Sejarah dan Praktik Shalat Tarawih

Shalat Tarawih merupakan ibadah sunnah yang khusus dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Ibadah ini pertama kali dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW pada tanggal 23 Ramadhan tahun kedua Hijriyah. Meskipun Rasulullah SAW terkadang melaksanakan shalat Tarawih di masjid, beliau juga sering melakukannya di rumah. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA:

“Dari ‘Aisyah Ummul Mu’minin RA, sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu malam shalat di masjid, lalu banyak orang shalat mengikuti beliau. Pada hari ketiga atau keempat, jamaah sudah berkumpul menunggu Nabi, tetapi Rasulullah SAW tidak keluar menemui mereka. Pagi harinya, beliau bersabda, ‘Sungguh aku melihat apa yang kalian lakukan tadi malam. Namun, aku tidak datang ke masjid karena aku khawatir shalat ini akan diwajibkan pada kalian.’” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah melaksanakan shalat Tarawih berjamaah di masjid pada awal Ramadhan. Namun, beliau memilih untuk tidak melanjutkannya secara berjamaah setelah melihat antusiasme tinggi dari para sahabat. Ada dua alasan utama di balik keputusan ini:

  • Kekhawatiran akan Kewajiban: Rasulullah SAW khawatir bahwa shalat Tarawih akan diwajibkan oleh Allah, yang mungkin memberatkan umat Islam di masa depan, terutama bagi mereka yang tidak memiliki semangat sebesar para sahabat.
  • Menghindari Kesalahpahaman: Beliau juga takut umatnya akan menganggap shalat Tarawih sebagai kewajiban karena sering dilakukannya. Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam kitab Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari yang menyatakan bahwa jika Nabi menekuni suatu amal kebaikan dan diikuti umatnya, amal tersebut bisa dianggap wajib.

Dari sini, dapat disimpulkan bahwa:

  • Nabi SAW melaksanakan shalat Tarawih berjamaah di masjid hanya dua malam.
  • Hukum shalat Tarawih adalah sunnah, bukan wajib.
  • Tidak ada ketentuan khusus mengenai jumlah rakaat dalam hadis tersebut.

Perkembangan Shalat Tarawih pada Masa Sahabat

Pada masa Khalifah Abu Bakar RA, shalat Tarawih dilaksanakan secara sendiri-sendiri (munfarid) atau dalam kelompok kecil. Barulah pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA, shalat Tarawih mulai dilaksanakan secara berjamaah dengan satu imam. Inisiatif ini muncul setelah Umar melihat umat Islam shalat Tarawih secara tidak teratur, ada yang sendiri dan ada yang berjamaah. Umar kemudian mengumpulkan jamaah di belakang satu imam, yaitu Ubay bin Ka’ab. Hal ini dijelaskan dalam hadis:

“Dari ‘Abdirrahman bin ‘Abdil Qari’, beliau berkata: ‘Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin Khattab RA ke masjid pada bulan Ramadhan. (Didapati dalam masjid tersebut) orang yang shalat Tarawih berbeda-beda. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada juga yang shalat berjamaah. Lalu Sayyidina Umar berkata: ‘Saya punya pendapat, andai mereka aku kumpulkan dalam jamaah satu imam, niscaya itu lebih baik.’” (HR. Bukhari).

Pada masa Umar, shalat Tarawih dilaksanakan sebanyak 20 rakaat tanpa witir. Jumlah ini didukung oleh mayoritas sahabat dan ulama, termasuk ulama mazhab Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan sebagian Malikiyah. Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan mazhab Maliki, yang sebagian menyebutkan 36 rakaat, pendapat 20 rakaat lebih kuat dan dianggap sebagai ijma’ (konsensus) para sahabat.

Pandangan Ulama tentang Jumlah Rakaat Tarawih

Menurut pendapat mayoritas ulama mazhab Syafi’i, shalat Tarawih dilaksanakan sebanyak 20 rakaat dengan 10 salam (setiap dua rakaat diakhiri salam). Hal ini didasarkan pada:

  1. Hadits Riwayat Al-Baihaqi:
    “Sungguh Nabi Muhammad SAW melakukan shalat di bulan Ramadhan tanpa berjamaah sebanyak dua puluh rakaat dan (ditambah) shalat witir.”
  2. Praktik Sahabat Umar bin Khattab RA:
    Umar RA mengumpulkan umat Islam untuk melaksanakan shalat Tarawih berjamaah sebanyak 20 rakaat di masjid. Tindakan ini kemudian diikuti oleh para sahabat tanpa ada penentangan, sehingga dianggap sebagai ijma’ (konsensus).
  3. Sabda Nabi SAW:
    “Berpegang teguhlah kalian semua dengan sunnahku dan sunnah al-Khulâfâ’ur Râsyidîn sesudahku.”

Tata Cara dan Keutamaan Shalat Tarawih

Shalat Tarawih memiliki tata cara yang sama dengan shalat sunnah lainnya, kecuali bahwa ia dilaksanakan setelah shalat Isya’ dan hanya pada bulan Ramadhan. Meskipun dianjurkan untuk dilaksanakan berjamaah, orang yang uzur dapat melakukannya secara sendiri-sendiri. Tidak ada ketentuan khusus mengenai surat yang harus dibaca setelah Al-Fatihah, meskipun membaca surat yang lebih panjang dianggap lebih utama.

Selain itu, shalat Tarawih dan witir menjadi istimewa karena dilaksanakan pada malam Ramadhan, yang di dalamnya terdapat malam Lailatul Qadar. Malam ini dianggap lebih baik dari seribu bulan, sehingga ibadah pada malam Ramadhan memiliki keutamaan dan pahala yang berlipat.

Niat dan Teknis Shalat Tarawih

Shalat Tarawih pada dasarnya tidak memiliki perbedaan mencolok dengan shalat sunnah lainnya. Perbedaan utama terletak pada lafal niat yang diucapkan. Berikut adalah niat shalat Tarawih untuk imam dan makmum:

Niat Shalat Tarawih

  1. Niat untuk Imam:
    • Lafal:
      أُصَلِّي سُنَّةَ التَّرَاوِيْحَ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ اِمَامًا لِلهِ تَعَالَى
      Ushallî sunnatat tarâwîhi rak’ataini mustaqbilal qiblati imâman lillâhi ta’âlâ.
    • Artinya:
      “Saya niat shalat Tarawih dua rakaat menghadap kiblat, menjadi imam karena Allah ta’âlâ.”
  2. Niat untuk Makmum:
    • Lafal:
      أُصَلِّي سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ مَأْمُوْمًا لِلهِ تَعَالَى
      Ushallî sunnatat tarâwîhi rak’ataini mustaqbilal qiblati ma’mûman lillâhi ta’âlâ.
    • Artinya:
      “Saya niat shalat Tarawih dua rakaat menghadap kiblat, menjadi makmum karena Allah ta’âlâ.”

Setelah niat, shalat Tarawih dilanjutkan dengan rukun-rukun shalat seperti biasa, yaitu:

  • Takbiratul Ihram
  • Membaca doa iftitah
  • Membaca ta’awudz dan surat Al-Fatihah
  • Membaca surat pendek
  • Ruku’
  • I’tidal
  • Sujud
  • Duduk di antara dua sujud
  • Tasyahud akhir
  • Membaca shalawat Ibrahimiyyah
  • Salam

Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Adzkâr menganjurkan agar imam shalat Tarawih mengkhatamkan Al-Qur’an selama Ramadhan. Caranya adalah dengan membaca satu juz setiap malam secara tartil (pelan dan jelas), tanpa memperpanjang bacaan secara berlebihan yang dapat memberatkan makmum.

Namun umumnya yang berlaku di sebagian besar masyarakat di Indonesia, mereka membaca surat-surat pendek secara berurutan. Adapun surat itu adalah surah at-Takatsur sampai al-Lahab.

Keutamaan Shalat Tarawih

Shalat Tarawih memiliki keutamaan yang luar biasa, di antaranya:

  1. Pengampunan Dosa:
    “Barang siapa melakukan shalat Tarawih pada bulan Ramadhan dengan iman dan ikhlas, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Muttafaqun ‘Alaih).
  2. Pahala Ibadah Semalam Penuh:
    “Barang siapa shalat Tarawih bersama imam sampai selesai, maka untuknya dicatat seperti beribadah semalam.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan An-Nasa’i).
  3. Mendekatkan Diri kepada Allah:
    Shalat Tarawih adalah kesempatan emas untuk meningkatkan kualitas ibadah dan meraih keberkahan malam Ramadhan, terutama pada malam Lailatul Qadar.

Praktik Shalat Tarawih yang Dianjurkan

  1. Berjamaah:
    Shalat Tarawih lebih utama dilaksanakan secara berjamaah di masjid. Namun, bagi yang memiliki uzur, diperbolehkan melakukannya secara sendiri-sendiri (munfarid).
  2. Tidak Terburu-buru:
    Dianjurkan untuk membaca Al-Qur’an dengan tartil (pelan dan jelas) serta tidak terburu-buru. Hal ini terutama penting bagi imam agar tidak memberatkan makmum.
  3. Menjaga Kekhusyukan:
    Fokuslah pada bacaan dan gerakan shalat. Hindari hal-hal yang dapat mengganggu kekhusyukan, seperti berbicara atau melakukan aktivitas lain yang tidak terkait dengan shalat.
  4. Membaca Doa Kamilin:
    Setelah selesai shalat Tarawih, dianjurkan untuk membaca doa kamilin sebelum melanjutkan dengan shalat witir. Doa ini merupakan permohonan kesempurnaan iman dan amal, serta penutup yang baik setelah menunaikan ibadah Tarawih.

Penutup

Shalat Tarawih adalah ibadah sunnah yang memiliki sejarah panjang dan mendalam dalam Islam. Dari masa Nabi Muhammad SAW hingga masa sahabat, ibadah ini terus berkembang dan dipraktikkan dengan penuh hikmah. Semoga kita dapat istiqamah dalam menjalankannya dan meraih keberkahan di bulan Ramadhan. Wallahu a’lam bish shawab.

Sumber:

  • NU Online
  • Sumber lain