Refleksi Amal Setelah Kematian

“Apa yang Tetap Hidup Setelah Aku Mati?”

Refleksi tentang sebab, dampak, dan jejak manusia

Aku pernah membaca satu hadis, kata Nabi:

“Ketika seorang manusia meninggal dunia, maka amalannya terputus kecuali tiga hal, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mau mendoakannya.”

Hanya tiga. Tidak empat. Tidak lima.

Tiga saja:

sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan.

 

Tapi benarkah hanya tiga itu?

Apakah yang lainnya tak punya nyawa setelah aku tiada?

Dan… apakah yang tiga itu pasti hidup hanya karena disebut?


Aku mulai bertanya:

Apa arti amal yang tidak terputus?

Apakah ia seperti air yang terus mengalir?

Lalu… ke mana air itu mengalir?

Apakah ke taman yang tumbuh?

Atau ke rawa yang membusuk?

 

Sedekah bisa menjadi sekolah,

tapi bisa juga menjadi alat kekuasaan.

 

Ilmu bisa menyelamatkan,

tapi juga bisa menciptakan mesin pembunuh.

 

Anak bisa menjadi pelanjut doa,

tapi bisa pula menjadi penyebab luka.

 

Jadi apa sebenarnya yang kita tinggalkan?


Mungkin bukan bentuk amal yang penting,

tapi hubungan antara diri dan dampak.

Bukan apa yang kita beri,

tapi apa yang tumbuh dari pemberian itu.

Bukan apa yang kita ajarkan,

tapi apa yang dibawa oleh yang belajar.

 

Tapi bukankah itu berarti…

kita tidak pernah benar-benar tahu hasil dari hidup kita?

 

Kita bisa menanam pohon,

tapi tak tahu apakah buahnya akan manis atau beracun.

Kita bisa mendidik dengan sepenuh cinta,

tapi tak tahu apakah dunia akan memelihara atau mencuri hasilnya.

 

Apakah aku tetap bertanggung jawab atas jejak yang tak bisa kutebak?

Atau cukup dengan niat yang tulus, lalu aku bebas dari akibat?


Dan jika anak adalah yang mendoakan,

maka siapakah anakku?

Apakah harus darah dan daging?

Atau siapa pun yang hatinya pernah kusentuh,

Atau entah berantah yang wadagnya kutumbuhkembangkan,

lalu berjalan dengan cahaya yang pernah kupinjamkan?

 

Mungkin aku tak akan punya anak,

tapi mungkin seseorang, di waktu yang tak kutahu,

akan mendoakan aku karena sebuah tulisan,

sebuah kalimat,

atau sebuah uswah yang pernah menyentuhnya.

 

Mungkin…

aku tidak akan tahu siapa mereka.

Tapi apakah itu penting?


Mungkin inilah satu-satunya hal yang bisa kupegang:

Bahwa hidupku adalah sebab.
Dan bahwa sebab punya riak.
Dan bahwa riak tak pernah tahu ke mana ia akan menjalar.

Jadi yang bisa kupastikan bukan hasil.

Tapi arah.

Dan niat.

Dan kerendahan hati untuk tahu,

bahwa amal yang paling abadi bisa lahir bukan dari kekuatanku,

tapi dari sesuatu yang lewat melalui aku—lalu pergi ke mana-mana.


Jadi sekali lagi aku bertanya:

Apa yang akan tetap hidup dariku setelah aku mati?

Dan kali ini,
aku tidak mencari jawaban.
Aku hanya ingin hidup dengan pertanyaan itu.