laki-laki.

Namun perlu dicatat pengecualian berikut:

1. Muḍāf sangat kabur atau abstrak → tetap nakirah meskipun muḍāf ilayh maʿrifah

Kata-kata tertentu bersifat sangat umum dan tidak jelas secara makna, bahkan saat di-iḍāfah-kan ke maʿrifah, ia tidak menjadi maʿrifah.

Contoh kata-kata ini:

  • مِثل (seperti)

  • شِبْه (mirip)

  • نظير (setara, sejajar)

  • صغير (kecil)

Kenapa? Karena kata-kata ini tidak menunjuk pada dzat tertentu, melainkan hanya menunjukkan perbandingan atau sifat umum. Jadi, walaupun muḍāf ilayh-nya maʿrifah, muḍāf-nya tetap tidak bisa dipakai untuk menyifati maʿrifah, hanya bisa menyifati nakirah.

Contoh:

  • جاء رجلٌ مثلُ سليمٍ
    ➤ “Telah datang seorang lelaki seperti Salim.”
    “Rajulun” adalah nakirah. “Mithlu Salīm” hanya menyifati rajulun, dan ikut menjadi nakirah juga.

  • مررتُ بشِبْهِ خليلٍ
    ➤ “Aku melewati seseorang yang mirip Khalil.”
    ➤ Lagi-lagi, shibh di sini tetap nakirah, meskipun diikuti maʿrifah (Khalīl).

Catatan penting:

Kalau benar mithlu Salīm atau shibh Khalīl jadi maʿrifah karena iḍāfah ke maʿrifah, maka tidak boleh menyifati isim nakirah (rajulun, bisyibhin), tapi faktanya boleh → artinya ia tetap nakirah.

2. Muḍāf ilayh adalah ḍamīr (kata ganti) yang kembali ke nakirah

Biasanya, iḍāfah ke ḍamīr → menjadikan muḍāf maʿrifah.
Tapi jika ḍamīr itu kembali ke isim nakirah, maka muḍāf juga tidak menjadi maʿrifah.

Contoh:

  • جاءني رجلٌ وأخوهُ
    ➤ “Seorang laki-laki datang kepadaku dan saudaranya.”
    ➤ Di sini, akhūh (saudaranya) kembali ke rajulun yang masih nakirah. Maka akhūh tetap nakirah juga.

  • رُبَّ رجلٍ وولدِه
    ➤ “Betapa banyak lelaki dan anaknya…”
    Waladih (anaknya) kembali ke rajulin (nakirah), sehingga tetap tidak menjadi maʿrifah.

  • كم رجلٍ وأولادهِ
    ➤ “Berapa banyak lelaki dan anak-anaknya…”
    ➤ Sama, awlāduh kembali ke rajulin, jadi tidak cukup untuk membuatnya jadi maʿrifah.

Idhafah Lafzhiyyah

Pengertian الإضافةُ اللفظيّة adalah iḍāfah yang tidak memberikan efek taʿrīf (pengenalan) maupun takhṣīṣ (pembatasan) terhadap muḍāf. Tujuannya bukan makna, melainkan takhfīf (keringanan ucapan) dengan cara:

  • Menghilangkan takwīn (tanwīn)

  • Menghapus nūn pada isim mutsannā dan jamak

Kapan Terjadi Iḍāfah Lafẓiyyah?

Agar suatu iḍāfah tergolong lafẓiyyah, ada beberapa syarat utama:

  1. Muḍāf harus berupa:

    • Ism fāʿil (kata sifat pelaku)

    • Ṣīghat mubālaghah (bentuk penekanan dari ism fāʿil)

    • Ism mafʿūl (kata sifat objek)

    • Ṣifah musyabbahah (kata sifat yang menyerupai)

  2. Muḍāf ilayh (kata kedua) harus menjadi:

    • Fāʿil (pelaku maknawi) atau

    • Mafʿūl bih (objek maknawi) dari sifat tersebut

Contoh-Contoh

  1. هذا الرجلُ طالبُ علمٍ

    • طالب adalah ism fāʿil,

    • علم adalah mafʿūl bih (yang dicari/dipelajari).

    • Iḍāfah ini terjadi untuk keringanan lafaz, bukan untuk makna pemilikan.

  2. رأيتُ رجلاً نَصّارَ المظلومِ

    • نصّار adalah ṣīghat mubālaghah,

    • المظلوم adalah mafʿūl,

    • Karena رجلاً adalah nakirah, dan disifati oleh bentuk ini, maka iḍāfahnya lafẓiyyah.

  3. أنصرْ رجلاً مهضومَ الحقِّ

    • مهضوم adalah ism mafʿūl,

    • الحق adalah yang dizalimi (mafʿūl bih),

    • Lagi-lagi, tidak ada pengertian kepemilikan makna, tapi hanya struktur sifat.

  4. عاشرْ رجلاً حسنَ الخُلُقِ

    • حسن adalah ṣifah musyabbahah,

    • الخُلُق menjadi mafʿūl maknawi dari sifat,

    • Penambahan makna tetap pada sifat, bukan pada struktur iḍāfah.

Tanda-Tanda Iḍāfah Ini Tetap Nakirah

Bagaimana kita tahu bahwa muḍāf tetap nakirah, bukan maʿrifah meski tanpa tanwīn?

Ada beberapa bukti:

  • Muḍāf disifati oleh nakirah
    Contoh: رأيتُ رجلاً نصّارَ المظلومِ
    Jika iḍāfah itu membuat muḍāf menjadi maʿrifah, maka tidak boleh disifati oleh nakirah.

  • Muḍāf digunakan dalam posisi ḥāl (keterangan keadaan)
    Contoh: جاء خالدٌ باسمَ الثغرِ
    Kata باسم di sini menjadi ḥāl, dan ḥāl hanya berlaku untuk kata nakirah.

  • Didahului oleh “رُبَّ”
    Contoh: يا رُبَّ صائمهٍ لن يصومَه
    Rubb hanya masuk pada nakirah. Jika iḍāfah itu menjadikan kata maʿrifah, tentu tidak cocok masuk setelah rubb.

Nama Lain Iḍāfah Lafẓiyyah

Jenis iḍāfah ini punya beberapa nama lain dalam kitab-kitab:

  1. الإضافة اللفظية – karena manfaatnya hanya untuk bentuk lafaz (penghilangan tanwīn atau nūn).

  2. الإضافة المجازية – karena tidak menunjukkan makna hakiki iḍāfah, hanya bersifat majaz.

  3. الإضافة غير المحضة – karena bukan iḍāfah yang sempurna dalam makna, tapi semacam bentuk yang mendekati pemisahan.

Misalnya:

هذا الرجلُ طالبٌ علماً
رأيتُ رجلاً نصاراً للمظلوم
انصر رجلاً مهضوماً حقَّه
عاشر رجلاً حسناً خلقُه

Kalimat-kalimat ini bisa diucapkan juga tanpa iḍāfah, dan tetap sah, menandakan bahwa iḍāfah di situ hanya pelafalan, bukan makna mutlak.

Penutup

Dengan memahami dua bentuk utama iḍāfah—maʿnawiyyah dan lafẓiyyah—kita dapat melihat bahwa struktur iḍāfah dalam bahasa Arab bukan sekadar susunan dua kata, tetapi juga mencerminkan tujuan tertentu dari pembicara atau penulis.

Apakah iḍāfah tersebut dimaksudkan untuk memakrifatkan atau membatasi makna (maʿnawiyyah), ataukah semata-mata untuk tujuan pelafalan dan keringkasan struktur (lafẓiyyah)? Pemahaman ini sangat penting dalam menganalisis teks Arab, baik dalam studi kebahasaan, tafsir, maupun sastra.

Dengan ini, kita tidak hanya mengetahui apa itu iḍāfah, tapi juga mengapa iḍāfah digunakan dalam bentuk tertentu.

Pada artikel selanjutnya, insya Allah akan dibahas tentang hukum mudhaf dan aturan-aturan terkait bab idhafah lebih dalam.