Kajian komprehensif tentang sistem huruf Arab mulai dari perdebatan jumlah (28 vs 29 huruf), analisis linguistik huruf yang tidak muncul dalam Surah Al-Fatihah, pola dasar bentuk huruf, hingga fenomena khusus dalam Al-Qur’an dan bacaan tasyahud. Disajikan dengan pendekatan semi-akademik yang cocok untuk pelajar bahasa Arab, pengajar Quran, dan peneliti filologi Islam.
Eksplorasi lengkap huruf hijaiyah: jumlah 28/29, 7 huruf absen di Al-Fatihah, 18 pola dasar, hingga keunikan dalam Quran & tasyahud. Panduan komprehensif untuk pemula hingga ahli.
Sejarah Singkat Huruf Hijaiyah hingga Aksara Lokal
Huruf hijaiyah yang kita kenal hari ini tidak lahir begitu saja dalam bentuknya yang sekarang. Ia memiliki akar historis yang kuat dari abjad Aram, salah satu rumpun aksara Semitik yang berkembang sejak era kuno di kawasan Timur Tengah. Dari abjad Aram inilah kemudian lahir berbagai cabang tulisan, salah satunya adalah aksara Nabatea, yang menjadi cikal bakal langsung dari tulisan Arab klasik.
Transformasi dari aksara Nabatea ke bentuk huruf Arab tidak terjadi secara instan, melainkan melalui proses bertahap yang dipengaruhi oleh kebutuhan administrasi, penyebaran agama, dan interaksi budaya. Perubahan bentuk, arah penulisan (kanan ke kiri), serta sistem penyambungan antarhuruf muncul sebagai penyesuaian praktis dan estetis dalam masyarakat Arab kuno.
Seiring dengan menyebarnya Islam ke berbagai wilayah, aksara Arab melampaui batas geografis dan bahasa. Ia tidak hanya digunakan untuk menuliskan bahasa Arab, tetapi juga diadaptasi ke bahasa-bahasa lain yang memiliki struktur bunyi berbeda—seperti Persia, Urdu, Pashto, Sindhi, dan Turki Ottoman, termasuk pula bahasa-bahasa lokal di Nusantara seperti Melayu dan Jawa.
Di wilayah Nusantara, huruf hijaiyah melahirkan sistem tulisan Jawi (digunakan di wilayah Melayu seperti Malaysia, Brunei, dan sebagian Indonesia) dan Pegon (yang berkembang di kalangan pesantren dan masyarakat Jawa). Dalam proses adaptasi ini, muncul kebutuhan untuk menambahkan huruf-huruf baru yang mampu merepresentasikan bunyi lokal yang tidak ditemukan dalam bahasa Arab.
Beberapa huruf hasil adaptasi tersebut antara lain:
-
- چ (ca) untuk bunyi /c/ seperti dalam kata “cinta”
-
- ڤ (pe) untuk bunyi /p/
-
- ڬ (ga) untuk bunyi /g/
Huruf-huruf ini disusun dengan memodifikasi bentuk huruf Arab yang sudah ada, lalu menambahkan titik-titik sebagai penanda fonetik baru. Pendekatan ini menunjukkan bahwa sistem aksara Arab bersifat fleksibel dan akomodatif, sekaligus menandakan bahwa tulisan Arab bukan hanya warisan Arab, tetapi telah menjadi milik peradaban Islam yang majemuk.
Jumlah Huruf Hijaiyah
Ketika membicarakan jumlah huruf hijaiyah, mayoritas rujukan dasar dalam ilmu tajwid dan pembelajaran Iqra’ sepakat menyebut angka 28 huruf, dimulai dari alif (ا) hingga ya (ي). Ini adalah standar yang umum diajarkan sejak tingkat dasar, dan menjadi fondasi dalam mengenal tulisan Arab.
Namun, jika kita menelaah lebih jauh, terutama dari sudut pandang fonetik dan analisis qirā’ah (bacaan), muncul pertimbangan tambahan: yaitu dimasukkannya hamzah (ء) sebagai huruf ke-29. Mengapa demikian?
Hamzah bukan sekadar aksen atau simbol kecil. Ia mewakili bunyi glottal stop yang sangat spesifik, dan kehadirannya bisa mengubah makna kata secara signifikan. Sebagai contoh, kata سَأَلَ (sa-ala: bertanya) berbeda arti dan struktur dengan سَالَ (sāla: mengalir). Padahal perbedaan utamanya terletak pada kehadiran hamzah. Ini menunjukkan bahwa dari sisi fungsi bunyi (fonem), hamzah memang berdiri sendiri dan tidak bisa diabaikan.
Memang benar, secara visual hamzah sering “menumpang” atau berposisi di atas atau di bawah huruf lain, terutama alif, waw, dan ya. Namun, itu tidak serta-merta mengurangi status fonetiknya sebagai entitas mandiri. Maka, dalam konteks pembacaan tajwid lanjutan atau analisis linguistik, menyebut bahwa huruf hijaiyah berjumlah 29 dengan menyertakan hamzah adalah bentuk ketelitian, bukan penyimpangan.
Hamzah dalam Huruf Hijaiyyah
Untuk memahami betapa pentingnya huruf hamzah dalam struktur makna bahasa Arab, mari kita lihat beberapa contoh kata yang hanya berbeda pada kehadiran atau tidaknya huruf hamzah:
سَأَلَ (sa-ala) Artinya: bertanya – Kata kerja ini memiliki hamzah di tengah. Tanpanya, maknanya akan berubah total.
سَالَ (sāla) Artinya: mengalir – Tidak mengandung hamzah. Hanya beda satu huruf secara fonetik, tapi arti dan penggunaannya sangat jauh berbeda.
آمَنَ (āmana) Artinya: beriman – Hamzah di awal membentuk akar kata iman dan aman. Ini juga membedakan dengan kata tanpa hamzah seperti:
مَنْ (man) Artinya: siapa – Kata pendek ini tidak memiliki hamzah, tapi jika diberi hamzah di depan (أَمِنَ) maknanya bisa menjadi bentuk tanya: “Apakah telah beriman?”
بَدَأَ (bada’a) vs. بَدَا (badā) بَدَأَ artinya memulai بَدَا artinya tampak – Sekali lagi, kehadiran hamzah di akhir bukan hiasan, tapi penentu makna yang tidak bisa disepelekan.
28 Huruf Hijaiyah dan 18 Pola Tulisan: Di Mana Bedanya?
Jika kita berbicara tentang jumlah huruf hijaiyah secara fonetik atau bunyi, maka konsensus menyebutkan angka 28 huruf (atau 29 jika memasukkan hamzah, sebagaimana dibahas sebelumnya). Berikut huruf-huruf hija’i dengan teks arab, latin dan penamaanya:
No. | Huruf | Latin | Arab |
---|---|---|---|
1 | ا | alif | ألف |
2 | ب | bā’ | باء |
3 | ت | tā’ | تاء |
4 | ث | thā’ | ثاء |
5 | ج | jīm | جيم |
6 | ح | ḥā’ | حاء |
7 | خ | khā’ | خاء |
8 | د | dāl | دال |
9 | ذ | dhāl | ذال |
10 | ر | rā’ | راء |
11 | ز | zayn/zāy | زاي |
12 | س | sīn | سين |
13 | ش | shīn | شين |
14 | ص | ṣād | صاد |
15 | ض | ḍād | ضاد |
16 | ط | ṭā’ | طاء |
17 | ظ | ẓā’ | ظاء |
18 | ع | ‘ayn | عين |
19 | غ | ghayn | غين |
20 | ف | fā’ | فاء |
21 | ق | qāf | قاف |
22 | ك | kāf | كاف |
23 | ل | lām | لام |
24 | م | mīm | ميم |
25 | ن | nūn | نون |
26 | ه | hā’ | هاء |
27 | و | wāw | واو |
28 | ي | yā’ | ياء |
Namun, jika kita beralih ke aspek visual—yakni bentuk tulisan dalam konteks kaligrafi dan tipografi Arab—muncul fakta menarik bahwa jumlah bentuk dasar huruf hijaiyah jauh lebih sedikit, yaitu sekitar 18 pola.
Apa maksudnya?
Banyak huruf hijaiyah ternyata berasal dari kerangka bentuk yang sama, lalu dibedakan hanya melalui penambahan titik—baik satu, dua, tiga, di atas atau di bawah huruf. Titik ini bukan ornamen estetika, melainkan penentu identitas fonetik.
Contoh paling sederhana bisa dilihat pada kelompok berikut:
- ب (ba) → satu titik di bawah
- ت (ta) → dua titik di atas
- ث (tsa) → tiga titik di atas
Ketiganya berasal dari satu pola tulisan yang identik, namun memiliki bunyi yang berbeda karena titik-titik yang menyertainya. Hal serupa juga berlaku pada pasangan atau kelompok lain, misalnya:
- ج (jim), ح (ha), خ (kha) → satu bentuk dasar, dibedakan oleh titik
- س (sin), ش (syin) → bentuk sama, hanya syin yang bertitik tiga di atas
- د (dal), ذ (dzal) → bentuk sama, dzal diberi satu titik di atas
Fenomena ini membuat proses belajar membaca dan menulis huruf Arab menjadi lebih sistematis: dengan mengenali 18 pola dasar, seorang pelajar hanya tinggal menambahkan titik untuk mengenali huruf lain yang sejenis. Dari sudut pandang pedagogis, hal ini sangat membantu terutama bagi pemula.
Namun di sisi lain, hal ini juga mengingatkan pentingnya ketelitian dalam penulisan Arab. Kesalahan meletakkan titik bukan sekadar salah tulis, tetapi bisa menyebabkan salah makna, bahkan dalam konteks keagamaan yang sensitif.
Transliterasi Huruf Hijaiyah: Standarisasi untuk Kepentingan Akademik dan Sosial-Religius
Dalam konteks pembelajaran Al-Qur’an dan bahasa Arab di Indonesia, transliterasi memiliki peran penting sebagai jembatan antara tulisan Arab dan pembaca yang belum fasih membaca huruf hijaiyah. Untuk memastikan keseragaman dan ketepatan, pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 158/1987 dan No. 0543b/U/1987, tertanggal 22 Januari 1988, telah menetapkan pedoman resmi tentang transliterasi Arab-Latin.
Transliterasi ini bukan sekadar upaya teknis untuk mengubah aksara, tetapi berfungsi sebagai alat bantu pembelajaran, serta standar akademik dalam karya ilmiah, penerbitan kitab, dan dokumentasi resmi keagamaan.
Standar Transliterasi Resmi
Dalam SKB tersebut, setiap huruf hijaiyah diberikan padanan huruf Latin yang mencerminkan nilai fonetiknya seakurat mungkin. Contoh penerapannya:
Huruf Arab | Transliterasi | Keterangan |
---|---|---|
ث | ṡ | Bukan “th” biasa, agar tidak tertukar dengan ذ (ẕ) |
ص | ṣ | Membedakan dari س (s) |
ض | ḍ | Mempertahankan karakteristik makhraj |
ق | q | Bukan “k” untuk membedakan dari ك |
Manfaat Transliterasi Standar
Salah satu keuntungan dari sistem ini adalah terjaganya perbedaan fonemik antarhuruf, yang sangat penting dalam pembacaan Al-Qur’an. Dengan transliterasi yang tepat:
- Pembaca pemula dapat membedakan bunyi yang hampir mirip
- Terjaga perbedaan antara s (س) dan ṣ (ص)
- Membedakan h (ه) dan ḥ (ح)
- Mempertahankan kedalaman makna dalam teks suci
Transliterasi—atau pelatinan huruf Arab—bukanlah pengganti bacaan asli Al-Qur’an. Dalam konteks mushaf atau bacaan Al-Qur’an latin, pelatinan hanya berfungsi sebagai panduan awal bagi pembelajar yang belum mampu membaca huruf hijaiyah. Namun pada tahap selanjutnya, pembelajar tetap dituntut untuk kembali kepada teks asli berhuruf Arab. Hanya dengan demikian, makna, pelafalan, dan kaidah tajwid dapat dipahami serta diinternalisasi secara utuh.
Peran dalam Pendidikan dan Keilmuan
Dalam konteks pendidikan formal, transliterasi ini berfungsi sebagai:
- Jembatan ilmiah dalam penulisan skripsi keislaman
- Standar penerjemahan hadis dan tafsir
- Dasar publikasi kajian Qur’ani
- Penjamin konsistensi lintas lembaga dan disiplin ilmu
Kemunculan Huruf dalam Al-Qur’an dan Fenomena Muqathaah
Jika selama ini huruf hijaiyah dipahami sekadar sebagai satuan bunyi dalam pembentukan kata dan makna, maka Al-Qur’an menghadirkan dimensi lain yang lebih dalam. Di dalam mushaf, seluruh huruf hijaiyah—dari alif hingga ya—muncul dalam bentuk dan fungsi yang sangat variatif. Namun lebih dari sekadar “ada”, sebagian huruf bahkan tampil sebagai entitas mandiri, tidak melebur dalam kata, melainkan berdiri sendiri, langsung di awal surah. Fenomena ini dikenal dengan istilah huruf-huruf muqatha’ah (الحروف المقطعة).
Karakteristik Huruf Muqatha’ah
Huruf-huruf muqatha’ah adalah potongan huruf yang muncul di awal 29 surat dalam Al-Qur’an. Karena letaknya di awal surah, ia juga disebut sebagai fawātiḥ as-suwar atau “pembuka-pembuka surah”. Yang menarik, huruf-huruf ini tidak dibaca sebagaimana huruf dalam kata, tetapi dilafalkan dengan mengeja nama hurufnya. Misalnya, huruf ن dalam pembukaan Surah Al-Qalam dibaca “nūn”, bukan “na” atau “ni”.
Fenomena ini sangat unik. Dalam sistem penulisan Arab, huruf umumnya berfungsi sebagai bagian dari kata. Tapi Al-Qur’an memperlakukan sebagian huruf hijaiyah seolah mereka memiliki status linguistik tersendiri—huruf yang “berbicara” sebagai dirinya sendiri. Tidak mewakili kata, tetapi tetap bermakna. Tidak membentuk frasa, tapi tetap mengandung isyarat ilahiah.
Daftar Huruf Muqatha’ah
Secara jumlah, ada 14 huruf yang digunakan sebagai huruf muqatha’ah, yaitu:
ا ح ر س ص ط ع ق ك ل م ن ه ي
(alif, ha, ra, sin, shad, tha, ‘ain, qaf, kaf, lam, mim, nun, ha, dan ya)
Contoh Kombinasi dalam Surah
- الم (alif-lam-mim) di awal Surah Al-Baqarah
- كهيعص (kaf-ha-ya-‘ain-shad) di Surah Maryam
- ن (nun) di Surah Al-Qalam
Keunikan Bacaan dan Tajwid
Menariknya, sebagian dari huruf tersebut dibaca dengan panjang bacaan khusus (mad) sesuai kaidah tajwid, dan terkadang juga memerlukan ghunnah (dengung), seperti awal Surah Al-Baqarah yang diawali dengan lafaz الٓمّٓ Alif-Lam-Mim
Dengan kata lain, huruf-huruf ini tidak hanya muncul, tapi “diperlakukan” dengan kehormatan khusus dalam bacaan, seolah-olah ia membawa pesan tersendiri yang terpisah dari konteks linguistik biasa. Dalam literatur tafsir, para ulama berbeda pendapat mengenai maknanya—ada yang menganggapnya rahasia Ilahi, ada yang mengaitkannya dengan tantangan terhadap keindahan bahasa Al-Qur’an.
Apa pun pendekatan yang digunakan, yang jelas adalah: huruf-huruf hijaiyah dalam Al-Qur’an bukan hanya instrumen fonetik, tetapi juga instrumen maknawi dan spiritual. Ia tampil dalam berbagai bentuk, jumlah, posisi, bahkan kadang berdiri sendiri, mengingatkan pembaca bahwa setiap huruf dalam Al-Qur’an membawa muatan yang tak bisa diremehkan.
Huruf Hijaiyah yang Tidak Muncul dalam Surah Al-Fatihah
Al-Qur’an, sebagai kitab suci umat Islam, diturunkan dalam bahasa Arab yang sempurna, dan seluruh huruf hijaiyah—dari alif hingga ya—tersebar di berbagai surah dan ayatnya. Setiap huruf memiliki peran dalam membentuk kata, menyampaikan makna, dan menjaga ritme bacaan wahyu. Namun menariknya, tidak semua huruf hijaiyah muncul dalam setiap surah Al-Qur’an. Sebuah contoh paling menonjol adalah Surah Al-Fātiḥah, surah pembuka Al-Qur’an yang menjadi bagian wajib dalam setiap rakaat salat.
7 Huruf yang Absen dalam Al-Fatihah
Meski Surah Al-Fātiḥah dikenal sebagai Umm al-Kitāb (induk kitab) dan merupakan intisari kandungan Al-Qur’an, secara struktur linguistiknya, surah ini tidak mengandung tujuh huruf hijaiyah, yaitu:
ث ج خ ز ش ظ ف
(tsa, jim, kha, zai, syin, zha, dan fa)
Fenomena Linguistik yang Unik
Ketidakhadiran ketujuh huruf tersebut menimbulkan pertanyaan yang menggugah: bagaimana mungkin firman Allah yang paling sering dibaca—baik dalam salat maupun doa harian—justru tidak mencakup seluruh abjad Arab?
Secara fonetik dan struktural, Surah Al-Fātiḥah mengandalkan huruf-huruf yang relatif ringan dan umum dalam pengucapan bahasa Arab. Surah ini terdiri dari tujuh ayat, pendek secara kuantitas, namun padat secara makna dan spiritualitas. Kehilangan tujuh huruf tersebut tidak mengurangi keutuhan makna, justru menunjukkan bahwa pesan ketauhidan, petunjuk, dan permohonan hidayah bisa disampaikan tanpa menggunakan seluruh huruf dalam sistem hijaiyah.
Perspektif Balaghah dan Kemukjizatan
Dalam tinjauan retorika Al-Qur’an (balāghah al-Qur’ān), fenomena ini dapat dianggap sebagai bagian dari kemukjizatan lafaz, di mana rangkaian kata dalam Surah Al-Fātiḥah tetap mampu menyentuh hati dan menyampaikan konsep-konsep teologis penting tanpa bergantung pada kompleksitas fonetik.
Pandangan Ulama dan Hikmah
Tidak sedikit pula para ulama dan pengkaji Al-Qur’an yang menaruh perhatian pada absennya huruf-huruf tertentu dalam surah ini. Mereka mengaitkannya dengan:
- Kesederhanaan bunyi dan keluwesan lidah
- Kecocokan untuk dihafal semua lapisan umat
- Kemudahan bagi penutur Arab maupun non-Arab
- Bukti kemukjizatan Al-Qur’an dalam kesederhanaan
Huruf Hijaiyyah dalam Tasydid
Dalam tulisan Arab, kita mengenal sebuah tanda khas yang menyerupai huruf “w” kecil dan diletakkan di atas suatu huruf. Tanda ini disebut tasydid (تشديد) atau syaddah (شدة). Meski tampak kecil dan mungkin luput dari perhatian pembaca pemula, dalam praktik membaca Al-Qur’an maupun analisis tata bahasa Arab, tasydid memegang peran penting.
Tasydid dalam Ilmu Tajwid
Dalam konteks ilmu tajwid, tasydid menunjukkan bahwa huruf tersebut harus dibaca dua kali—yakni dengan mendengungkan seolah ada dua huruf yang sama: yang pertama berharakat sukun dan yang kedua berharakat penuh (fathah, kasrah, atau dhammah). Maka, huruf bertasydid secara praktis dihitung dua huruf hijaiyah dalam struktur bacaan dan penulisan fonetik.
Misalnya, dalam lafaz الرَّحْمَٰنِ, huruf ر bertasydid dibaca “rr” (ro-ro), bukan hanya satu hentakan ringan. Ini berlaku dalam semua konteks bacaan Qur’an yang mengandung tasydid, dan menjadi perhatian khusus dalam tajwid karena terkait dengan kejelasan dan ketepatan pelafalan firman Allah.
Tasydid dalam Tata Bahasa Arab
Dalam konteks nahwu (tata bahasa Arab), fenomena ini dikenal sebagai تَضْعِيف (taḍ’īf), yang secara harfiah berarti “penggandaan”. Secara gramatikal, tadh’iif terjadi ketika dua huruf hijaiyah yang sama bertemu, lalu digabung menjadi satu huruf yang bertasydid. Dalam analisis morfologi (ṣarf), ini dapat terjadi pada bentuk fi’il tertentu atau sebagai hasil idghām (penggabungan) dari proses gramatikal.
Makna Fonetik Tasydid
Penting untuk dipahami bahwa tasydid bukan hanya gaya baca, tetapi mencerminkan kehadiran dua huruf hijaiyah identik dalam tatanan bahasa Arab yang dipadatkan secara simbolik. Dengan kata lain, satu tasydid mengganti dua huruf dalam struktur tulisan dan makna, meski secara visual hanya ditandai dengan satu simbol kecil.
Penerapan dalam Ibadah
Sebagai contoh pentingnya tasydid dalam bacaan sholat, baik dalam fatihah maupun tashyahud. Dalam teks bacaan tasyahud, tercatat ada 21 kali penggunaan tasydid—yakni penegasan pelafalan pada huruf tertentu yang tidak boleh diabaikan. Jumlah tersebut terbagi menjadi dua bagian:
- 16 tasydid muncul dalam bagian tasyahud yang wajib dibaca
- 5 sisanya berada dalam bagian yang bersifat sunnah
Keberadaan tasydid ini penting, karena berkaitan langsung dengan keakuratan bacaan dan pemeliharaan makna dari doa yang diucapkan dalam salat.
Refleksi Akhir: Makna di Balik Sistem Huruf Arab
Memahami huruf hijaiyah dalam sistem tulisan Arab bukan sekadar alat komunikasi, melainkan jejaring makna multidimensi. Dari 28 huruf dasar (plus hamzah), 7 huruf yang absen di Al-Fatihah, hingga 18 pola dasar dengan variasi titik – setiap elemen mengandung hikmah desain linguistik yang mengagumkan.
Fenomena khusus seperti huruf muqatha’ah dalam Quran dan distribusi tasydid dalam tasyahud menunjukkan bagaimana huruf-huruf ini berfungsi pada tingkat:
- Fonetik: Presisi bunyi dalam tajwid
- Semiotik: Simbolisme dalam struktur wahyu
- Pedagogis: Kemudahan pembelajaran yang terstruktur
Pemahaman mendalam tentang arsitektur huruf hijaiyah ini membuka pintu untuk:
- Apresiasi lebih dalam terhadap seni kaligrafi Arab
- Pemahaman metodis dalam belajar Quran
- Penelitian filologi naskah-naskah Islam klasik
Dengan merenungi sistem huruf ini, kita diajak untuk tidak hanya membaca tulisan Arab, tetapi juga membaca melalui huruf-huruf tersebut – menyelami lapisan makna yang ditawarkan oleh setiap lekuk, titik, dan posisinya dalam teks suci.