Istisna’ dengan Illa إلّا dan Hukumnya

Dalam ilmu nahwu, istisnāʾ (الإستثناء) dengan illa terbagi ke dalam beberapa jenis, ditinjau dari hubungannya antara yang dikecualikan (المستثنى) dan yang dikecualikan darinya (المستثنى منه). Pemahaman jenis ini sangat penting agar kita tidak keliru dalam memahami maksud suatu kalimat Arab, terutama dalam konteks hukum atau tafsir.

1. Istisna’ Muttashil

Istisnāʾ muttaṣil terjadi apabila yang dikecualikan (المستثنى) masih berasal dari jenis yang sama dengan yang dikecualikan darinya (المستثنى منه). Hubungan antara keduanya masih bersambung dari segi jenis, walaupun tidak bersambung dari segi hukum fi’li (perbuatan).

Contoh:

قام القومُ إلّا زيدًا
Kaum itu berdiri, kecuali Zaid.

Penjelasan contoh Istisna diatas:

  • القوم (kaum) adalah sekelompok manusia.

  • زيد juga manusia, maka secara jenis ia termasuk bagian dari yang disebut sebelumnya (jenis manusia).

  • Maka ini disebut istisnāʾ muttaṣil, karena jenisnya sama.

  • Namun, hukum berdiri tidak berlaku atas Zaid, karena ia dikecualikan.

Kalimat ini tidak berarti “Zaid ikut berdiri bersama kaum”. Justru sebaliknya, kalimat ini menyatakan bahwa Zaid tidak berdiri, meskipun secara jenis dia termasuk bagian dari kaum.

Catatan Nahwiyyah: Dalam konstruk ini, istisnāʾ disebut muttaṣil karena adanya kesatuan jenis (النوع), bukan kesatuan hukum fi’li.

2. Istisna’ Munqathi’

Istisnāʾ munqaṭiʿ terjadi apabila yang dikecualikan bukan dari jenis yang disebut sebelumnya. Artinya, antara المستثنى dan المستثنى منه tidak memiliki hubungan jenis atau kategori yang sama.

Contoh:

ما في الدار أحدٌ إلّا حمارٌ
Tidak ada seorang pun di rumah, kecuali seekor keledai.

Penjelasan:

  • أحدٌ menunjukkan manusia.

  • حمارٌ (keledai) bukan dari jenis manusia.

  • Maka pengecualian ini tidak bersambung secara jenis, dan disebut istisnāʾ munqaṭiʿ.

Makna yang dimaksud:
Tidak ada manusia di dalam rumah, tetapi ada seekor keledai.

Ringkasan Perbedaan Istisna’ Muttashil dan Munqathi’

Jenis Istisnāʾ Hubungan Jenis Contoh Makna
Muttaṣil (متصل) Sama قام القوم إلّا زيدًا Semua kaum berdiri, kecuali Zaid (Zaid tidak berdiri).
Munqaṭiʿ (منقطع) Berbeda ما في الدار أحدٌ إلّا حمارًا Tidak ada manusia di rumah, tetapi ada seekor keledai.

I’rab Istisnāʾ dengan Huruf إِلَّا

Dalam bab istisnāʾ (الإستثناء), huruf إِلَّا merupakan alat utama yang digunakan untuk menyatakan pengecualian. Dari sisi i‘rāb, posisi المستثنى (yang dikecualikan) setelah إِلَّا dapat berbeda-beda, tergantung pada kelengkapan dan jenis kalimat.

Untuk memahami i‘rāb ini, perlu kita pahami dua hal mendasar:

  1. Apakah kalimat istisnāʾ tersebut tāmm (تامّ) atau mufarraġ (مفرّغ)?

  2. Apakah istisnāʾ tersebut mutsbat (مُثْبَت) atau manfī (منفيّ)?

1. Jika Kalimatnya Tāmm Mutsbat (تامّ مثبت)

Kalimat disebut tāmm apabila menyebut المستثنى منه secara eksplisit, dan disebut mutsbat jika tidak ada penafian (penyangkalan) di dalamnya.

Contoh:

حضر الطلابُ إلّا زيدًا
Semua murid hadir, kecuali Zaid.

I‘rāb:

  • حضر: fi‘l māḍī (kata kerja lampau).

  • الطلابُ: fā‘il marfū‘ (pelaku yang di-raf‘-kan).

  • إلّا: ḥarf istisnāʾ (huruf pengecualian).

  • زيدًا: mustatsnā mansūb (yang dikecualikan dalam keadaan naṣb).

Kaedah:

Jika kalimatnya tāmm dan mutsbat, maka المستثنى harus mansūb.

2. Jika Kalimatnya Tāmm Manfī (تامّ منفيّ)

Artinya, ada penafian (seperti “tidak”, “belum”, “tidak seorang pun”, dll), dan mustatsnā minhu tetap disebutkan.

Contoh:

ما حضر الطلابُ إلّا زيدٌ
Tidak ada murid yang hadir, kecuali Zaid.

Kalimat ini memungkinkan dua i‘rāb untuk Zaid, tergantung pada penafsiran nahwiy:

  • Zaid sebagai mustatsnāmansūb:

    • I‘rāb: زيدًا مستثنى منصوب بإلّا

    • Makna: Semua murid tidak hadir, kecuali Zaid yang hadir.

  • Zaid sebagai badal dari mustatsnā minhumarfū‘:

    • I‘rāb: زيدٌ بدل مرفوع من الطلاب

    • Makna: Hanya Zaid saja yang hadir dari seluruh murid.

Catatan Penting:

Dalam kalimat tāmm manfī, المستثنى boleh dua i‘rāb: sebagai mustatsnā (mansūb) atau sebagai badal (mengikuti i‘rāb mustatsnā minhu).

3. Jika Kalimatnya Mufarraġ (مفرّغ)

Disebut mufarraġ apabila mustatsnā minhu tidak disebut, dan biasanya didahului nafi (penafian), istifhām (pertanyaan), atau nahy (larangan).

Contoh:

ما حضر إلّا زيدٌ
Tidak ada yang hadir kecuali Zaid.

I‘rāb:

  • ما: ḥarf nafi (kata penyangkal).

  • حضر: fi‘l māḍī.

  • إلّا زيدٌ:

    • زيدٌ adalah fā‘il dari fi‘l حضر, bukan mustatsnā secara struktural.

    • Karena mustatsnā minhu tidak disebut, maka struktur istisnāʾ terbuka (mufarraġ).

    • I‘rāb: زيدٌ فاعل مرفوع

Dalam istisnāʾ mufarraġ, lafaz setelah إِلَّا mengambil i‘rāb sesuai kedudukannya dalam kalimat, bukan sebagai mustatsnā.

Tabel Ringkas I‘rāb setelah إِلَّا

Jenis Kalimat Keberadaan Mustatsnā Minhu Ada Penafian? I‘rāb Mustatsnā
Tāmm Mutsbat Ada Tidak Mansūb (naṣb)
Tāmm Manfī Ada Ya Mansūb atau Badal (raf‘)
Mufarraġ Tidak Ada Ya Sesuai posisi dalam jumlah

Dengan pemahaman yang tepat tentang jenis-jenis istisnāʾ dan i’rabnya ini, kita akan lebih cermat dalam menafsirkan teks Arab, baik dalam pembacaan Al-Qur’an, hadits, maupun karya ulama. Kesalahan memahami hubungan antara mustatsnā dan mustatsnā minhu bisa berakibat pada penyimpangan makna, terlebih dalam konteks hukum syar’i.