Penjelasan Surat Yasin Ayat 40 Beserta Artinya

Surah Yasin ayat 40 terdapat di juz 23, tepatnya pada awal juz 23. Ayat tersebut terletak di bagian awal surah yang mengandung pesan penting bagi umat manusia. Hal itu adalah bagian dari Surah Yasin full dengan total sejumlah 83 ayat.

Meskipun makna dari huruf-huruf Arab Yaasiin pada awal surah ini masih menjadi misteri yang belum sepenuhnya terungkap, ada berbagai interpretasi yang diajukan oleh para ulama Muslim.

Salah satu interpretasi umum adalah mengartikan Yaasiin sebagai “Hai manusia!” yang mengacu kepada Nabi Muhammad, sebagai panggilan untuk memperhatikan pesan yang akan disampaikan melalui surah ini. Namun, ada juga ulama yang berpendapat bahwa makna sebenarnya dari huruf-huruf tersebut hanya diketahui oleh Allah, dan manusia tidak mampu memahaminya sepenuhnya.

Surat Yasin Ayat 40 Beserta Artinya

Surat Yasin Ayat 40 Beserta Artinya
Qs Yasin ayat 40 Arab, Latin dan Artinya

Teks Arab dan arti Yasin ayat 40 Nahwu.id ambil dari mushaf al-Quran.

لَا ٱلشَّمۡسُ يَنۢبَغِي لَهَآ أَن تُدۡرِكَ ٱلۡقَمَرَ وَلَا ٱلَّيۡلُ سَابِقُ ٱلنَّهَارِۚ وَكُلّٞ فِي فَلَكٖ يَسۡبَحُونَ ٤٠

Arti surat yasin ayat 40 “Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.

Surat Yasin Ayat 40 Tentang Sunatullah

Surat Yasin Ayat 40 mengungkapkan sebagian Rahasia alam semesta yaitu tentang sunatullah. Ayat ini memberikan pemahaman yang menarik tentang bagaimana alam semesta ini bekerja, berjalan dengan teratur, tertib dan harmonis .

Bacaan Surat Yasin Latin Mudah Dibaca dan Artinya

Ayat ini mengajarkan konsep “Sunnatullah” atau hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah untuk mengatur segala sesuatu di dunia ini. Dalam ayat ini, kita diberitahu bahwa tidak akan ada benturan antara matahari dan bulan, dan tidak akan ada kekacauan seperti malam yang tiba sebelum siang.

Ayat ini mengingatkan kita akan kekuasaan yang luar biasa dan kebijaksanaan Allah sebagai Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta. Semuanya berjalan dengan keteraturan yang sempurna sesuai dengan kehendak-Nya. Ayat ini juga menekankan bahwa kekuasaan dan aturan yang ditetapkan oleh Allah jauh melebihi apa pun yang bisa manusia ciptakan.

Dengan memahami Surat Yasin ayat 40 beserta artinya, kita dapat menghadirkan rasa kagum, takjub, dan mengakui serta merendahkan diri terhadap kebesaran Allah yang menciptakan dan mengatur alam semesta dengan penuh kebijaksanaan.

Surah Yasin Ayat 82 Beserta Artinya Berikut Cara Mengamalkannya

Kekuasaan manusia sangat kecil dan terbatas dibandingkan dengan kekuasaan Allah. Hal ini mengingatkan kita untuk selalu mengandalkan dan tunduk kepada Allah dalam menjalani kehidupan ini, serta menghargai dan menghormati peraturan yang telah ditetapkan-Nya.

Analisis I’rab Surat Yasin Ayat 40

Berikut struktur gramatika dari ayat ke-40 dari Surah Yasin:

{لا الشَّمْسُ}: adalah huruf nafiyah (penafian). Asy-syamsu berposisi sebagai mubtada’ yang marfū‘.

{يَنْبَغِي}: Fi‘l mudhāri‘ yang marfū‘ dengan ḍammah muqaddarah. Kata ini bermakna “tidak selayaknya / tidak pantas”. Ia membutuhkan fā‘il, dan fā‘ilnya nanti berupa mashdar mu’awwal (أن + فعل).

{لَها}: Jar majrūr yang berkaitan dengan (yambaghī), menerangkan kepada siapa ketidakpantasan itu diarahkan—yakni: matahari.

{أَنْ}: Huruf maṣdariyyah nāṣibah; ia menashabkan fi‘l setelahnya dan membentuk mashdar mu’awwal.

{تُدْرِكَ}: Fi‘l mudhāri‘ manshūb karena masuknya an. Fā‘ilnya adalah dhomir mustatir takdirnya (hiya) kembali kepada “asy-syams”.

{الْقَمَرَ}: Maf‘ūl bih manshūb dari fi‘l “tudrika”. Adapun mashdar mu’awwal “an tudrika al-qamara” berkedudukan sebagai fā‘il dari “yanbaghī”.

— Maka struktur kalimat pertama lengkapnya: “Lā yanbaghī lahā an tudrika al-qamara” berfungsi sebagai khabar bagi mubtada’ “asy-syamsu”.

{وَلا}: Wāwu ‘athaf, lalu “lā” sebagai huruf penafian kedua.

{اللَّيْلُ}: Mubtada’ marfū‘, mengikuti pola sebelumnya pada “asy-syams”.

{سابِقُ}: Khobar bagi “al-layl” dalam keadaan marfū‘. Polanya menunjuk sifat: “tidak mendahului”.

{النَّهارِ}: Mudhāf ilaih majrūr; membentuk frasa “sābiqun-nahār”. Kalimat “lā al-laylu sābiqun-nahār” menjadi jumlah musta’nafah yang di-‘athaf-kan pada jumlah sebelumnya.

{وَكُلٌّ}: Wāwu ‘athaf. “Kullun” adalah mubtada’ marfū‘ yang memberi makna umum mencakup matahari, bulan, dan malam–siang dalam siklus kosmik.

{فِي فَلَكٍ}: Jar majrūr yang berfungsi sebagai zharaf (keterangan tempat), terkait dengan fi‘l setelahnya.

{يَسْبَحُونَ}: Fi‘l mudhāri‘ marfū‘ dengan ṡubūtun-nūn. Wāwu menjadi fā‘il, kembali kepada “kullun”. Jumlah fi‘liyyah ini menjadi khabar dari “kullun”.

— Dengan demikian, “wa kullun fī falakin yasbaḥūn” adalah jumlah yang di-‘athaf-kan pada rangkaian sebelumnya, menggambarkan gerak orbit yang tetap dan harmonis.

Tafsir Surah Yasin Ayat 40

Pada rangkaian ayat sebelumnya, Surah Yasin menggambarkan tanda-tanda kekuasaan Allah melalui perjalanan matahari, bulan, dan pergantian siang–malam. Ayat 40 ini menjadi penegasan bahwa seluruh fenomena kosmik tersebut bergerak dalam ketentuan yang teratur, tidak saling bertabrakan atau melampaui batas yang telah ditetapkan Allah.

Dalam kitab Mausu’ah Tafsir al-Ma’tsurah, mayoritas mufassir memahami ayat ini sebagai penjelasan tentang keteraturan kosmik yang berlangsung menurut hukum Allah. Berikut rangkuman naratif berdasarkan riwayat-riwayat utama:

  • Ibnu ‘Abbās meriwayatkan bahwa matahari dan bulan tidak mungkin berkumpul dalam satu posisi untuk saling mendahului. Bila keduanya tampak berdekatan, salah satunya pasti berada di depan yang lain, sesuai ketentuan yang telah diatur Allah.
  • Mujāhid memberikan beberapa penjelasan: – Cahaya matahari tidak menyerupai cahaya bulan; masing-masing memiliki karakter dan fungsinya. – Siang dan malam “saling mengejar” dalam ritme yang cepat dan teratur; siang mengikis gelap malam, dan malam menghapus terang siang, tanpa pernah tumpang tindih dalam waktu yang sama. – Pada malam hilal, matahari dan bulan tidak mungkin bertemu dalam satu lintasan; pada selain malam itu keduanya bisa terlihat, tetapi tidak dalam kondisi saling menyalip.
  • Ad-Dahhāk menyatakan bahwa tidak mungkin cahaya matahari menguasai cahaya bulan atau sebaliknya. Ketika matahari terbit, cahaya bulan hilang; ketika bulan muncul dengan cahaya kuatnya, matahari sudah tidak hadir.
  • ‘Ikrimah menafsirkan bahwa setiap dari keduanya memiliki “wilayah kekuasaan”: matahari pada siang hari, bulan pada malam hari. Karena itu, tidak mungkin matahari muncul pada malam hari dan mengambil peran bulan.
  • Al-Hasan al-Bashrī menegaskan bahwa kondisi khusus terjadi pada malam hilal, ketika matahari tidak mungkin mengejar bulan; sebaliknya bulan terbit mengikuti ketentuan yang tetap.
  • Qatādah menjelaskan bahwa setiap fenomena ini memiliki batas dan ketetapan. Bila datang masa siang, hilanglah kekuasaan malam; dan bila hadir malam, hilanglah peran siang.
  • Maqātil bin Sulaimān memberikan ringkasan yang kuat: matahari tidak dapat menyinari bersamaan dengan cahaya bulan karena ia adalah penguasa siang; sedangkan bulan adalah penguasa malam. Begitu juga malam tidak bisa “menyalip” siang, sebab keduanya bergerak dengan giliran yang teratur dan tidak saling menguasai.

Ayat ini menegaskan bahwa alam semesta tunduk pada aturan Allah yang tidak pernah kacau atau bertabrakan. Matahari berjalan menurut orbit dan waktu yang telah ditetapkan; bulan beredar dengan fungsinya; malam dan siang hadir secara berurutan tanpa saling mendahului. Semua ini menjadi bukti bahwa kehidupan dunia berjalan dalam keseimbangan yang presisi—sebuah tanda kekuasaan Allah yang mengajak manusia untuk memahami keteraturan ciptaan-Nya.

Penutup

Dalam Surah Yasin ayat 40 beserta artinya, Allah menekankan pentingnya mengamati dan memahami fenomena alam sebagai bukti kebesaran-Nya dan sunatullah yang mengatur segala sesuatu dengan sempurna. Ayat ini mengajak kita untuk merenungkan ketetapan Allah dalam pergerakan benda-benda alam seperti matahari, bulan, malam, dan siang yang bergerak dengan tertib tanpa tabrakan.

Sunatullah, atau peraturan Allah yang mengatur alam semesta, merupakan salah satu tema penting dalam ayat ini. Melalui fenomena-fenomena alam ini, Allah ingin mengingatkan kita akan kebesaran-Nya sebagai Pencipta dan Penguasa yang Mahakuasa. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat terakhir Surah Yasin “Maha Suci Tuhan yang di tangan-Nya segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,” kita diingatkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta berada di bawah kendali-Nya yang mutlak. Sunatullah menunjukkan kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas dalam mengatur setiap aspek kehidupan di alam semesta ini.