Kajian Maf’ul Ma’ah dan Wawu Ma’iyyah

Pembahasan bab Maf’ul ma’ah ini masuk dalam kajian isim-isim mansub. Ia dibaca Nashob bersama macam-macam maf’ul lainnya, seperti maf’ul bih, maf’ul liajlih, maf’ul fihi dan maf’ul mutlaq.

Yang membedakan Maful maah dengan Maful lainnya adalah sifat ma’ah-nya. Ma’ah artinya bebarengan atau bersamaan. Seperti apa pengertian dan contoh dari ma’ful ma’ah? Tulisan ini akan menguraikannya secara sistematis.

Pengertian Maf’ul Ma’ah dan Contohnya

Arti المفعولُ, Maf’ul adalah objek atau yang dikenai pekerjaan. Sementara ma’ahu مَعَهُ artinya bersamanya. Wawu ma’iyyah adalah huruf wawu bermakna bersamaan. Begitu arti harfiahnya.

Dalam istilah Nahwu, Maf’ul ma’ah المفعولُ معهُ adalah isim yang dibaca nashob dan jatuh setelah “wawu maiyyah” yang disebutkan untuk menjelaskan orang atau barang yang menyertai pekerjaan yang dilakukan. Contoh maf’ul ma’ah:

جَاءَ الْأَمِيرُ وَالْجَيْشَ

Artinya: Raja telah datang bersamaan bala tentara. Waljaisya, wawu-nya disebut wawu maiyah, Jaisya artinya tentara ini sebagai maf’ul ma’ahnya. Al amiru dinamakan mushohib.

Definis lain ditawarkan oleh kitab Jamiuddurus, yaitu:

المفعولُ مَعَهُ اسمٌ فَضْلَةٌ وَقعَ بَعدَ واوٍ، بِمَعْنى “مَعَ” مَسْبُوقَةً بِجُملَةٍ، لِيدُلَّ على شيءٍ حَصَلَ الفِعلُ بمُصَاحَبَتِه (أي معهُ) بِلا قَصدٍ إلى إشراكِهِ في حُكمِ مَا قَبلَهُ

Maf’ul ma’ah adalah isim fadhlah yang jatuh setelah wawu ma’iyah yang didahului jumlah sebelumnya. Tujuan ma’ful ma’ah untuk menunjukkan sesuatu yang terjadi secara bersamaan, tanpa bermaksud bersekutu dalam hukumnya lafadz sebelumnya. Fadlah atau fudhlah artinya kalimat tambahan, bukan inti kalimat/pokok (umdah).

Penjelasan dari contoh maf’ul ma’ah di atas, lafadz الْجَيْشَ ini terletak setelah huruf wawu. Dia termasuk fadlah karena tanpanya sudah dianggap kalam (جَاءَ الْأَمِيرُ, fi’il telah menyebutkan fa’il-nya).

Aljaisya ini didahului oleh jumlah (جَاءَ الْأَمِيرُ). Penambahan wawu ma’iyah ini tidak bertujuan isytirok, karena jika musyarokah maka termasuk wawu athaf. Wawu ma’ah ini hanya menunjukkan tentara tersebut menyertai kedatangan Sang Raja, meskipun tidak benar-benar bersamaan.

Contoh selanjutnya dari maf’ul ma’ah adalah سِرْتُ وَالنَّيْلَ Sirtu wan naila, artinya: Aku berjalan sepanjang sungai nil). Maf’ul ma’ahnya adalah النَّيْل, ia berada setelah wawu ma’iyyah dan didahuhului oleh Jumlah sehingga dibaca nashab.

Mengapa wawunya ma’iyah? karena tidak dimungkinkan bermakna isytirok dalam hukum, sebab tidak mungkin sungai Nil di sifati berjalan, yang berjalan adalah saya, bukan sungai nilnya. Sehingga diartikan Aku berjalan menyusuri sungai Nil.

Syarat Maf’ul Ma’ah

Dari pengertian maf’ul ma’ah di atas dapat ditarik simpulan bahwa syarat suatu kalimah bisa ditarkib menjadi maf’ul ma’ah adalah:

  1. Wawu bermakna ma’iyah
  2. Fadlah bukan Umdah
  3. Jatuh setelah jumlah

Maka, jika suatu lafadz tidak memenuhi ketentuan-ketentuan di atas tidak bisa ditarkib menjadi Maf’ul ma’ah, seperti:

Berupa pokok kalimat (‘Umdah), maka tidak boleh dinashobkan sebagai Maf’ul ma’ah, namun di ‘athofkan pada lafadz sebelumnya. Seperti contoh:

اِشْتَرَكَ سَعِيدُ وَخَلِيلٌ

Artinya Sa’id dan Kholil bekerjasama. Lafadz خَلِيلٌ merupakan pokok kalimat (‘Umdah), sehingga tidak boleh dibaca nashob sebagai Maf’ul ma’ah, namun di ‘athofkan kepada lafadz Sa’id.

Jika sebelum Wawu bukan berupa jumlah, maka tidak boleh di nashobkan sebagai Maf’ul ma’ah. Seperti contoh:

كُلُّ امْرِئ وَشَأنُهُ

Artinya Setiap orang dan tingkahnya selalu bersama. Setelah wawu yaitu lafadz شَأنُهُ tidak boleh dibaca nashob sebagai Maful maah. Alasanya karena sebelum wawu bukan bukan berupa jumlah, tapi mufrad (mudhaf-mudhaf ilaih).

Jika Wawu tidak menunjukkan arti Ma’iyyah (besertaan), maka isim setelahnya tidak boleh dibaca nashob sebagai Maf’ul ma’ah. Seperti contoh:

جَاءَ خَالِدٌ وَسَعِيدٌ بَعْدَهُ

Artinya: Kholid telah datang, dan Sa’id setelahnya. Meskipun lafadz سَعِيدٌ jatuh setelah jumlah fi’liyyah, namun harf wawu tidak memiliki makna ma’iyyah. Oleh sebab itu tidak boleh dibaca nashob sebagai Maful ma’ah.

Perlu ditekankan lagi, bahwa Maiyyah dalam maf’ul ini bukan musyarokah dalam hukum Ja’a-nya. Tapi hanya sebatas mushohabah, bersamaan atau beriringan.

Hukum Lafadz Setelah Huruf Wawu

Maful maah adalah mansub yang pasti jatuh setelah wawu ma’iyah. Namun apakah setelah wawu pasti menjadi maf’ul ma’ah? Jawabannya “Tidak”. Berikut 4 hukum lafadz yang jatuh setelah wawu:

  1. Wajib Nashob sebagai Maf’ul ma’ah
  2. Wajib ‘Athaf
  3. Sebaiknya berlaku Maful Maah
  4. Sebaiknya sebagai ‘athaf

Wajib Nashob

artinya setelah huruf wawu wajib dibaca nashab sebagai maf’ul ma’ah, tidak diperbolehkan memberlakukanya sebagai ‘athaf. Contoh maf’ul ma’ah dalam al Quran:

فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ

Qs. Yunus ayat 31: karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Syuroka dibaca nashab sebagai maf’ul maah.

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ

Qs. al Hasyr (59):9 artinya Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Lafadz iman dibaca nashab sebagai maf’ul ma’ah.

Meskipun demikian, kedua wawu dalam contoh Quran di atas bisa berlaku sebagai wawu athaf dan lafadz setelah wawu sebagai maf’ul bih dari fi’il yang dibuang. Jika wawu sebagai athaf maka athafnya antara jumalah, bukan athaf mufrad dengan mufrad.

Wajib Athaf

Contoh setelah wawu harud dijadikan ‘athof adalah:

جَاءَ زَيْدٌ وَعَمْرٌو قَبْلَهُ

Zaid telah datang dan Amr sebelumnya. Mengapa wajib athaf? Karena antara Amar dan Zaid musytarok dalam hukum datang. Sehingga Amr di athafkan kepada Zaid. Maka wawu disebut huruf athaf. Zaid dan Amar sama dalam i’robnya karena ‘athaf.

Sebaiknya Berlaku Maf’ul Ma’ah

Maksudnya setelah wawu bisa dijadikan sebagai athaf dan juga bisa berlaku maf’ul ma’ah. Namun memberlakukannya sebagai maf’ul ma’ah lebih diunggulkan (Rajih). Contoh:

جِئْتُ وَخَالِداً

Artinya: Saya datang bersamaan Kholid. Dalam contoh ini, mengapa athaf lemah dan diunggulkan maf’ul ma’ah? Penyebabnya karena kebiasaan orang Arab tidak mengathofkan kepada ma’thuf berupa dhomir marfu’ muttashil (baik bariz maupun mustatir) secara langsung. Jika harus diathafkan, mereka memberi pemisah seperti contoh:

جِئْتُ اليَوْمَ وخالدٌ

Artinya: Hari ini, Aku dan Kholid datang.

Sebaiknya Berlaku ‘Athaf

Arti dari diunggulkannya sebagai ‘athaf apabila memungkinkan tanpa adanya aspek yang melemahkan, baik dari sisi tarkib maupun makna. Contoh athaf dalam al Qur’an dalam al Baqarah ayat 35 dan al A’rof ayat 19:

اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ

Uskun, anta wa zaujukal jannah artinya: bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga. Zaujuka ini athaf kepada dhomir rofa’ mustatir wujub pada fi’il amr, namun dipisah dengan dhomir munfashil anta.

Ada satu lagi lafadz setelah wawu tapi bukan berlaku seperti keempat di atas seperti contoh: اَكَلْتُ خُبْزًا وَمَاءً Saya makan roti dan (minum) air. Contoh ini tidak bisa dijadikan maf’ul ma’ah atau athaf, karena jika athaf harus istytirok hukum pekerjaan. Sementara air tidak mungkin menggunakan ‘makan air’ sehingga lafadz ma’an sebagai maf’ul bih dari fi’il yang dibuang.

Amilnya Maf’ul Ma’ah

Amil yang menjadikan maful maah dibaca nashob itu adakalanya:

Fi’il, contoh: سرتُ والليلَ

Isim serupa fi’il: انا ذاهبٌ وخالداً

Ada pula yang amilnya muqaddar. Ini biasanya maful maah jatuh setelah huruf istifham مَا dan كَيْفَ. Contoh:

مَا أنتَ وخالداً

وكَيْفَ أنتَ والسفرَ غداً

Amil yang ditaqdirkan berupa تَكُوْنُ. Amil maf’ul ma’ah ini letaknya harus di depan, tidak boleh maful maah dulu baru amilnya disebutkan belakangan.

Kesimpulan

Untuk menentukan apakah wawu dan lafadz setelahnya ini berlaku maful maah (wawu ma’iyyah) maka harus memenuhi syarat di atas. Selain itu perlu memahami maknanya, jika tidak mungkin bersekutu/bersatu dalam hukum amilnya maka kemungkinannya bisa menjadi maful maah (atau maful bih dengan mentaqdirkan fiil yang dibuang)

Sebaliknya jika bisa istirok dalam hukum amilnya, maka diberlakukan lah athaf dan ma’thuf, bukan maf’ul ma’ah dan mushohib.