Pengertian Wadho dan Penjelasannya

Istilah Wadho dalam ilmu tata bahasa acapkali disinggung. Terutama dalam pembahasan dasar tentang pemaknaan kata. Ada yang berbentuk kata Wadl’an ‌وضعاً, ada yang berbentuk maudlu’ موضوع ada juga yang bersambung dengan huruf jar seperti bi al Wadl’i بِالْوَضْعِ .

Istilah Wadho selain ada pada definisi Kalam ilmu Nahwu, kata Wadho juga terdapat pada ilmu Mantiq. Nah, dalam mantiq, kata ini di letakan dalam bab Dalalah/ad-dilalaat. Tepatnya pembahasan materi dilalah dan pembagiannya.

Arti Wadho

Wadho artinya
Pengertian Wadho. Foto: nahwu.id

Untuk mengetahui pengartian Wadho’ ini, kita bisa bertolak dari penjelasan berikut:

فِي أَنْوَاعِ الدَّلَالَةِ الوَضْعِيَّةِ أيْ: ‌وضعية الدلالة الوضعية من حيث هي قسمان ‌دلالةٌ ‌وضعية عقلية، كما ذكرنا في المثال السابق: ‌دلالة التغيُر على الحدوث أو ‌دلالة ‌وضعية لفظية: كدلالة الأسد على الحيوان المفترس

“ Dalalah wadl’iyyah terbagi menjadi dua; ‘aqliyah dan lafdziyah. Contoh dilalah wadl’iyah ‘aqliyah adalah sifat berubah-ubah menunjukkan kebaruaan-nya (huduts). Sedangkan dilalah wadl’iyyah lafdziyah seperti lafadz ‘harimau’ yang menunjukkan kepada hewan buas”.

Perbedaan antara dilalah wadl’iyyah ‘aqliyah dan lafdziyah terletak pada asal-usul petunjuknya. Dilalah wadl’iyyah ‘aqliyah bersumber dari akal atau pertimbangan rasional, sedangkan dilalah wadl’iyyah lafdziyah bersumber dari makna yang melekat dalam kata atau lafadz itu sendiri.

اَلْوَضْعُ هُوَ جَعْلُ اللَّفْظِ دَلِيْلاً عَلى الْمَعنَى

Wadho artinya tindakan menjadikan lafazh sebagai petunjuk terhadap makna. Dari keterangan diatas pada dilalah lafdziyah, pemaknaan wadho adalah peletakan lafadz dengan penunjukkan makna awal yang dimaksudkan. Mudahnya, wadho itu artinya seperti yang tertera di kamus.

Sebagai contoh, kata “cinta”. Dalam sebuah puisi atau teks sastra, penggunaan kata “cinta” tidak hanya sebagai penyebutan biasa, melainkan sebagai Wadho untuk menyampaikan makna kompleks dan mendalam tentang perasaan kasih sayang, keintiman, dan emosi yang terkait dengan konsep cinta.

Arti Wadho’ dalam Ilmu Nahwu

Wadho atau kadang ditulis Wadha’, memiliki akar kata yang sama, yaitu Wadho’a (وضع). Jika di eja dalam huruf Hijaiyahnya terdiri huruf wawu, dha’ dan ‘ain (و, ض, ع ). Wadha’a artinya meletakkan, menempatkan dan mengambil posisi. Begitu arti menurut kamus.

Dalam kajian Nahwu, terdapat dua pandangan utama mengenai pengertian Wadho. Kedua pandangan ini berasal dari pembagian dilalah dalam ilmu Mantiq, sebagaimana disebutkan di atas, yaitu aqliyah dan lafdziyah.

Perbedaan pandangan antara ulama ini didasarkan pada kecenderungan masing-masing. Beberapa cenderung pada pemaknaannya sesuai dengan dalalah wadl’iyah aqliyah, sementara yang lain condong kepada lebih kuatnya unsur wadl’iyah lafdziyah-nya. Dengan demikian, dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Pendapat Secara ‘Aqliyah

Pendapat ini menunjukkan bahwa keberlakuan suatu hukum atau makna bergantung pada pemahaman akal. Dalam konteks ini, semua bentuk bahasa non-Arab, seperti bahasa Inggris, Prancis, Indonesia, dan bahasa lainnya, selama dapat dipahami oleh akal, dapat dianggap sebagai wadlo’. Oleh karena itu, hal ini sah dikategorikan sebagai Kalam.

b. Pendapat Secara Lafdziyah

Pendapat ini menekankan kesesuaian dengan asal-usul bahasa Arab sebagai pencetus lafadz. Dalam konteks ini, suatu lafadz dianggap wadlo’ hanya jika berasal dari bahasa Arab. Meskipun dapat dipahami oleh akal, pandangan ini menegaskan bahwa suatu kalimat, seperti “Saya belajar ilmu nahwu shorof di pesantren,” tidak dapat dianggap sebagai kalam menurut pandangan ini.

Hal tersebut disebabkan karena kalimat tersebut menggunakan bahasa non-Arab. Oleh karena itu, kalam diartikan sebagai bahasa Arab, sesuai dengan pendapat ini.

c. Pendapat Lain

Sebagian pakar Nahwu berpendapat bahwa wadlo’ dapat diartikan sebagai al Qoshdu, yang berarti kesengajaan. Artinya, suatu kalimat baru dianggap sebagai Kalam jika diucapkan dengan sadar dan sengaja.

Dengan demikian, perkataan yang keluar dari seseorang yang tidak sadar, seperti saat kehilangan kesadaran, mengigau, atau dalam keadaan tidak sadar, tidak termasuk dalam kategori Kalam menurut pandangan ini.

Jika disederhanakan, pengertian Wadho’ dalam Ilmu Nahwu memiliki tiga pengertian:

  1. Pendapat Secara ‘Aqliyah:
    • Artinya suatu hukum atau makna bergantung pada pemahaman akal.
    • Dapat mencakup bahasa non-Arab asalkan dapat dipahami oleh akal.
  2. Pendapat Secara Lafdziyah:
    • Mengikuti asal-usul bahasa Arab sebagai pencetus lafadz.
    • Lafadz dianggap wadlo’ hanya jika berasal dari bahasa Arab.
  3. Pendapat Lain:
    • Mengartikan wadlo’ sebagai al Qoshdu, yaitu kesengajaan.
    • Kalimat dianggap Kalam hanya jika diucapkan dengan sadar dan sengaja.
    • Tidak termasuk dalam kategori Kalam jika keluar dari seseorang yang tidak sadar, seperti saat kehilangan kesadaran.

Demikianlah, pemahaman tentang Wadho’ dalam Ilmu Nahwu mencakup beragam perspektif, dan pemilihan pandangan bergantung pada interpretasi masing-masing pakar Nahwu.

Simak terus situs Nahwu.id ini, karena situs ini berusaha menyajikan Kajian ilmu Nahwu shorof lengkap yang dipraktikkan dalam al Quran dan hadis.