Uraian Naat Maqthu’ berikut Contohnya

Kodrat naat selalu mengikuti man’utnya. Tetapi terkadang naat dipotong dari keberadaanya sebagai tabi’ sehingga dia tidak lagi ikut kepada manut. Ini disebut naat maqthu. Arti Maqthu adalah diputus/dipotong.

Ilustrasi dari naat maqthu’ ini seperti contoh Orang tua yang penyayang itu telah pergi. Naat yang berupa ‘yang penyayang’ ini dilepaskan dari ‘orang tua’. Kemudian ‘yang penyayang’ dijadikan kalimat sendiri dengan kedudukan baru, menjadi “Orang tua itu telah pergi. (Dia) penyayang”.

Jadi naat maqthu’ النَّعْتُ ‌الْمَقْطوع adalah naat yang dilepaskan dari sifat tabi’nya(ikut) kepada man’ut. Kemudian dibuatkan kedudukan i’rob baru untuk na’at maqthu’ tersebut.

Dalam konteks ini, arti maqthu’ dapat cukup luas, seperi dipotong, dilepaskan dicopot dipisah bahkan bisa juga menggunakan makana naat yang dimandirikan.

I’rob Naat Maqthu’

Jadi, manakala na’at diputus dari manut, maka kedudukan berubah menjadi salah satu dari  2 posisi berikut:

  1. Sebagai khobar dari mubtada’ yang dibuang, di’robi rofa’
  2. Sebagai maf’ul bih dari fi’il yang dibuang. Di’irobi nashob

Pada contoh naat dan manut misalnya اَلْحَمْدُ لِلّهِ العَظِيْمِ, normalanya kata “al adzimi” majrur, dibaca jar. Jika dibuat naat maqtu’ menjadi اَلْحَمْدُ لِلّهِ العَظِيْمُ dibaca rofa’ sebagai khobar dan اَلْحَمْدُ لِلّهِ العَظِيْمَ dibaca nashab berkedudukan maf’ul bih.

Contoh naat maqthu’ yang lumrah dikaji terdapat pada bacaan basmalah, yaitu pada sifat Allah rahman dan rahim. Kedua sifat Allah dalam lafadz bismillahirrahmanirrahim ini bisa dibaca 7 macam.

Tujuan Naat Maqthu’

Umumnya, pe-maqthu’-an naat ini bertujuan untuk pujian, cacian atau rasa simpatik meskipun ada juga tujuan selain yang disebut.

Pembuangan terhadap mubtada atau fi’il dengan 3 tujuan pertama di atas itu hukumnya wajib. Maka, dengan tujuan ini, tidak diperkenankan menampilkan mubtada atau fi’il-nya.

Mubtada’ atau fi’il yang dibuang itu bentuknya menyesuaikan. Jika mubtada’ yang dibuang, maka bisa mentaqdirkan isim dhomir.

Jika fi’il yang dibuang maka fi’ilnya mentaqdirkan lafazh yang bersesuan dengan tujuan pe-maqthu’-annya, seperti أَمدَحُ untuk pujian, أَذمُّ untuk mencela dan أَرحَمُ untuk bersimpatik.

Syarat Naat Maqthu’

Meskipun naat bisa dimaqthu’, namun tidak setiap naat bisa diperlakukan seperti itu. Ada syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk membuat naat maqthu’.

Syarat maqthu’ adalah naat harus bisa berdiri sendiri. Artinya tanpa adanya na’at, lafazh yang menjadi man’ut sudah bermakna jelas dan dikenali. Mudahnya, keberadaan naat di tarkib itu tidak memiliki efek krusial dalam aspek masyhur atau ma’lum.

Pada lafazh Allah, tanpa dinaati dengan al adzim artinya Maha Agung, sudah dapat diketahui siapa Allah itu. Dengan demikian al adzim bisa dimaqthu’kan.

Berbeda kasusnya jika seperti ‘Budi yang kaya’. Jika pemisahan sifat ‘kaya’ dari Budi akan menimbulkan kebingungan atau tidak dikenali, maka tidak bisa naat di-maqthu’-kan. Jadi, kaidahnya adalah jika tanpa penyebutan naat/sifat bisa diketahui maksudnya maka ia boleh maqthu’. Ukurannya ‘dikenali/dipahami’ adalah ruang lingkup pembicaraan/komunikasi.

Pembahasan I’rob Itba’ dan Qatha’

Selain karena tujuan di atas, naat maqthu’ memiliki dampak pembahasan yang lebih detil. Yaitu tentang i’rob naatnya dalam beberapa kondisi tertentu.

Ada dua istilah i’rob di sini. yaitu irob itba’ dan i’rob qatha’. I’rob itba’ artinya di’irobi sebagaimana mestinya na’at. Sementara i’rob qatha’ adalah pengiroban dengan cara dijadikan na’at maqthu’.