Dalam Surat Al Hadid Ayat 20, Allah mengingatkan kita, wahai hamba-hamba-Nya yang terlena oleh pesona dunia, bahwa kehidupan dunia ini hanyalah permainan yang menggiurkan dan tanpa tujuan yang sejati.
Dunia ini hanya memberikan kesenangan sesaat yang menipu, membuat kita terbuai oleh gemerlapnya. Namun, sebenarnya dunia ini hanyalah sementara dan tidak kekal.
Bacaan Surat al Hadid Ayat 20
Untuk membaca ayat ke-20 ini, Anda bisa menggunakan redaksi asli dari mushfad dalam tulisan Arab bagi yang mampu. Berikut teks Arab dari al Hadid ayat 20 dan artinya.
Namun bagi yang masih belajar membaca teks Arab, Anda untuk sementara waktu dapat membaca al Hadid ayat 20 latin sebagai berikut:
I‘lamû annamal-ḫayâtud-dun-yâ la‘ibuw wa lahwuw wa zînatuw wa tafâkhurum bainakum wa takâtsurun fil-amwâli wal-aulâd, kamatsali ghaitsin a‘jabal-kuffâra nabâtuhû tsumma yahîju fa tarâhu mushfarran tsumma yakûnu huthâmâ, wa fil-âkhirati ‘adzâbun syadîduw wa maghfiratum minallâhi wa ridlwân, wa mal-ḫayâtud-dun-yâ illâ matâ‘ul-ghurûr (Qs al Hadid 20).
Penjelasan Surat al Hadid Ayat 20
Penjelasan ini, kami sarikan dari beberapa Tafsir surat al Hadid ayat 20 yang umumnya mudah dijumpai, seperti tafsir Kemenag dan Tafsir al Misbah. Tafsir surat al Hadid ayat 20 kurang lebih sebagai berikut:
Al Hadid Ayat 20 ini memberikan gambaran yang mendalam tentang kehidupan dunia dan peringatan bagi mereka yang tergoda oleh pesona duniawi. Ayat tersebut menggambarkan kehidupan dunia sebagai permainan yang sia-sia dan tanpa tujuan yang sebenarnya. Meskipun dunia dapat memberikan kesenangan sesaat, namun hal itu hanya melalaikan manusia dari hal-hal yang lebih penting.
Menurut beberapa ulama, Qs ke-57 ayat 20 ini menjelaskan bahwa sebelumnya telah diuraikan tentang kelompok-kelompok manusia, baik yang termasuk dalam kelompok terbaik dan pasti mendapatkan keselamatan, maupun yang termasuk dalam kelompok terburuk dan pasti akan binasa. Namun, masih ada satu kelompok manusia yang belum dijelaskan, yaitu mereka yang beriman tetapi melakukan dosa dan pelanggaran dalam berbagai tingkat kedurhakaan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ayat ini menguraikan hakikat kehidupan dunia bagi kelompok manusia tersebut, karena mereka sangat terpaku pada duniawi dan enggan bersedekah. Mereka juga diajak untuk segera meraih pengampunan dan surga, di samping diisyaratkan bahwa segala bencana yang menimpa mereka telah tertulis dalam ketetapan Allah. Oleh karena itu, mereka tidak perlu khawatir terjerumus dalam kemiskinan akibat berinfak di jalan Allah, atau takut mati dalam berjihad membela agama-Nya.
Surat al Hadid Ayat 20 menggambarkan kehidupan dunia sebagai hujan yang mengagumkan para petani. Awalnya, tanaman-tanaman yang ditumbuhkan dari hujan itu tumbuh tinggi dan kuat. Namun, kemudian tanaman tersebut menguning, layu, dan akhirnya hancur. Perumpamaan ini menggambarkan kecepatan kepunahan dunia dan mengingatkan manusia bahwa dunia hanyalah kesenangan sementara yang akan segera lenyap.
Dalam konteks ayat ini, kata ‘Kuffar‘ yang merupakan jamak dari kata “kafir” diartikan sebagai para petani yang menanam benih dengan menutupinya dalam tanah. Secara keagamaan, penggunaan kafir atau al kafirun artinya merujuk pada mereka yang menutupi atau mengingkari kebenaran yang disampaikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Kekikiran juga dinamakan kekufuran dalam al-Quran, karena kekikiran adalah menutupi apa yang dimiliki sambil berbohong dengan mengatakan Saya tidak punya.
Ayat ini juga menekankan pentingnya maghfirah (pengampunan) yang berasal dari Allah, sementara azab atau siksa tidak disifati dengan hal yang serupa. Hal ini menggambarkan bahwa yang terutama didambakan adalah pengampunan, sedangkan siksa merupakan akibat dari keengganan manusia untuk tunduk kepada Allah. Ayat ini juga menggambarkan dua wajah akhirat, yaitu maghfirah dan siksa, sebagai peringatan bagi setiap anak manusia untuk berhati-hati dalam memilih jalan hidupnya.
Nasihat Sayyidina Ali dalam Konteks al Hadid Ayat 20
Dalam nasihat Sayyidina Ali ra., terkait kenikmatan dunia yang sesaat dan menipu, beliau menyampaikan bahwa kita tidak perlu merasa sedih jika kita kehilangan kenikmatan-kenikmatan dunia. Sebab, kenikmatan dunia ini hanya terdiri dari enam macam, yaitu makanan, minuman, pakaian, aroma, kendaraan, dan hubungan seks. Namun, beliau mengingatkan kita bahwa meskipun ada kenikmatan dalam hal-hal tersebut, sebenarnya mereka memiliki asal-usul yang sederhana dan bahkan mungkin terlihat tidak menggairahkan.
Sebagai contoh, makanan yang terbaik adalah madu, yang sebenarnya adalah ludah serangga (lebah). Minuman yang paling banyak dikonsumsi adalah air, yang merupakan minuman bagi semua makhluk hidup. Pakaian terbaik adalah sutra, yang pada dasarnya merupakan hasil dari rajutan ulat. Aroma yang paling menyenangkan adalah wewangian, yang sebenarnya terbuat dari darah tikus. Kendaraan yang terbaik adalah kuda, namun banyak tokoh yang gugur dalam pertempuran yang melibatkan kuda-kuda tersebut. Dan hubungan seks, meskipun dianggap sebagai kenikmatan, sebenarnya hanya merupakan pertemuan organ kelamin di tempat buang air kecil.
Penutup
Ringkasnya, ayat ini mengingatkan bahwa kehidupan dunia bersifat sementara dan tidak abadi. Bagi mereka yang beriman dan mengharapkan akhirat, dunia adalah tempat perjuangan untuk meraih kebahagiaan abadi. Kekayaan dan kesenangan dunia hanya bersifat sementara dan tidak dapat memberikan kebahagiaan sejati.
Oleh karena itu, marilah kita menjadikan kehidupan dunia ini sebagai jalan menuju kebahagiaan abadi di akhirat. Kita tidak boleh terlalu terikat dan terlena oleh kesenangan duniawi yang hanya sementara. Dunia ini semestinya menjadi tempat untuk mengumpulkan bekal untuk perjalanan menuju kehidupan yang kekal. Wallahu a’lam.