Perbedaan Naudzubillah dan Audzubillah

Bacaan ta’awudz seperti audzubillah dan naudzubillah adalah lafadz yang sangat akrab di telinga umat Islam. Kita sering mengucapkannya saat membuka bacaan Al-Qur’an, ketika mendengar kabar buruk, atau dalam menolak sesuatu yang dianggap menyimpang. Namun, pernahkah Anda bertanya: apa sebenarnya bedanya antara keduanya? Apakah sekadar variasi bunyi, atau ada dasar bahasa Arab yang membedakan makna dan penggunaannya?

Di tengah kebiasaan berbahasa yang makin longgar, banyak istilah agama digunakan tanpa pemahaman struktur bahasa Arab yang mendasarinya. Dalam konteks ini, ilmu nahwu (tata bahasa Arab) memiliki peran penting dalam menempatkan setiap lafadz pada posisi yang tepat.

Artikel ini akan membedah secara lugas makna dan gramatika dari dua jenis ta’awudz, serta menjelaskan mengapa keduanya tidak bisa dipertukarkan sembarangan.

Pembahasan ini bukan sekadar soal benar-salah. Ini soal ketepatan dan adab dalam berdoa. Karena ketika seseorang berkata “aku berlindung” dan “kami berlindung”, maknanya tidak hanya berbeda secara gramatikal, tetapi juga secara psikologis dan teologis. Pemahaman semacam ini menjadi penting, terlebih dalam konteks pendidikan Islam, ceramah publik, dan penggunaan lafadz dalam teks-teks keagamaan.

Jika Anda pernah bertanya-tanya mengapa sebagian orang lebih memilih “audzubillah” sementara yang lain menggunakan “naudzubillah”, maka penjelasan berikut akan menguraikannya secara sistematis berdasarkan kaidah bahasa Arab, bukan sekadar kebiasaan turun-temurun.

Makna dan Struktur Gramatikal Audzubillah vs Naudzubillah

Secara tata bahasa Arab (nahwu-sharf), perbedaan antara أَعُوذُ بِاللَّهِ (audzubillah) dan نَعُوذُ بِاللَّهِ (naudzubillah) bukan hanya pada subjeknya, tapi juga pada konteks penggunaannya.

Keduanya berasal dari fi’il ‘aadza – ya’uudzu (عَاذَ – يَعُوذُ) yang berarti “berlindung” atau “memohon perlindungan”.

Ungkapan Fi’il Makna Harfiah Subjek
Audzubillah (أَعُوذُ بِاللَّهِ) أَعُوذُ (fi’il mudhori’, 1st person singular) Aku berlindung kepada Allah Tunggal (aku)
Naudzubillah (نَعُوذُ بِاللَّهِ) نَعُوذُ (fi’il mudhori’, 1st person plural) Kami berlindung kepada Allah Jamak (kami/kita)

Audzubillah

Frasa audzubillah adalah bentuk yang disyariatkan saat memulai bacaan Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nahl: 98:

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ

Artinya: “Apabila kamu membaca Al-Qur’an, maka mohonlah perlindungan kepada Allah.”

Bentuk fi’il أَعُوذُ dalam konteks ini adalah mutakallim wahid — yaitu orang pertama tunggal. Karena itu penggunaannya bersifat individual, ritual, dan formal, seperti saat membaca ta’awudz sebelum surat dalam salat atau dzikir pribadi.

Naudzubillah

Sebaliknya, naudzubillah adalah bentuk jamak dari fi’il tersebut — نَعُوذُ — yang berarti “kami berlindung”. Ia lebih lazim diucapkan dalam konteks sosial seperti saat menanggapi informasi negatif, atau sebagai ungkapan penolakan moral terhadap hal yang dianggap buruk.

Contoh:
“Naudzubillah min dzalik, semoga kita semua dijauhkan dari perilaku seperti itu.”

Dalam hal ini, bentuk jamak bukan berarti banyak orang harus mengucapkannya serempak, tapi mengindikasikan sikap bersama atau solidaritas batin dalam menolak keburukan.

Pentingnya Ketepatan Penggunaan

Banyak orang mengira keduanya sama, hanya berbeda dialek. Padahal, dalam kaidah bahasa Arab, penggunaan bentuk tunggal dan jamak memiliki pengaruh terhadap niat, sasaran doa, dan konteks komunikasi. Salah menempatkan bisa mengaburkan makna:

  • Mengucapkan naudzubillah saat membaca Al-Qur’an adalah keliru secara kaidah.
  • Mengucapkan audzubillah saat menanggapi hal buruk dalam forum sosial terasa kurang tepat secara kebahasaan.

Penggunaan A‘ūdzu dan Na‘ūdzu dalam Kehidupan Sehari-hari

Kapan kita membaca a‘ūdzu billāh dan kapan membaca na‘ūdzu billāh? Inilah pertanyaan penting yang sering muncul dalam praktik beragama. Kedua lafaz ini memang sama-sama berasal dari kata kerja ‘ādz-a (عَاذَ), namun bentuk dan konteks penggunaannya tidak bisa dipertukarkan secara sembarangan.

A‘ūdzu billāh – Digunakan saat ibadah dan konteks individual

Bacaan a‘ūdzu billāh secara khusus digunakan oleh seseorang saat memulai bacaan Al-Qur’an, melakukan dzikir, atau berdoa kepada Allah secara pribadi. Karena kata a‘ūdzu berarti “aku berlindung”, maka penggunaannya tepat dalam konteks pribadi dan ritual.

  • Sebelum membaca Al-Qur’an: “A‘ūdzu billāhi minash-shayṭānir-rajīm” (QS. An-Nahl: 98)
  • Saat merasa terganggu oleh bisikan buruk: “A‘ūdzu billāhi minash-shaiṭān”
  • Dalam dzikir setelah shalat: sebagai bagian dari permohonan perlindungan dari 4 hal (neraka, azab kubur, fitnah, dan kejahatan Dajjal)

Na‘ūdzu billāh – Digunakan dalam konteks kebersamaan atau pernyataan penolakan

Bacaan na‘ūdzu billāh lebih banyak ditemukan dalam percakapan umum atau dalam doa yang sifatnya mewakili lebih dari satu orang. Kata na‘ūdzu berarti “kami berlindung”, dan penggunaannya meluas pada ekspresi verbal saat bereaksi terhadap sesuatu yang buruk atau tercela.

Situasi Lafaz yang Digunakan Keterangan
Sebelum membaca Al-Qur’an A‘ūdzu billāh Bentuk personal, mengikuti QS. An-Nahl: 98
Doa atau dzikir pribadi A‘ūdzu billāh Memohon perlindungan secara individu
Ucapan dalam majelis atau dialog umum Na‘ūdzu billāh Ekspresi keprihatinan atau penolakan terhadap keburukan
Doa berjamaah Na‘ūdzu billāh Mewakili permohonan perlindungan kolektif

Dengan memahami konteks ini, kita tidak hanya melafazkan bacaan ta‘awudz secara otomatis, tetapi juga sadar makna dan ketepatan penggunaannya. Inilah bentuk adab kita dalam berbahasa kepada Allah dan kepada sesama.

Contoh Doa dengan Ta‘awudz

Selain contoh-contoh yang telah disebut sebelumnya, berikut ini beberapa lafaz ta‘awudz lain yang digunakan Nabi ﷺ dan para sahabat dalam berbagai keadaan. Bentuknya bisa berupa a‘ūdzu (aku berlindung) maupun na‘ūdzu (kami berlindung):

A‘ūdzu – Permohonan Perlindungan Individu

Lafadz a‘ūdzu sangat akrab bagi kita. Ia paling jelas terlihat sebagai pembuka dua surat mu‘awwidzatain: an-Nas dan al-Falaq. Nah, selain itu ada beberapa contoh penggunaan di hadis.

  • A‘ūdzu bi kalimātillāhit-tāmmāti min sharri mā khalaq
    “Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk-Nya.”
    (HR. Muslim no. 2708)
  • A‘ūdzu bi ‘izzatillāhi wa qudratihi min sharri mā ajidu wa uhādhir
    “Aku berlindung dengan keperkasaan dan kekuasaan Allah dari keburukan yang aku rasakan dan yang aku khawatirkan.”
    (HR. Muslim no. 2202)
  • A‘ūdzu billāhi min ‘adhābil-qabr
    “Aku berlindung kepada Allah dari azab kubur.”
    (HR. Bukhari-Muslim)

Na‘ūdzu – Permohonan Kolektif atau Jama‘i

  • Na‘ūdzu billāhi min ilmin lā yanfa‘, wa min qalbin lā yakhsha‘, wa min nafsin lā tashba‘
    “Kami berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, dan jiwa yang tidak pernah merasa cukup.”
    (HR. Muslim no. 2722)
  • Na‘ūdzu billāhi min an-nifāq
    “Kami berlindung kepada Allah dari kemunafikan.”
    (Diriwayatkan dari doa para sahabat, seperti Hudzaifah r.a.)
  • Na‘ūdzu billāhi min fitnatil-qabri wa fitnatil-masīḥid-dajjāl
    “Kami berlindung kepada Allah dari fitnah kubur dan fitnah Dajjal.”
    (Bagian dari doa iftitah atau tasyahud akhir, HR. Muslim)

Doa-doa tersebut digunakan dalam berbagai konteks seperti sakit, takut gangguan jin, atau saat merasakan gangguan spiritual. Dengan memahami dan mengamalkan ragam ta‘awudz ini, kita lebih sadar bahwa perlindungan sejati hanya datang dari Allah.

Penutup

Audzubillah dan naudzubillah bukan sekadar ucapan spontan, melainkan doa yang sarat makna, baik dari sisi gramatika maupun pemakaian praktis. Audzubillah adalah bentuk permohonan pribadi, sementara naudzubillah mewakili kebersamaan atau tanggapan atas sesuatu yang buruk. Keduanya bersumber dari akar kata yang sama namun digunakan dalam konteks berbeda—baik dalam Al-Qur’an, hadis, maupun kehidupan sehari-hari.

Memahami perbedaan ini bukan hanya memperkaya penguasaan bahasa Arab, tapi juga memperdalam kesadaran kita dalam berdoa dan berinteraksi dengan nilai-nilai Islam secara tepat. Karena perlindungan kepada Allah adalah fondasi spiritual yang harus disertai dengan ilmu dan pemahaman.

Wallāhu a‘lam bish-shawāb.