Ini cerita. Biasa saja; bukan cerita lucu juga bukan penggugah semangat apalagi penggugah orang tidur. Jelas bukan! Ini cerita contoh jamak taksir. Taksir, pakai ‘K’ bukan ‘N’!
Istilah BTS (behind the scene) dan judul ‘contoh jamak taksir’ 100% tidak memiliki korelasi. Tidak ada hubungannya sama sekali! Baik hubungan kekerabatan maupun mahram.
Namun untuk kali ini, terpaksa kami hubungkan dengan menjodohkan kedua istilah itu dalam sebuah tulisan. Siapa tahu dikemudian waktu mereka berdua bisa sakinah, mawadah wa rahmah.
Jika dalam dunia perfilman ada istilah BTS maka boleh lah istilah ini dipinjam untuk dunia per-nahwu-an. Tetapi harus ijin kepada siapa ya untuk meminjam istilah ini? Siapa yang punya istilah ‘dibelakang layar’ ini?
Baiklah karena tidak ada yang mengaku, kita pakai saja. Atau mungkin kalian punya istilah lain dari ‘dibelakang layar’ ini? Dibelakang rumah? Jangan! nanti dikira qadhil hajat. Dibelakang motor? Itu sih boncengan! Coba beri saran kepada kami.
Karena belum ada saran yang masuk (memang belum disediakan pintunya), sementara istilah BTS ini Kami ‘ijabkan’ dengan Nahwu. Sah? Sah? Sah? (sambil nengok Pak saksi) …alhamdulillah.
Cerita Contoh Jamak Taksir
Perlu dipertegas sebagai komitmen kita bersama (ehem) dalam mengarungi bahtera kata-kata; bahwa jalan cerita ini tidak selalu happy ending, tidak lucu juga tidak menginspirasi. Silahkan tentukan sikapmu.
Jika kamu ragu maka cukup sampai di sini. Keputusan ini mungkin memang pahit. Tapi yakinlah, itu lebih baik bagi kita.
Namun jauh dari lubuk hati yang terdalam, sebenarnya aku masih berharap. Kamu bisa ngerti dan paham. Mengerti dan memahami arti ‘kita’ dalam alur cerita dunia kata-kata.
Baiklah, karena pandanganmu sudah sampai di sini. Mengeja kata demi kata yang kutitipi rasa. Merangkainya dalam kalimat yang kuselipkan asa. Maka kuterima keseriusanmu dan mari kita lanjutkan cerita ini.
Tahukah kamu? 7 kitab telah kulalui, 7 situs kujelajahi dan 7 posisi aku berganti hanya untuk mewujudkan keinginanmu. Menemukan yang kamu cari; contoh Jamak Taksir.
Ketika ku buka Kitab Suci, aku terhenti. Dalam suatu ayat di ujung Surah al Quran aku mengernyitkan dahi. Kubaca pelan-pelan sampai lah pada ayat alladzi yuwaswisu fi sudurin naas.
ٱلَّذِي يُوَسۡوِسُ فِي صُدُورِ ٱلنَّاسِ
Dari ayat inilah cerita dimulai, rekaman visual pikiranku seakan menekan tombol ‘play’. Video pikiran pun terputar. Durasi mulai menghasilkan impresi.
Dan seperti yang biasa kita temui, iklan demi iklan menyelinap tanpa permisi. Aku harus sabar menunggu tombol ‘play’ muncul lagi atau setidaknya kuikhlaskan (tapi terpaksa?) menunggu ‘hajat’nya terpenuhi.
Begitu pula pikiranku akan ayat itu. Berputar tapi sesekali terdistupsi. Seperti kamu, aku pun bersabar (semoga ikhlas) hingga sampailah pada contoh jamak taksir; shudur (صُدُور).
Aku tahu kalau itu jamak taksir. Tapi mengapa kepadanya aku menjadi naksir? Ingin rasanya mengenal contoh ini lebih dekat?
Aku pun tak mengerti mengapa keinginan itu ada. Semua berjalan begitu saja. Dan akan terus aku ikuti kemana keinginan ini beralamat.
Sampailah pada kitab. Beberapa keterangan mulai bermunculan. Begini dan begitu. Aku mangguk-mangguk seolah-olah paham yang mushanif sampaikan (semoga memang begitu). Di sini aku berhenti lagi. Di narasi ini:
ويُطلَق الصَّدرُ على (القلب) لِحُلُولِه به
Dalam teks itu, tahukah kamu, kata yang mana yang memikat hatiku? Tolong jawab! Meskipun ini hatiku, kamu pun boleh menabak-nebaknya (dan memang bukankah biasanya begitu?. Sekarang? Boleh, tapi nanti akan aku jawab di BTS selanjutnya.
Selamat Hari Santri Nasional (HSN)!
22 Oktober 2022 Semoga Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan.