Analisis Surah al Ala Ayat 18-19

Surah al Ala ayat 18 19 latin dan artinya tertulis Inna hadza lafis shuhufil ula (18), Shuhufi Ibrahima wa Musa (19), sementara artinya adalah: Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu (18), (yaitu) Shuhufnya Ibrahim dan Musa (19). Begitu tulisan Surat al Ala latin dan terjemahannya.

Kedua ayat ini merupakan bagian terakhir dari Surat al A’la atau Surah sabihis. Sebagai penutup surah, ayat 18 dan 19 ini merupakan satu kesatuan yang memberikan informasi bahwa ayat-ayat sebelumnya juga terdapat dalam shuhufnya Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, alaihimas salam.

Ada beberapa kajian menarik dari Surat Al A’la 18-19 ini. Tulisan ini akan mengkaji dan menjelaskan makna shuhuf, perbedaan shuhuf dengan kitab suci. Selain itu, tentu akan menukil beberapa pendapat mufasir terkait tafsir Surah al Ala ayat 18 19 ini.

Kajian Nahwu Surah Al Ala Ayat 18 19

Surah al Ala ayat 18 19 latin arab artinya
Surat al Ala ayat 18-19 Arab, Latin dan Artinya

Yang pertama dan utama dari kajian Surah al Ala ayat 18 19 ini tentu dari aspek kebahasaan atau gramatikanya. Ilmu Nahwu dalam hal ini bisa memberikan penjelasan sebagai berikut:

‘Inna hadza’ (إِنَّ هذا), inna merupakan amil nawasikh atau disebut Huruf yang serupa dengan fi’il, amalnya tansibul isma wa tarfa’ul khabar (menasabkan isim inna dan merofakkan khobarnya). ‘Hadza’ isim isyarah sebagai isimnya ‘Inna’, mahal nashab karena ‘Inna’.

‘Lafis shuhufi’ (لَفِي الصُّحُفِ), La (lam) huruf taukid, ‘fi’ harfu jar, ‘as shuhufi’ majrur-nya ‘fi’. Lafadz ‘lafis shuhufi’ menjadi khobarnya ‘inna’

‘al Ula’ (الْأُولى ) sebagai sifat atau na’at dari man’ut berupa lafadz ‘shuhuf’. Al ula ini merupakan bentuk muannats, bentuk mudzakarnya al Awwal. Al ula dibaca jar karena tabi (mengikuti) irobnya shuhuf. Alamat jarnya i’rob taqdiri.

‘Shuhufi Ibrahima’, (صُحُفِ إِبْراهِيمَ) shuhuf merupakan jamak taksir, ia berposisi menjadi badal dari lafadz ‘shuhuf’ sebelumnya. ‘Ibrahim’ menjadi mudhaf ilaih dari ‘shuhuf’, dibaca jar dengan fathah karena isim ghairu munsharif.

‘Wa Musa’ (وَمُوسى), Wawu huruf athaf, ‘Musa’ ma’thuf kepada ‘Ibrahim’. Karena ataf-ma’thuf maka irobnya Musa sama dengan Ibrahim, yaitu Jar. Alamat irobnya taqdiri atau dikira-kirakan karena lafadz Musa termasuk isim maqshur.

Arti Shuhuf Dalam Surat Al Ala Ayat 18 dan 19

Dalam al-A’la 18 dan 19 terdapat dua kata Shuhuf. Kata “shuhuf” merupakan bentuk jamak taksir dari shahifah (‌صَحِيفة) yang artinya lembaran atau halaman. Selain ‘shuhuf’ ada juga bentuk jamak dari shahifah yaitu shaa’if (صَحائفُ), Shihaaf (صِحَاف) dan sahiifaat (صَحيفات) terakhir ini contoh jamak muannats salim.

Jadi, arti Shuhuf secara harfiah adalah lembaran-lembaran atau kumpulan halaman. Dari sini, sehingga nanti muncul istilah mushaf (مُصْحَف) karena semuanya berakar kata sama. Mushaf sendiri arti harfiahnya kumpulan lembaran atau halaman.

Arti Suhuf dalam konteks Surah Sabihis ayat 18-19 adalah lembaran-lembaran yang berisi wahyu ilahi (samawi) yang diberikan kepada nabi dan rasul-Nya. Jadi, kedua ayat ini menyiratkan bahwa Nabi Ibrahim dan Nabi Musa juga menerima wahyu dari Allah SWT dalam bentuk shuhuf yang mana isinya umumnya memiliki kesinambungan ajaran tauhid dari zaman Nabi Ibrahim dan Nabi Musa hingga zaman Nabi Muhammad.

Suhufi Ibrahima wa Musa

Dalam Surah Al Ala Ayat 18-19 suhufi Ibrahima wa Musa, menyebutkan kata ‘shuhuf’ sebanyak dua kali, yang mana shuhuf tersebut dimiliki Nabi Musa dan Nabi Ibrahim. Lalu timbul pertanyaan, kalau Nabi Ibrahim mungkin wajar, karena beliau tidak ‘memiliki’ kitab suci, lalu bagaimana dengan Nabi Musa yang juga memiliki Kitab Suci Taurat? Apakah shuhuf Musa itu maksudnya Taurat, atau bagaimana?

Perbedaan Shuhuf dengan Kitab Suci

Memang terjadi dua kubu besar pendapat terkait perbedaan shuhuf dengan kitab suci.

Pendapat pertama menyatakan bahwa kitab suci dan Shuhuf adalah meujuk pada entitas yang sama. Terkait shuhuf yang diberikan kepada Nabi Musa adalah Taurat itu sendiri. Menurut pendapat ini, dalam al Quran, Allah SWT menyebutnya dengan ‘Alwah’ (الْأَلْوَاحَ), dalam beberapa ayat, “Taurat” dalam beberapa ayat lainnya, dan “Shuhuf” dalam ayat lainnya.

Pendapat kedua menyatakan bahwa Shuhuf yang diturunkan kepada Nabi Musa berbeda dari kitab suci; artinya Shuhuf bukan Taurat. Mudahnya, Taurat adalah kitab sebagaimana al Quran sementara Shuhuf berisi penjelasan dalam Taurat, layaknya Hadits atau Sunnah Nabi.

Dari aspek keimanan, perbedaan shuhuf dengan kitab suci yaitu umat Islam wajib mengimani terhadap empat kitab suci. Keempat Kitab Suci itu adalah Kitab Taurat yang diberikan kepada Nabi Musa AS, Kitab Zabur yang diperuntukkan kepada Nabi Daud AS, Kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa AS, dan Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sementara terhadap Shuhuf, kewajiban mengimaninya tidak tertuang dalam rukun Islam.

Dari aspek kandungan, perbedaan shuhuf dengan kitab suci adalah isi kandungannya. Secara sederhana, umumnya shuhuf berisi nasehat, cerita, amtsal/pelajaran dan pengajaran tentang adab atau moralitas, yang mana semua isinya dalam bingkai tauhid. Namun di dalamnya, tidak mengandung hukum-hukum dan peribadahan sebagaimana terkandung dalam al Quran.

Persamaan Shuhuf dengan Kitab Suci

Setelah mengetahui perbedaan keduanya, lalu apa titik kesamaan antara kitab suci dengan shuhuf? Sebagaimana disinggung dalam Surah Al Ala Ayat 18 19 yang menjelaskan tentang ajaran dalam shuhuf Nabi Ibrahim dan Musa, antara shuhuf dan kitab suci memiliki kesamaan ketauhidan; ajakan agar selamat dunia dan akhirat.

Argumentasi mudahnya adalah kandungan atau bahkan teks Surah Al Ala ini terdapat dalam Shuhufnya kedua nabi di atas (lihat tafsir Surah Al Ala Ayat 18-19). Artinya pesan atau kandungan surat al A’la juga salah satu dari, khususnya, kandungan Shuhuf Ibrahim dan Musa.

Jumlah Shuhuf

Menurut keterangan dalam Shohih Ibn Hibban ada seratus empat kitab (dan shuhuf) yang diberikan Allah kepada para nabi dan rasul-Nya. Ke-104 kitab itu diperinci sebagai berikut:

  • 50 shahifah turun untuk Nabi Syis/Syith
  • 30 shahifah turun untuk Nabi Idris (Ukhnukh)
  • 10 shahifah turun untuk Nabi Ibrahim
  • 10 shahifah turun untuk Nabi Musa sebelum Kitab Taurat
  • 4 Kitab Suci (Taurat, Injil, Zabur dan Al-Qur’an)

Jadi, jika shuhuf dan kitab suci dibedakan maka ada 100 suhuf dan 4 kitab suci. Yang perlu digaris bawahi dari Hadist riwayat Ibnu Hibban tersebut semuanya (shuhuf dan kitab) turun dari Allah Swt.

Tafsir Surah al Ala Ayat 18 19

Pendekatan tafsir ini melalui pengiroban ayat yaitu pada sub judul Kajian Nahwu Surah Al A’la Ayat 18-19. Khususnya pada isim isyarah ‘Hadza’.

Hadza merupakan kata tunjuk yang mesti mewakili sesuatu yang ditunjuk atau musyarah ilaih. Dalam memberikan rujuk terhadap musyarah ilaih ini ada beberapa pendapat yang tentu berkaitan dengan tafsir Surah al Ala ayat 18 19 itu sendiri.

  • Pendapat pertama, dalam beberapa kitab tafsir, seperti yang tertuang dalam Tafsir jalalain menyebutkan bahwa Hadza merujuk pada ‘iflah dan akhirat’ (إفلاح من تزكى وكون الآخرة خيرا). Menurut tafsiran ini, seolah-olah dikatakan: sesungguhnya -keberuntungan orang yang tazkiyah dan akhirat itu lebih baik- benar-benar terdapat dalam shuhuf..
  • Pendapat kedua, menurut Ibnu Abbas bahwa teks seluruh Surat Al-A’la juga termuat di dalam Suhuf Ibrahim dan Musa.
  • Pendapat ketiga bahwa pokok/pesan dari Surat Al-A’la selaras dengan yang ada di dalam Suhuf Ibrahim dan Musa.

Kandungan Surah al Ala Ayat 18 19

Setelah mengkaji kebahasaan dan tafsir dari Surah al A’la ayat 18-19 maka dapat disimpulkan kandunganya. Ayat 19 adalah badal dari kata ‘shuhufil Ula’ pada ayat 18. Badal artinya pengganti. Yang mana salah satu faidahnya adalah tanshish (penjelas).

Jadi, kandungan Surah al Ala ayat 18 dan 19 merupakan penjelasan dan penguat bahwa seluruh isi kandungan surat Al A’la bersinergi bahakan sama persis dengan ajaran-ajaran para nabi sebelumnya melalui suhuf-suhufnya. Ya, kandungan ayat 18-19 ini adalah penjelasan sekaligus penguat ayat-ayat sebelumnya.

Kesimpulan

Dari kajian lengkap Surah al Ala ayat 18 19 ini dapat disimpulkan bahwa syariat Allah sudah ada sebelum Nabi Muhammad Saw. Syariat yang dimaksud dalam arti umum. Ajaran-ajaran tauhid, baik dan buruk, pembalasan di akhirat dan lainnya ini termaktub dalam suhuf-suhuf para nabi dan rasul.

Khusus dalam Surah al A’la ayat 18-19 memberi penegasan akan hal tersebut. Ini merupakan bentuk keserasian, sinergi dan kecocokan inti ajaran Islam, meskipun secara hukum dan dhohirnya Ibadah mungkin ada yang di-nashk oleh al-Qur’an. Wallahu a’lam bisshowab.