Untuk menjaga tujuan utama idhafah, maka penyandaran dua kata yang memiliki makna sama tidak diperbolehkan. Namun dalam beberapa kasus hal ini terjadi, bagaiman penjelasannya? simak uraian lanjutan bab idhafah ini.
Dalam ilmu nahwu, iḍāfah adalah hubungan “muḍāf” dan “muḍāf ilayh”, biasanya untuk menunjukkan kepemilikan, keterangan, atau keterkaitan makna. Namun, tidak semua kata bisa di-iḍāfah-kan secara bebas. Ada aturan-aturan penting dalam al-idhafah yang harus diperhatikan agar susunan ini benar secara makna dan struktur.
1. Tidak Boleh Meng-iḍāfah-kan Isim kepada Sinonimnya
Dalam kaidah iḍāfah, tidak diperbolehkan untuk menyandarkan suatu isim kepada sinonimnya, yaitu kata yang memiliki arti yang sama atau mirip. Dalam Nadham Alfiyah aturan ini tertuang dalam bait:
وَلا يُضَافُ اسْمٌ لِمَا بِهِ اتَّحَدَ
مَعْنًى وَأُوِّلَ مُوهِمًا إِذَا وَرَدَ
Maknanya secara bebas:
“Dan tidak boleh suatu isim di-iḍāfah-kan kepada sesuatu yang maknanya sama dengannya. Jika terjadi demikian, maka harus ditakwil (ditafsirkan) agar tidak menimbulkan makna yang rancu.”
Contoh pengidhafahan dua kata semakna:
-
Tidak boleh dikatakan: ليثُ أسدٍ
Karena layth dan asad sama-sama berarti “singa”. Maka menyandarkan satu kepada yang lain tidak memberi nilai tambahan.
Kecuali jika keduanya adalah ‘alam (nama diri), maka dibolehkan:
-
Contoh: محمدُ خالدٍ
Di sini, Muḥammad dan Khālid adalah nama orang, dan bisa saling di-iḍāfah-kan karena fungsinya bukan sebagai sinonim, tapi sebagai penanda hubungan antara dua nama.
2. Tidak Boleh Menjadikan Ṣifah sebagai Muḍāf Ilayh untuk Isimnya
Kaidah lainnya adalah: tidak boleh menjadikan ṣifah sebagai muḍāf ilayh dari mawṣūf-nya. Contohnya:
-
Tidak boleh dikatakan: رجلُ فاضلٍ
Karena secara struktur, ini menyandarkan mawṣūf (رجل) kepada ṣifah-nya (فاضل), yang tidak logis dalam sistem iḍāfah.
3. Ketika Ṣifah Tampak Sebagai Muḍāf Ilayh
Terkadang, dalam bahasa Arab kita menemukan bentuk iḍāfah yang sekilas tampak menyelisihi kaidah ini. Contoh:
-
صلاةُ الأولى
-
مسجدُ الجامعِ
-
حبةُ الحمقاءِ
-
دارُ الآخرةِ
-
جانبُ الغربي
Apakah ini menyalahi aturan?
Tidak. Ini adalah bentuk khusus yang dibolehkan karena adanya taqdīr (penghilangan lafaz). Dalam bentuk aslinya, muḍāf ilayh yang sebenarnya dihilangkan dan diganti oleh sifatnya. Misalnya:
-
صلاةُ الأولى ← Aslinya: صلاةُ الساعةِ الأولى (salat waktu pertama)
-
مسجدُ الجامعِ ← Aslinya: مسجدُ المكانِ الجامع (masjid tempat yang mempersatukan)
-
دارُ الآخرةِ ← Aslinya: دارُ الحياةِ الآخرة (rumah kehidupan akhirat)
Dengan kata lain, ṣifah seperti al-ūlā, al-jāmiʿ, dan al-ākhirah berdiri mewakili isim yang dihapuskan.
4. Boleh Menjadikan Ṣifah sebagai Muḍāf ke Mawṣūf (dengan Syarat)
Yang diperbolehkan justru kebalikannya: menjadikan ṣifah sebagai muḍāf kepada mawṣūf. Namun, ada syarat penting:
Harus bisa ditakwil atau ditafsirkan dengan menambahkan “مِن” (min) di antara keduanya.
Contoh:
-
كرامُ الناسِ → al-kirām min al-nās (orang-orang mulia dari kalangan manusia)
-
عظائمُ الأمورِ → al-ʿaẓāʾim min al-umūr (perkara-perkara besar)
-
كبيرُ أمرٍ → kabīr min amr (yang besar dari suatu perkara)
Jika susunan ini bisa diubah menjadi bentuk dengan “min”, maka iḍāfah semacam ini diperbolehkan.
5. Idhafah Shifat kepada Maushuf
Secara umum, dalam bahasa Arab, kata sifat (ṣifah) biasanya mengikuti kata benda (mawṣūf) dalam bentuk naʿat (sifat). Namun, ada kondisi di mana ṣifah boleh menjadi muḍāf dan mawṣūf-nya menjadi muḍāf ilayh, membentuk iḍāfah.
Syarat Kebolehan
Iḍāfah semacam ini diperbolehkan dengan satu syarat penting:
Harus bisa ditakwil (dianggap) sebagai makna “min” (dari) antara muḍāf dan muḍāf ilayh.
Artinya, hubungan antara keduanya bukan sifat langsung, tetapi bisa dipahami sebagai jenis atau bagian dari sesuatu.
Contoh dan Takwilnya
-
كرامُ الناسِ
-
al-kirām min an-nās
-
Artinya: “Orang-orang yang mulia dari kalangan manusia.”
-
Kiram (mulia) adalah sifat, tapi ketika dijadikan muḍāf, an-nās menjadi asal atau jenis dari sifat itu.
-
-
جائبةُ خبرٍ
-
jāʾibah min khabar
-
Artinya: “pembawa berita”
-
Jāʾibah adalah isim fāʿil (pembawa), dan khabar bukan maʿmūl langsung, tapi menunjukkan jenis hal yang dibawa.
-
-
مُغَرِّبةُ خبرٍ
-
mughaṛṛibah min khabar
-
Artinya: “penyebar berita ke barat”
-
Struktur ini menunjukkan asal-usul atau arah dari sifat tersebut.
-
-
أخلاقُ ثيابٍ
-
akhlaq min thiyāb
-
Artinya: “sisa-sisa pakaian” atau “bagian dari pakaian”
-
Hubungannya adalah jenis atau asal sesuatu, bukan sifat langsung.
-
-
عظائمُ الأمورِ
-
ʿaẓāʾim min al-umūr
-
Artinya: “urusan-urusan besar”
-
ʿaẓāʾim adalah bentuk jamak taksīr dari ʿaẓīmah, yang secara semantik bisa dihubungkan dengan al-umūr melalui “min”.
-
-
كبيرُ أمرٍ
-
kabīr min amr
-
Artinya: “hal besar dari suatu urusan”
-
Hubungan ini mengandung makna pembesaran dari jenisnya.
-
Semua contoh di atas sah digunakan karena makna “min” logis dan lazim antara muḍāf (sifat) dan muḍāf ilayh (mawṣūf).
Ketika Iḍāfah Ini Tidak Sah
Namun, jika tidak bisa dipahami sebagai “min”, maka penyandaran ini tidak diperbolehkan. Artinya, struktur kalimat menjadi rancu secara makna dan tidak sah secara nahwu.
Contoh yang Salah:
-
فاضلُ رجلٍ
-
Tidak bisa dikatakan: fāḍil min rajul
-
Karena rajul bukan asal atau jenis dari fāḍil, melainkan justru sebaliknya: fāḍil adalah sifat dari rajul.
-
-
عظيمُ أميرٍ
-
Tidak dapat ditakwil: ʿaẓīm min amīr
-
Karena tidak ada makna “asal” atau “jenis” yang logis di antara keduanya.
-
Dalam kedua contoh ini, lebih tepat menggunakan struktur sifat-mawṣūf biasa:
-
رجلٌ فاضلٌ (seorang pria yang mulia)
-
أميرٌ عظيمٌ (seorang pemimpin yang agung)
Memahami iḍāfah bukan sekadar mengenal struktur dua kata, tetapi juga memahami hubungan makna antara keduanya. Dalam praktiknya, memahami kaidah-kaidah ini membantu menghindari kekeliruan dalam membuat frasa deskriptif dan menjadikan bahasa Arab kita lebih halus dan tepat.