3 Pendapat tentang Hadis Dhaif dalam Fadhailul A’mal

Perbincangan tentang hadis dhaif selalu menimbulkan perdebatan panjang di kalangan ulama. Terutama ketika menyentuh persoalan fadhail al-a‘mal atau keutamaan amal, sebagian menerima dengan syarat tertentu, sebagian menolaknya secara mutlak, sementara ada yang mengambil jalan tengah.

Artikel berseri ini akan membahas tiga pendapat ulama besar seputar boleh atau tidaknya beramal dengan hadis dhaif. Kajian ini tidak dibuat dari ruang kosong, tetapi merujuk pada sumber primer yang terdokumentasi dalam الكتاب: أرشيف ملتقى أهل الحديث – 2

Sumber ini menampung pandangan ulama lintas generasi, mulai dari Ibn Hazm, Ibn Taimiyyah, Ibn al-‘Arabi, al-Suyuthi, al-Shawkani, Shiddiq Hasan Khan, Ahmad Syakir, hingga al-Albani, juga tokoh-tokoh yang menempuh jalan tengah seperti Ibn Hajar al-Haytami.

Dengan menelisik entitas-entitas ilmiah tersebut, kita bisa melihat bagaimana metodologi kritik sanad, posisi hadis hasan dan shahih, serta otoritas ulama klasik maupun kontemporer memberi warna pada diskusi ini.

Tulisan ini dibatasi untuk kajian ilmiah tematik, bukan fatwa, sehingga pembaca bisa melihat benang merah sejarah pemikiran hadis secara objektif.

Pendapat Pertama: Hadis Dhaif Boleh Dipakai Secara Mutlak

Ini adalah posisi yang cukup longgar dalam ushul hadis dan fiqh al-istidlal: hadis ḍa‘īf tetap bisa jadi hujjah di seluruh ranah syariat—baik wilayah hukum (halal–haram, wajib–sunnah) maupun fadhā’il al-a‘māl (keutamaan amal)—dengan dua pagar pengaman:

  1. Derajat kelemahannya tidak parah (bukan munkar, matrūk, atau maudhu‘).
  2. Tidak ada dalil yang lebih kuat dalam bab tersebut dan tidak terjadi ta‘āruḍ (kontradiksi) dengan riwayat yang sahih/hasan.

Alasan Ushuliyah & Logika Istidlal

  • Masih ada iḥtimāl aṣ-ṣawāb (peluang kebenaran). Selama tidak dibantah riwayat yang lebih kuat, probabilitas kebenaran hadis ḍa‘īf dinilai lebih layak diambil ketimbang sekadar ra’yu, qiyās, atau istihsān murni.
  • Prioritas sumber nash: riwayat yang lemah (namun tidak sangat lemah) tetap dipandang lebih kuat dibanding opini manusia ketika nash lain tidak tersedia untuk tarjīḥ.

Entitas & Otoritas Ilmiah (Tokoh Pendukung)

Posisi ini dinisbatkan (dengan variasi praktik di masing-masing madzhab) kepada:

  • Abū Ḥanīfah – lebih mengutamakan hadis ḍa‘īf daripada qiyās jika tidak ada nash lain dalam bab.
  • Imām Mālik – menerima mursal al-tsiqah sebagai hujjah setara musnad dalam banyak kasus amaliyyah.
  • Imām asy-Syāfi‘ī – pada praktiknya, beberapa kali mendahulukan riwayat lemah (tidak parah) dibanding qiyās.
  • Imām Aḥmad bin Ḥanbal – kaidahnya masyhur: “al-ḥadīts al-ḍa‘īf aḥabbu ilayya minar-ra’yi”.
  • Abū Dāwūd – metodologi Sunan-nya banyak dipengaruhi manhaj Imām Aḥmad dalam bab istidlal.
  • Ibn al-Humām (Hanafi) – cenderung menetapkan istihbāb dengan hadis ḍa‘īf non-maudhu‘.
  • Muhammad al-Amīn (muta’akhkhirīn, murid Syinqīṭī) – termasuk yang membolehkan dengan pagar syarat.

Bagian ini menjelaskan kerangka teoritis dari pihak yang membolehkan pemakaian hadis ḍa‘īf secara luas—namun tetap dengan batas: kelemahannya tidak fatal dan tidak menabrak riwayat yang lebih kuat.

Pada bab berikutnya (pandangan kedua & ketiga), kita bandingkan dengan manhaj yang lebih ketat dan manhaj jalan tengah agar pembaca mendapat gambaran utuh.

Pandangan Kedua: Tidak Dipakai Sama Sekali

Sebagian ulama menempuh sikap tegas: hadits dha‘if tidak boleh dijadikan hujjah dalam bidang apa pun — bukan hanya dalam penetapan hukum (ḥalāl–ḥarām, wajib–sunah), tetapi juga dalam soal fadā’il al-a‘māl (keutamaan amal), targhīb dan tarhīb. Sikap ini bukan sikap skeptis tanpa alasan; ada argumen tekstual, metodologis, dan pedoman ilmiyah yang mendasarinya.

Alasan Pokok Mereka

  • Hadits dha‘if hanya menghasilkan ẓann rājiḥ (dugaan lemah). Dalam masalah agama kita tidak boleh bertumpu pada dugaan yang rapuh ketika menyangkut pedoman ibadah dan akidah.
  • Nas al-Qur’an mengingatkan tentang bahaya mengikuti prasangka. Allah berfirman bahwa kebanyakan manusia mengikuti prasangka (contoh: Yunus:36; al-An‘âm:116). Prinsip ini dipakai untuk menolak dasar syariat yang hanya bersandar pada kemungkinan semata.
  • Peringatan Nabi tentang prasangka: Nabi ﷺ bersabda, “إياكم والظن فإن الظن أكذب الحديث” — “Jauhilah prasangka, karena prasangka itu paling banyak dusta.” (HR. Bukhari & Muslim). Ayat dan hadits ini menjadi sandaran moral-metodologis untuk tidak menjadikan dha‘if sebagai pegangan.
  • Cukupnya dalil shahih: Dalam banyak bab fiqh dan akidah, hadits-hadits sahih dan hujjah-qur’ani sudah memadai. Maka tidak perlu mengangkat riwayat yang sanadnya lemah untuk menetapkan aturan baru atau fadilah khusus.

Tokoh-tokoh yang Berpegang pada Sikap Ini

Tokoh-tokoh besar yang tegas menolak penggunaan hadits dha‘if antara lain:

  • Yaḥyā bin Ma‘īn
  • Imam Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Bukhārī
  • Imam Muslim ibn al-Ḥajjāj
  • Abū Ḥātim ar-Rāzī & Ibn Abī Ḥātim
  • Ibn Ḥibbān
  • Ibn Ḥazm
  • Ibn ʿArabī
  • Ibn Taymiyyah
  • Abū Shāmah, Jalāl ad-Dīn ad-Dawānī
  • Ash-Shawkānī
  • Ṣiddīq Ḥasan Khān
  • Aḥmad Shākir
  • Muḥammad Nāṣir ad-Dīn al-Albānī

Catatan Praktis dan Etika Keilmuan

  • Transparansi ilmiah: Ulama jalur ini menuntut agar setiap riwayat lemah diberi label jelas saat dikutip — jangan dibiarkan seolah-olah shahih. Ini mencegah publik keliru dan menyalahgunakan teks keagamaan.
  • Larangan menjadikan dasar hukum: Riwayat dha‘if tidak boleh dipakai sebagai dasar perubahan hukum atau penetapan ibadah baru. Jika sebuah amalan hanya berdasar dha‘if, tidak layak dijadikan kewajiban atau sunnah mu‘akkadah.
  • Pengganti yang aman: Jika tujuan nasihat atau motivasi tercapai melalui dalil yang shahih (ayat, hadits shahih, ijma‘, atau qiyas yang kuat), maka gunakan yang lebih kuat itu daripada hadits dha‘if.

Implikasi untuk Tradisi Islam di Masyarakat

Dalam konteks masyarakat—pengajian, majelis taklim, buku-buku fadā’il—pendekatan ini menuntut kehati-hatian: pembicara dan penulis sebaiknya menandai status sanad, memberi peringatan bila riwayat lemah, dan menghindari klaim pasti (mis. “pasti dikabulkan”, “pasti rezeki lancar”) berdasarkan riwayat dha‘if. Hal ini memelihara kejujuran ilmiah dan melindungi umat dari penetapan ritual yang tidak berlandas kuat.


Pandangan kedua menutup kemungkinan menjadikan hadits dha‘if sebagai dasar syariat atau fadā’il yang diikatkan dengan janji pasti. Sikap ini menempatkan kehati-hatian epistemik di depan: agama tidak boleh dibangun atas prasangka. Namun, sikap ini juga—secara metodologis—mengharuskan kita menyediakan alternatif dalil yang kuat untuk menggantikan klaim yang sekadar berdasar riwayat lemah.

Kesimpulan Memahami Tiga Pandangan

Dari tiga pandangan ulama tentang penggunaan hadits dha‘if, terlihat ada spektrum pemikiran: mulai dari yang menerima dengan syarat longgar, ada yang menolak total, hingga jalan tengah jumhūr yang moderat. Ketiganya lahir dari kehatian-hatian ilmiah dalam menjaga sabda Nabi ﷺ agar tidak tercampur dengan riwayat yang tidak valid.

Bagi pembaca awam, pendekatan jumhūr (jalan tengah) sering dipilih sebagai rujukan praktis: hadits dha‘if tidak dijadikan dasar hukum halal–haram, namun tetap boleh dimanfaatkan dalam ruang motivasi, fadilah ibadah, dan tarbiyah ruhani. Dengan begitu, semangat amal tetap terjaga tanpa melanggar prinsip kehati-hatian dalam agama.


Di era digital, ketika hadits bertebaran tanpa filter di media sosial, penting untuk membedakan mana yang sahih, hasan, atau dha‘if. Transparansi ulama—seperti yang ditekankan Aḥmad Shākir—menjadi teladan agar umat tidak terkecoh, dan setiap hadits ditempatkan sesuai kadar kesahihannya.

Baca juga: Fadhailul A‘mal – Konsep, Dalil, dan Praktik

Penutup

Pada akhirnya, perbedaan pendapat ulama adalah rahmat. Kita bisa memilih jalur yang paling sesuai dengan prinsip kehati-hatian ilmiah sekaligus semangat ibadah.

Yang jelas, hadits sahih selalu menjadi pegangan utama, sementara hadits dha‘if hanya bersifat pelengkap dalam ranah fadilah amal dengan syarat-syarat disiplin. Dengan pemahaman ini, kita tetap menjaga otentisitas sunnah Nabi ﷺ sekaligus meraih keberkahan dalam amal sehari-hari.

Sumber: أرشيف ملتقى أهل الحديث – 2 – المكتبة الشاملة الحديث – https://al-maktaba.org/book/31615/