Kata Wadho dalam ilmu tata bahasa acapkali disinggung. Terutama dalam pembahasan dasar tentang pemaknaan kata. Ada yang berbentuk kata Wadl’an وضعاً, ada yang berbentuk maudlu’ موضوع ada juga yang bersambung dengan huruf jar seperti bi al Wadl’i بِالْوَضْعِ .
Istilah Wadho selain ada pada definisi Kalam, kata Wadho juga terdapat pada ilmu Mantiq. Dalam mantiq kata ini di letakan dalam bab Dalalah. Tepatnya pembahasan dilalah dan pembagiannya.
فِي أَنْوَاعِ الدَّلَالَةِ الوَضْعِيَّةِ أيْ: وضعية الدلالة الوضعية من حيث هي قسمان دلالةٌ وضعية عقلية، كما ذكرنا في المثال السابق: دلالة التغيُر على الحدوث أو دلالة وضعية لفظية: كدلالة الأسد على الحيوان المفترس
“ Dalalah wadl’iyyah terbagi menjadi dua; ‘aqliyah dan lafdziyah. Contoh dilalah wadl’iyah ‘aqliyah adalah sifat berubah-ubah menunjukkan kebaruaan-nya (huduts). Sedangkan dilalah wadl’iyyah lafdziyah seperti lafadz ‘harimau’ yang menunjukkan kepada hewan buas”.
Ada juga yang mendefiniskan Wadho adalah menjadikan lafazh agar menunjukkan suatu makna atau pengertian.
اَلْوَضْعُ هُوَ جَعْلُ اللَّفْظِ دَلِيْلاً عَلى الْمَعنَى
Dari keterangan diatas pada dilalah lafdziyah, pemaknaan wadho adalah peletakan lafadz dengan penunjukkan makna awal yang dimaksudkan. Mudahnya, wadho itu artinya seperti yang tertera di kamus.
Arti Wadho’ dalam Ilmu Nahwu
Ragam penyebutan kata Wadho itu memiliki akar kata yang sama, yaitu wadhoa (وضع). Jika di eja dalam huruf hijaiyahnya terdiri huruf wawu, dho’ dan ‘ain (و, ض, ع ). Wadho artinya meletakkan, menempatkan dan mengambil posisi. Begitu arti menurut kamus.
Dalam kajian Nahwu Shorof, ada dua pendapat besar mengenai wadho. Ke-2 pendapat ini didasarkan dari pembagian dilalah dalam ilmu mantiq sebagaimana disebutkan di atas. Yaitu aqliyah dan lafdziyah.
Beda pendapat antar ulama ini dilandasi kecenderungannya. Ada yang cenderung pada pemaknaanya sesuai dalalah wadl’iyah ‘aqliyah dan di pihak lain condong kepada lebih kuatnya unsur wadl’iyah lafdziyah-nya. Sehingga dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pendapat Secara ‘Aqliyah
Artinya tetapnya sebuah hukum atau makna berdasarkan pemahaman akal. Sehingga menurut pendapat ini semua bentuk bahasa non arab, baik bahasa inggris, bahasa prancis, bahasa indonesia, dan bahasa lainnya asal bisa dipahami akal berarti wadlo’. Sehingga sah dikategorikan sebagai Kalam.
b. Pendapat Secara Lafdziyah
Artinya sesuai pencetus bahasa dalam meletakkan sebuah lafadz (dalam hal ini Bahasa Arab). Pendapat ini memiliki pengertian bahwa apa pun bahasanya jika bukan dari kata bahasa Arab maka belum wadlo’, meskipun bisa dipahami akal. Sehingga kalimat “Saya belajar ilmu nahwu shorof di pesantren” itu bukanlah kalam menurut pendapat kedua. Karena kalam artinya harus lughat Arab. Hal ini dikarenakan kalimat itu menggunakan bahasa non Arab.
c. Pendapat Lain
Sebagian pakar Nahwu berpendapat bahwa wadlo ditafsiri dengan al Qoshdu; kesengajaaan. Artinya baru dianggap Kalam jika suatu kalimat itu diucapkan dengan sadar dan sengaja. Dengan demikian perkataan yang keluar dari orang yang tidak sadar seperti orang hilang kesadaran, mengigau atau mabuk bukanlah termasuk Kalam.
Simak terus blog Nahwu.id ini, karena situs ini berusaha menyajikan Kajian ilmu Nahwu shorof lengkap.