Pedoman Transliterasi Arab-Latin

Dalam kajian keislaman, penggunaan teks Arab tak bisa dihindari. Mulai dari kutipan Al-Qur’an, hadis, hingga kitab-kitab klasik karya ulama terdahulu, semuanya menggunakan huruf hijaiyah.

Tapi bagaimana jika konteksnya berpindah ke tulisan ilmiah, artikel populer, atau karya terbitan berhuruf Latin? Di sinilah transliterasi huruf hijaiyah menjadi jembatan penting.

Transliterasi Bukan Sekadar Alih Huruf

Transliterasi adalah proses mengubah huruf Arab ke dalam huruf Latin, tanpa menerjemahkan maknanya. Beda dengan arab terjemahan yang memindahkan makna ke dalam bahasa Indonesia, transliterasi hanya memindahkan bunyi. Proses ini penting untuk menjaga pelafalan asli tetap dikenali, meskipun pembaca belum mahir membaca huruf Arab.

Pedoman Transliterasi Arab-Latin

Sampai saat ini, pedoman resmi transliterasi di Indonesia masih mengacu pada Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 158/1987 dan No. 0543b/U/1987, yang ditetapkan pada 22 Januari 1988. Meski sudah lebih dari tiga dekade, belum ada revisi resmi, dan SKB ini tetap dijadikan acuan dalam:

  • Penulisan karya ilmiah
  • Penerbitan buku agama
  • Panduan pendidikan Islam

Bagi kamu yang ingin memahami langsung sistem transliterasi resmi, silakan pelajari Pedoman Transliterasi Arab-Latin yang masih menjadi rujukan nasional dalam penulisan Arab-Latin di bidang keilmuan dan keagamaan.

Prinsip Dasar Transliterasi

Transliterasi dilakukan berdasarkan prinsip padanan antarhuruf. Contohnya:

خ → kh
ش → sy
ع → ‘

Teknis Penulisan yang Benar

Cara menulis transliterasi Arab-Latin tidak boleh sembarangan. Sistem baku mencakup:

  • Penggunaan diakritik (ṣ, ḥ, dll)
  • Penulisan hamzah (‘) dan ‘ain (`)
  • Konsistensi panjang-pendek vokal (ā vs a)

Beda Transliterasi dan Terjemahan

Banyak yang keliru membedakan antara terjemahan Arab ke Latin dan transliterasi huruf hijaiyah.

Terjemahan berarti mengalihkan makna dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia.

Transliterasi berarti mengalihkan bunyi ke dalam tulisan Latin, tanpa mengubah maknanya.

Contohnya, kata صَفَا:

Transliterasi: ṣafā
Terjemahan: “bening” atau “jernih” (tergantung konteks)

Pentingnya Standarisasi

Salah satu alasan utama mengapa transliterasi Arab-Latin perlu dibakukan adalah untuk menghindari kerancuan penulisan. Tanpa pedoman resmi, satu kata Arab bisa ditulis dalam berbagai versi Latin yang berbeda, tergantung selera atau kebiasaan penulis. Hal ini tentu menyulitkan pembaca dalam memahami maksud sebenarnya.

Contoh sederhana bisa dilihat pada kata جَزَاء. Tanpa standar, kata ini bisa ditulis dalam beberapa bentuk:

  • jaza
  • jazaa
  • djazaa

Ketiganya tampak mirip, tapi secara akademik maupun fonetik bisa menimbulkan kebingungan. Inilah kenapa pedoman transliterasi resmi sangat penting, terutama untuk keperluan publikasi ilmiah, penerbitan, dan dokumentasi keislaman yang presisi.

Aplikasi Pedoman Transliterasi Arab-Latin

Transliterasi Arab-Latin bukan hanya konsep linguistik, tapi juga memiliki peran penting dalam berbagai bidang keilmuan dan praktik keagamaan. Berikut beberapa aplikasi nyatanya:

  • Karya akademik keislaman: Dalam penulisan skripsi, tesis, disertasi, dan artikel jurnal yang mengutip ayat Al-Qur’an, hadis, atau kutipan dari kitab klasik, transliterasi menjadi standar baku agar teks tetap bisa diakses oleh pembaca non-Arab, tanpa menghilangkan nuansa bunyi aslinya.
  • Buku panduan belajar Quran: Banyak buku Iqra’, Juz ‘Amma, atau panduan salat menggunakan transliterasi untuk memudahkan pemula yang belum mampu membaca huruf hijaiyah. Di sinilah pentingnya konsistensi transliterasi agar pelafalan tetap mendekati kaidah tajwid.
  • Dokumentasi naskah kuno: Naskah-naskah berbahasa Arab klasik yang dipelajari di bidang filologi, sejarah Islam, atau sastra Arab sering kali disertai transliterasi untuk tujuan kajian lintas disiplin. Ini memudahkan akademisi dari berbagai latar belakang dalam memahami konten tanpa harus menguasai naskah Arab gundul.

Transliterasi Bukan Akhir Tujuan

Perlu diingat bahwa transliterasi hanyalah alat bantu sementara. Pembelajar tetap harus menguasai huruf hijaiyah asli untuk:

  • Memahami tajwid dengan benar
  • Menangkap nuansa makna asli
  • Mengakses teks-teks primer

Pedoman transliterasi Arab-Latin SKB 1988 tetap relevan sebagai penjaga konsistensi dalam dunia akademik dan keislaman Indonesia. Sampai ada pembaruan resmi, pedoman ini layak menjadi rujukan bagi siapapun yang berkecimpung dalam penulisan teks Arab beraksara Latin.