Aturan Mudzakkar dan Mu’annats pada Mudhaf

Mengetahui mudzakkar dan mu’annats mudhaf ini penting karena terkait dengan penggunaan isim dhamir yang tepat. Ini adalah salah satu hukum idhafah yang perlu diketahui.

Dalam ilmu nahwu, sering kali muncul pertanyaan: apakah mudhaf selalu menentukan bentuk mudzakkar (maskulin) dan mu’annats (feminin) dalam kalimat? Atau bolehkah muḍāf menyesuaikan dengan muḍāf ilayh dalam hal jenis kelamin gramatikal?

Jawabannya: ada keadaan tertentu di mana muḍāf dapat mengambil hukum mu’annats atau mudzakkar dari muḍāf ilayh. Namun, hal ini memiliki syarat dan batasan tertentu yang harus dipahami dengan cermat. Yuk, kepoin idhafah dalam nahwu lebih expert.

1. Ketika Muḍāf Bisa Digantikan oleh Muḍāf Ilayh

Dalam kasus tertentu, muḍāf dapat mengikuti jenis kelamin (mudzakkar atau mu’annats) dari muḍāf ilayh jika muḍāf itu bisa dihapus, dan makna kalimat tetap bisa dipahami dengan muḍāf ilayh sebagai penggantinya.

Contoh:

  • قُطِعَتْ بعضُ أصابعهِ
    Secara asal, ba‘ḍ, بعضُ (sebagian) adalah mudzakkar. Namun karena aṣābi‘ahu أصابع (jari-jarinya) adalah mu’annats, maka fi‘il yang digunakan adalah قُطِعَتْ (bentuk mu’annats).
    Mengapa? Karena secara makna, yang terpotong bukan “sebagian” itu sendiri, tetapi “jari-jari” – dan jari-jari adalah mu’annats. Seolah-olah kita mengatakan: قُطِعَتْ أَصابِعُهُ.

  • شمسُ العقلِ مكسوفٌ بطوع الهوى
    Kata “shams” (matahari) adalah mu’annats. Namun dalam bait tersebut, digunakan مكسوفٌ (dengan bentuk mudzakkar).
    Ini dianggap sah karena dalam syair, kadang berlaku i‘jāz (pemendekan makna), dan “shams” diandaikan bisa diganti oleh “al-‘aql”, yang mudzakkar. Tetapi dalam kaidah standar, bentuk yang lebih baik adalah: شمسُ العقلِ مكسوفةٌ بطوع الهوى.

  • Dari syair:
    وما حبُّ الدِّيارِ شَغَفْنَ قلبي
    Bentuk fi’il شَغَفْنَ adalah untuk mu’annats jamak. Di sini, yang mencintai bukanlah diār (rumah-rumah) secara hakiki, tapi makna majazi-nya: siapa yang tinggal di dalamnya. Maka bentuk ini dimaklumi.

Dalam konteks seperti ini, i‘rab (tanda baca gramatikal) bisa merujuk ke muḍāf ilayh jika muḍāf bukan unsur makna utama dan bisa digantikan oleh muḍāf ilayh secara logis.

2. Anjuran: Utamakan Mengikuti Muḍāf

Walaupun dalam beberapa kasus dimungkinkan untuk mengikuti muḍāf ilayh, yang paling utama adalah tetap mengikuti muḍāf dalam menentukan bentuk mudzakkar atau mu’annats.

Jadi:

  • قُطِعَ بعضُ أصابعهِ lebih baik diganti menjadi:
    قُطِعَ بعضُ أصابعهِ (tetap sesuai muḍāf yang mudzakkar)

  • شمسُ العقلِ مكسوفٌ sebaiknya menjadi:
    شمسُ العقلِ مكسوفةٌ (mengikuti jenis kelamin muḍāf yang mu’annats)

3. Pengecualian Khusus: Kata “كلّ”

Dalam kasus kata “kull” (seluruh), i‘rab biasanya mengikuti muḍāf ilayh, karena makna sebenarnya memang terletak pada bagian yang disebut setelah kull.

Contoh:

  • Dalam Al-Qur’an:
    يومَ تَجِدُ كلُّ نفسٍ ما عملتْ من خيرٍ محضراً
    Di sini, fi‘il تَجِدُ (mu’annats) mengikuti nafs (jiwa), bukan kull.

  • Syair:
    جادَتْ عليهِ كلُّ عينٍ ثرَّةٍ
    (Setiap mata yang berlinang mencurah padanya)
    Kata kerja jādat (mu’annats) sesuai dengan ‘ayn (mata) yang merupakan mu’annats, meskipun muḍāf-nya adalah kull.

4. Ketika Muḍāf Tidak Bisa Dihapus

Dalam kasus ini, muḍāf harus diikuti, karena muḍāf memiliki makna utama dan tidak bisa digantikan oleh muḍāf ilayh. Maka, hukum mudzakkar atau mu’annats bergantung pada muḍāf.

Contoh:

  • جاءَ غُلامُ فاطمةَ
    Tidak boleh diganti menjadi جاءَت غلامُ فاطمةَ
    Karena ghulām adalah mudzakkar dan merupakan subjek utama.

  • سافرتْ غلامةُ خليلٍ
    Tidak boleh diganti menjadi سافر غلامةُ خليلٍ
    Karena ghulāmah adalah mu’annats dan merupakan pelaku utama dalam kalimat.

Jika muḍāf dihapus dalam contoh-contoh di atas, maka maknanya akan menjadi kabur atau rusak.

Kesimpulan

  • Jika muḍāf bisa dihapus dan maknanya tetap utuh karena tergantikan oleh muḍāf ilayh, maka jenis kelamin (mudzakkar/mu’annats) boleh mengikuti muḍāf ilayh.

  • Namun yang lebih utama adalah mengikuti muḍāf.

  • Dalam kasus kata “kull”, bentuk i‘rab biasanya mengikuti muḍāf ilayh.

  • Jika muḍāf adalah pusat makna dan tidak bisa dihapus, maka i‘rab wajib mengikuti muḍāf.