Bahasa Arab bukan sekadar bahasa komunikasi, melainkan sistem makna yang kompleks dan dalam. Untuk memahami teks-teks utama dalam Islam seperti Al-Qur’an dan Hadis secara utuh, diperlukan pemahaman mendalam terhadap struktur kalimatnya. Salah satu aspek yang sering terabaikan namun sangat krusial adalah konsep ta‘aluq dan muta‘allaq.
Konsep ini menjadi landasan penting ketika kita menganalisis frasa-frasa seperti dhorof makan (keterangan tempat) dan dhorof zaman (keterangan waktu), serta jar majrur yang sering muncul dalam hampir setiap ayat. Tanpa memahami bagaimana elemen-elemen ini saling terhubung, seseorang akan mudah keliru dalam menafsirkan posisi makna atau bahkan tujuan dari sebuah ayat.
Dalam artikel ini, kita akan mengurai konsep ta‘aluq (keterkaitan) dan muta‘allaq (tempat bergantungnya), mulai dari definisi teknisnya hingga penerapan praktisnya dalam ayat-ayat populer, seperti dari surah al-Baqarah, Maryam, Yusuf, Yasin, dan al-Waqi‘ah. Kita akan membuktikan bahwa konsep ini bukan teori kosong, melainkan fondasi makna yang hidup dalam susunan ayat Al-Qur’an.
Memahami Apa Itu Ta‘aluq dan Muta‘allaq
Secara bahasa, kata ta‘aluq (تعلُّق) berarti keterkaitan, hubungan, atau ketergantungan. Dalam konteks ilmu nahwu, ta‘aluq merujuk pada hubungan struktural antara dua unsur kalimat—biasanya antara keterangan (dhorof atau jar majrur) dan elemen utama seperti fi’il atau syibh fi’il. Ta‘aluq menjawab pertanyaan: “keterangan ini menggantung pada apa?”
Sedangkan muta‘allaq (متعلَّق) adalah unsur yang menjadi tempat bergantungnya. Dalam konteks ini, muta‘allaq biasanya berupa fi’il (kata kerja) atau syibh fi’il (isim fa‘il, isim maf‘ul, dan sejenisnya). Tanpa muta‘allaq, sebuah keterangan tempat atau waktu tidak akan punya makna lengkap. Ia seolah menggantung, tidak menjelaskan apa pun secara utuh.
Contoh sederhana bisa dilihat dalam kalimat:
جَلَسْتُ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
“Saya duduk di bawah pohon.”
Frasa تَحْتَ الشَّجَرَةِ adalah dhorof makan (keterangan tempat) dan tidak berdiri sendiri. Ia menggantung pada fi’il جَلَسْتُ sebagai muta‘allaq-nya. Tanpa adanya kata “duduk”, maka “di bawah pohon” menjadi frasa tanpa konteks tindakan.
Hal ini berlaku pula pada jar majrur yang dalam ilmu nahwu digolongkan sebagai syibh jumlah. Frasa seperti فِي الْبَيْتِ (di dalam rumah) tidak bisa berdiri sebagai kalimat. Ia butuh tempat bergantung agar memiliki makna jelas. Misalnya, dalam kalimat:
النَّاسُ فِي الْبَيْتِ
“Orang-orang berada di dalam rumah.”
Ta‘aluq terjadi antara فِي الْبَيْتِ dan كَانُوا (yang secara mahzuf tersirat), atau ke النَّاسُ jika ia menjadi khabar dalam struktur mubtada’-khabar.
Dengan memahami struktur ini, kita akan mampu menganalisis ayat-ayat Al-Qur’an secara lebih presisi. Banyak sekali ayat yang secara eksplisit atau implisit memuat ta‘aluq yang perlu dicermati agar maknanya tidak disalahpahami.
Contoh Ta‘aluq dan Muta‘allaq dalam Surah Al-Baqarah
Pemahaman konsep ta‘aluq dan muta‘allaq tidak cukup hanya dengan definisi. Ia menjadi lebih jelas ketika diterapkan langsung dalam analisis ayat. Kita mulai dari salah satu ayat awal dalam Surah al-Baqarah:
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit itu kepada mereka.”
(QS. Al-Baqarah: 10)
Pada potongan ayat فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ, ada struktur syibh jumlah berupa فِي قُلُوبِهِمْ yang berfungsi sebagai keterangan tempat, dan kata مَرَضٌ sebagai mubtada’. Di sinilah ta‘aluq bekerja.
- فِي قُلُوبِهِمْ adalah jar majrur — termasuk dalam kategori syibh jumlah.
- مَرَضٌ adalah mubtada’ (subjek kalimat nominal).
- Syibh jumlah فِي قُلُوبِهِمْ ta‘aluq pada مَرَضٌ sebagai khabar (predikat).
Artinya, informasi “dalam hati mereka” menjelaskan posisi dari “penyakit” itu. Dhorof (di sini berupa jar majrur) tidak berdiri sendiri, tetapi terikat (ta‘aluq) kepada “penyakit” sebagai inti informasi. Tanpa “penyakit”, frasa “dalam hati mereka” tidak menyampaikan pernyataan utuh.
Contoh ini memperlihatkan bahwa ta‘aluq dalam kalimat nominal (jumlah ismiyyah) bisa terjadi antara syibh jumlah dengan unsur khabar atau mubtada’. Ini berbeda dengan kalimat fi‘liyyah yang lebih sering menghubungkan syibh jumlah ke fi‘il.
Contoh lain dari Surah al-Baqarah:
وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh bahwa bagi mereka surga-surga…”
(QS. Al-Baqarah: 25)
Perhatikan frasa لَهُمْ جَنَّاتٌ. Ini adalah struktur jumlah ismiyyah, namun dengan pola terbalik:
- لَهُمْ adalah jar majrur (syibh jumlah)
- جَنَّاتٌ adalah mubtada’ yang datang setelahnya
Dalam struktur seperti ini, syibh jumlah لَهُمْ menempati posisi khabar muqaddam (predikat yang didahulukan). Ta‘aluq terjadi dari frasa “bagi mereka” ke unsur جَنَّاتٌ, sehingga maknanya utuh: “bagi mereka ada surga-surga.”
Tanpa pemahaman ta‘aluq ini, pembaca bisa saja salah mengira bahwa frasa لَهُمْ hanya pelengkap biasa, padahal ia adalah bagian utama dari struktur informasi (khabar).
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa ta‘aluq tidak hanya bekerja dalam fi’il dan dhorof, tapi juga dalam struktur kalimat nominal yang kompleks.
Ta‘aluq dalam Struktur Ayat Surah Maryam
Surah Maryam memuat banyak konstruksi kalimat yang padat makna dan kaya dengan elemen gramatikal. Salah satu struktur menarik yang menampilkan ta‘aluq secara jelas adalah ayat perintah kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk menyebutkan kisah Maryam:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مَرْيَمَ
“Dan ceritakanlah di dalam Kitab (al-Qur’an) tentang Maryam…”
(QS. Maryam: 16)
Frasa فِي الْكِتَابِ di sini adalah jar majrur yang perlu tempat bergantung (muta‘allaq). Mari kita uraikan:
- فِي الْكِتَابِ: jar majrur → syibh jumlah
- اذْكُرْ: fi‘il amr (kata kerja perintah) → muta‘allaq
Dengan demikian, ta‘aluq terjadi antara syibh jumlah فِي الْكِتَابِ dan fi‘il اذْكُرْ. Maknanya menjadi jelas: “Sebutlah (kisah Maryam yang terdapat) dalam al-Qur’an”.
Tanpa ta‘aluq ini, frasa “di dalam kitab” menjadi menggantung. Pembaca tidak tahu maksud “di dalam kitab” itu apa atau terkait dengan apa. Melalui ta‘aluq, makna menjadi konkret dan terarah.
Contoh berikutnya, juga dari Surah Maryam:
فَنَادَاهَا مِن تَحْتِهَا
“Lalu malaikat memanggilnya dari bawahnya…”
(QS. Maryam: 24)
Frasa مِن تَحْتِهَا menunjukkan keterangan tempat, yaitu asal suara yang memanggil. Mari kita lihat hubungan ta‘aluq-nya:
- مِن تَحْتِهَا: dhorof makan + huruf jar → syibh jumlah
- نَادَاهَا: fi‘il + dhamir (dia memanggilnya) → muta‘allaq
Ta‘aluq terjadi antara tempat (bawahnya) dan peristiwa (panggilan). Artinya, “panggilan itu datang dari bawahnya”. Jika kita pisahkan مِن تَحْتِهَا dari fi‘il, makna kalimat menjadi kabur atau tidak sempurna.
Analisis ini menegaskan bahwa dhorof makan dalam ayat-ayat seperti ini selalu membutuhkan titik kait (ta‘aluq) pada peristiwa yang dijelaskan oleh fi‘il atau syibh fi’il.
Struktur Waktu dan Ta‘aluq dalam Surah Yusuf
Surah Yusuf menyajikan narasi dengan struktur kalimat yang sangat dinamis, termasuk berbagai dhorof zaman (keterangan waktu) yang berfungsi memberi konteks pada peristiwa. Salah satu contoh jelas terdapat pada ayat:
وَقَالَ الَّذِي نَجَا مِنْهُمَا وَادَّكَرَ بَعْدَ أُمَّةٍ
“Dan orang yang selamat di antara keduanya berkata, setelah sekian waktu ia teringat…”
(QS. Yusuf: 45)
Fokus analisis terletak pada frasa بَعْدَ أُمَّةٍ. Mari kita pecah unsur kalimatnya:
- بَعْدَ أُمَّةٍ: dhorof zaman (setelah sekian waktu)
- ادَّكَرَ: fi‘il (ia ingat) → muta‘allaq
Ta‘aluq terjadi antara waktu (setelah masa) dan peristiwa (ingat kembali). Dhorof بَعْدَ أُمَّةٍ memberikan informasi kapan peristiwa ادَّكَرَ terjadi. Tanpa keterkaitan ini, informasi waktu akan mengambang dan tidak menjelaskan waktu kejadian secara tepat.
Contoh ini memperkuat kaidah bahwa dhorof zaman membutuhkan titik kait agar terintegrasi ke dalam makna kalimat secara fungsional.
Contoh Ta’aluq dalam Surah Yasin
Surah Yasin banyak menggunakan struktur kalimat pendek yang tajam dan kuat secara makna. Salah satunya adalah ayat yang menggambarkan kondisi orang kafir:
إِنَّكُمْ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Sesungguhnya kalian benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
(QS. Yasin: 8)
Struktur kalimat ini adalah jumlah ismiyyah (kalimat nominal) yang diawali oleh huruf penekanan إنَّ. Analisis ta‘aluq-nya sebagai berikut:
- فِي ضَلَالٍ: syibh jumlah (jar majrur)
- Berfungsi sebagai khabar dari إنَّ
Di sini, ta‘aluq terjadi antara فِي ضَلَالٍ dengan unsur خبر إنَّ. Letak ‘kalian’ adalah dalam kesesatan — artinya, keberadaan mereka melekat pada kondisi sesat itu sendiri.
Struktur ini mengajarkan bahwa dalam kalimat yang tidak memuat fi‘il sekalipun, ta‘aluq tetap bekerja, terutama antara khabar dan unsur lain yang memberi penjelasan tempat atau keadaan.
Contoh Ta’aluq dalam Surah Al-Waqi‘ah
Allah menyebutkan golongan orang-orang yang berada dalam kenikmatan. Salah satu frasa yang mencerminkan ta‘aluq dalam bentuk tempat terdapat pada ayat: Surah Al-Waqi‘ah Ayat 12
فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ
“(Mereka berada) di taman-taman penuh kenikmatan.”
(QS. Al-Waqi‘ah: 12)
Pada banyak tempat, frasa ini berdiri di awal kalimat dan fi’il-nya mahzuf (dihilangkan karena dimaklumi dari konteks). Mari kita telusuri strukturnya:
- فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ: syibh jumlah (jar majrur)
- Muta‘allaq: fi‘il mahzuf (taqdir: يَكُونُونَ, “mereka berada”)
Ta‘aluq terjadi antara frasa tempat dan fi’il tersirat. Dalam hal ini, posisi golongan yang disebutkan (baik السابقون maupun أصحاب اليمين) adalah di dalam surga. Walau fi’il tidak disebut, ta‘aluq tetap terjadi karena secara makna posisi itu harus terkait dengan keberadaan atau kehadiran mereka.
Ini menunjukkan bahwa dalam Al-Qur’an, ta‘aluq bisa tetap berlaku meski muta‘allaq-nya tidak disebut secara eksplisit — asalkan konteksnya jelas dan dikenal pembaca atau pendengar.
PENUTUP
Pembahasan ta‘aluq dan muta‘allaq bukanlah wacana teknis yang hanya relevan bagi ahli nahwu atau pengkaji tata bahasa Arab klasik. Sebaliknya, ia merupakan fondasi makna dalam setiap struktur ayat Al-Qur’an. Tanpa memahami bagaimana sebuah keterangan tempat atau waktu menggantung pada fi‘il atau syibh fi‘il, makna ayat bisa menjadi tidak utuh atau bahkan meleset.
Melalui contoh-contoh dari Surah Al-Baqarah, Maryam, Yusuf, Yasin, dan Al-Waqi‘ah, kita telah melihat bagaimana ta‘aluq bekerja secara konkret dalam berbagai bentuk struktur kalimat: baik dalam kalimat perintah, kalimat berita, kalimat yang fi’il-nya eksplisit maupun yang fi’il-nya mahzuf. Semua ini memperlihatkan betapa pentingnya memperhatikan keterkaitan antar unsur dalam membangun pemahaman terhadap teks Al-Qur’an.
Lebih jauh, pemahaman terhadap ta‘aluq bisa menjadi pijakan penting dalam tafsir, pengajaran bahasa Arab, hingga dalam penulisan karya akademik keislaman. Ia melatih pembaca untuk tidak sekadar membaca teks, tetapi menyelami relasi antara kata dan makna dalam susunan yang Allah susun dengan penuh ketelitian.
Jika pemahaman ini dibiasakan, maka pembacaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tidak lagi hanya bersifat formal, tetapi menjadi kajian makna yang bersifat struktural dan integratif. Dan di situlah bahasa Arab sebagai bahasa wahyu memperlihatkan kedalamannya.